Budaya / SeniCerpen

Aroma Kerak Telor di Kaca Jendela

Cerpen: Linda Ayu Lestari

April 2016

Aku sering mendengar di televisi dan surat kabar bahwa di kota ini koruptor menyamar di balik komputer di meja kerjanya yang berpendingin udara; gadis yang diperkosa kekasihnya di kamar kontrakan yang mayatnya diketemukan dalam bentuk potongan-potongan; kasus pencurian makanan ringan yang pencurinya dikurung dalam sel tetahunan. Tetapi aku tidak pernah mendengar tentang seorang lelaki penjual bunga dekat terminal yang menghilang bertahun-tahun silam, dan mayatnya tak pernah diketemukan.

Aku menenteng tasku ke dalam bus yang penuh sesak, duduk, meletakkan tasku, dan sekali lagi mengelap kacamataku yang mengembun. Aku menatap ke luar jendela. Tak lagi kutemukan pedagang kerak telor yang mangkal dekat terminal, mungkin kakek tua itu telah bertemu Tuannya, batinku. Aku mencoba untuk mengatupkan kedua mataku karena aku merasa lelah. Kulihat bangku di sebelahku masih kosong. Tak apa, lagi pula siapa yang mau duduk berdekatan dengan renta sepertiku. Apalagi dokter mengatakan bahwa tuberculosis-ku semakin sering mendatangkan demam, dan dokter mudaku yang tampan itu menyarankan agar aku menjaga jarak dengan orang-orang. Maka, sudah beberapa hari ini aku melakukan belanja online, karena merasa takut berinteraksi dengan orang lain.

Aku terbatuk ketika perlahan-lahan bus mulai berjalan. Di depan, kulihat sopir mulai mengumpati para pengamen yang menyeberang sembarangan dan menghalangi jalannya. Di samping tempat dudukku, tampak dua orang anak muda tengah tertawa cekikikan. Di belakangku, duduk dua orang yang tampaknya seorang lelaki tua dan wanitanya. Lamat-lamat, aku mendengar lelakinya mulai berbicara.

“Aduh, Mah… Panas sekali, coba kau buka jendelanya supaya ada udara yang masuk.” Si wanita mendengus sembari membuka kaca jendela. “Lagi pula sudah kubilang kan, jangan pakai sweater itu lagi, sudah jelek, warnanya pun sudah entah.”

“Apa hubungannya sweater ini dengan kepanasan? Jangan mulai lagi, deh…” Lelaki tua itu merengut dan menampakkan kerut-kerut yang banyak di dahinya yang menampakkan usianya yang kelima puluh tahun. Dan wanita di sampingnya, yang tampak lebih muda dari lelaki itu mengomel sepanjang perjalanan mengenai sweater yang dipakai suaminya. Sweater itu berwarna biru langit, tapi karena warnanya sudah memudar, biru langit itu berubah menjadi biru yang keputih-putihan; berkancing empat, dan ada noda cokelat di bagian sikunya.

“Arizal kan sudah belikan kau sweater biru dongker di ulang tahunmu dua bulan lalu, dan tak pernah kau pakai sweater itu. Kau malah lebih suka pakai sweater bulukan ini, Pah. Hargailah usaha anakmu, Arizal sudah bisa cari uang sendiri dan apa salah jika dia ingin menyenangkan hatimu? Bilang saja kau masih ingat wanitamu di masa lalu. Aku tahu sweater itu pemberian dari wanita sialan itu kan!”

“Wanita yang mana? Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit, kita ini sudah sama-sama tua, mau mati saja mesti nunggu lama.” Kini, giliran laki-laki tua itu yang mendengus dan merasa kesal.

Merasa pusing dengan perdebatan kedua orang di belakangku, aku mengintip dari celah bangku. Tampak dua orang pasangan lanjut usia, yang wanita berambut sedikit pirang, aku tahu ia mengecat rambutnya yang beruban, bibirnya merah dan penampilannya sangat nyentrik. Dan laki-laki di sampingnya, berkacamata, memiliki kedua bola mata yang berwarna tembaga. Aku ingat warna itu, kedua bola mata itu, begitu dalam…, berwarna tembaga….

Baca Juga:  Skrining Kesehatan Upaya Dini Untuk Pantau Kesehatan Siswa

Aku berdiri dari tempat dudukku, dan melihat kedua mata berwarna tembaga itu dari balik kacamataku. “Dom?” gumamku. Namun suaraku lebih terdengar seperti ringkikan seekor kuda. Laki-laki tua itu diam, dan matanya yang berwarna tembaga, bertemu dengan mataku yang kini telah sedikit kehilangan fungsinya. Tatapan itu membawaku ke masa lalu, masa di mana tujuh hari yang kulalui dalam seminggu hanya ada toko bunga, film, dan kerak telor.

September 1979

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1979, pada permulaan bulan September ketika aku masih suka mengoleksi berbagai jenis warna gincu, dan senang mengenakan gaun sifon tipis floral musim panas dengan selendang kashmir warna emas serta rambut coklat gelap bergelombang yang diuraikan ke bahu kanan. Ketika itu, aku sedang berjalan kaki dan berniat membeli beberapa buket mawar merah untuk menghadiri pesta pernikahan sahabatku, Ani. Masih kuingat dengan jelas, seorang pria dengan atasan berwarna putih yang dipadukan dengan kardigan abu-abu mata kucing dan tas selempang yang tersampir di bahunya menyapaku dengan hangat, “Anda butuh berapa buket?”

***

Aku sampai di pesta yang sederhana dengan nuansa yang serba putih. Aku membawa buket mawar merah untuk Ani yang telah kubeli sore lalu di toko dekat terminal bus. Aku melihat Ani yang begitu berbahagia di kursinya dan tertawa lebar dengan memperlihatkan gigi-giginya yang dikawat. Di tengah lamunanku, seseorang dengan atasan berwarna ungu terung dan dasi abu-abu datang menyapaku. “Punya sedikit waktu untuk mengobrol?” Ia tersenyum. Aku melihatnya meminum tegukan terakhir dari gelas yang dipegangnya.

“Ya, tentu.” Dia menggenggam uluran tanganku selama sekian detik ketika aku memberitahu namaku.  “Aku Dom. Dominique. Tidakkah itu aneh mengingat namaku adalah nama seorang wanita?” Aku tertawa terbahak-bahak, namun langsung mengontrol tawaku ketika aku menyadari bahwa aku baru saja mengenalnya sebagai seorang penjaga toko bunga di dekat terminal yang aku temui kemarin sore.

***

Empat bulan setelah perkenalan kami, aku merasa aku telah jatuh cinta begitu cepat dengan pria ini. Kami selalu menghabiskan waktu bersama di akhir pekan dengan menonton film terbaru, membeli kerak telor yang dijajakan kakek tua di dekat toko bunga tempat Dom bekerja, dan terkadang kami pergi minum kopi Sumatra di kafe biasa aku dan Ani menggodai pria-pria berjas, sampai-sampai salah satu dari mereka menggodaiku ketika aku datang bersama Dom. “Sudah punya sahabat pria yang baru, jadi kau berhenti menggodai kami, Nona?” yang kemudian disusul dengan ledakan tawa dari sekelompok pria itu. Pandanganku tertuju kepada salah satu dari mereka; pria berkemeja biru awan dengan wajah kotak berkacamata yang tidak ikut tertawa bersama mereka. Mukaku memerah. Sial, harusnya aku tidak mengajak Dom ke kafe ini, batinku.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Dari Senin sampai Jumat, Dom bekerja sebagai penjaga toko bunga di dekat terminal bus, dan aku sibuk dengan kuliahku, mempelajari perkembangan sastra-sastra terbaru. Ruang kuliahku begitu sempit dan hanya terbatas beberapa mahasiswa saja. Profesorku seorang pria bertubuh pendek dan berambut putih. Ketika salah seorang mahasiswa meledeknya dengan lelucon bahwa ia sudah meninggalkan dunia hitam, ia hanya menjawab bahwa ia telah salah memakai sampo.

September 1984.

Banyak hari-hari bahagia yang kulewati bersamanya. Kami menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan ke kota tua, makan kerak telor yang dijajakan kakek tua yang mangkal dekat terminal; bergelung sambil berbagi rokok di bawah selimut merah jambu yang bernuansa angsa sambil menikmati kudapan yang terbuat dari kacang polong yang selalu aku sediakan di lemari dapur. Satu hal lagi, setelah mengenal Dom, aku jadi memiliki keberanian untuk merokok. Di suatu sore ketika langit tampak akan runtuh karena petir berkilat-kilat itu, aku mengajaknya bicara.

“Kau sudah dengar bahwa Ani baru saja melahirkan anaknya yang kedua? Aku dengar dia melahirkan seorang bayi laki-laki.”

“Ya, tentu kau harus ikut bahagia dengan kelahiran anak keduanya. Sudah menjenguk?”

“Bukan itu maksudku. Aku sudah lulus kuliah dua tahun lalu dan memiliki pekerjaan yang menyenangkan. Menulis artikel di surat kabar, kau tahu itu.” Ketika aku mengatakan ini, mata Dom yang berwarna coklat tembaga tak sedikitpun berpaling dari layar televisi, dan tangannya tetap pada posisi memasukkan kacang polong ke dalam mulutnya. “Aku ingin punya anak dari seseorang yang aku cintai.” Hening menguasai ruangan di mana kami berdua berada, dan terbersit rasa penyesalan dari dalam diriku. Perasaan antara puas dan menyesal melebur menjadi satu dalam darahku. Namun aku tetap menunggu respon Dom atas keberanianku.

“Hm, kurasa kita masih butuh waktu, Rom.” Ia menjawab dengan respon yang menurutku sekenanya. “Kita sudah bersama-sama selama lima tahun. Apa itu waktu yang tidak cukup panjang? Kau menunggu apa lagi?” Nada bicaraku terdengar lebih tinggi, karena aku berusaha untuk tidak mengeluarkan dahak yang tertahan di tenggorokanku.

“Kalau kau sudah ngebet menikah, carilah pria lain yang sudah siap menikahimu.” Dia memberi sedikit jeda pada perkataannya. “Aku belum bisa menikah jika aku belum punya usaha sendiri, itu janjiku pada Ibu.” Dia beranjak dari tempat tidur, mengambil mantel dari gantungan, dan keluar lewat pintu ruang tamu. Aku tidak mengejarnya. Aku bahkan membiarkannya tidak menutup kembali pintu gerbang depan rumahku.

***

Minggu berikutnya, ia tidak datang. Aku mencoba menyibukkan diriku dengan menulis sajak asal-asalan, mengarang cerita, menulis surat kepada Bapak, bahkan aku mencoba menulis surat untuk Profesor sastraku yang berambut putih, namun aku baru ingat bahwa ia sudah meninggal dunia.

Minggu-minggu berikutnya, tetap tidak ada Dom di sampingku. Aku mencoba pergi ke toko bunga dekat terminal bus dan tidak menemukan Dom di sana. Tokonya hanya dijaga oleh seorang wanita tua berambut keriting dengan seekor anjing yang mendengkur malas di bawah daun pintu toko itu.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

***

September 1985

Dominique menghilang. Kalau aku menganggapnya mati, itu terlalu kasar. Maka, menghilang adalah alasan yang lebih pantas didengar dibandingkan aku harus menerima kenyataan bahwa ia pergi, meninggalkanku. Aku menikmati kesendirianku dan berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan lelaki itu dari pikiranku. Aku menulis cerita untuk kolom sastra di salah satu surat kabar dan mencoba tetap menulis untuk beberapa artikel berita. Pada akhir pekan, aku akan menonton film drama percintaan yang kedua tokohnya tak dapat hidup bersama. Terkadang, aku menulis sajak mengenai bangunan toko tua yang berdiri di sekitar terminal bus; tentang seorang wanita tua yang menjaga toko itu bersama seekor anjing pemalas yang setia menjaganya di bawah daun pintu. Setelah itu aku akan pergi seorang diri, ke kafe tempat aku dan Ani biasa minum kopi.

Hari ini aku ada janji dengan Alex, tunanganku untuk minum kopi dan makan siang di jam istirahat kantor. Ia seorang pria berusia awal tigapuluhan dengan wajah kotak yang berkacamata, dan gemar memakai kemeja biru awan.

***

Mataku berkunang-kunang, tak lagi kulihat kaca di muka mataku. Wajahku terasa ringan tanpa benda itu. Aku melihat bayangan kabur orang yang lalu lalang, pria tua dengan sweater kumal menghampiriku, memberiku sebotol air yang masih tersegel.

“Romi, kau baik-baik saja?” Pria itu berbisik di telingaku. Seperti tak ada setetes pun darah yang mengalir di tubuhku, aku tak kuasa menjawab pertanyaannya. Pria itu melanjutkan, “kamu pingsan, sekarang kita di bus dalam perjalanan ke Yogyakarta. Apa yang akan kau lakukan di Yogya?” Aku tetap bungkam, bukan karena tak ada darah yang mengalir di tubuhku, melainkan karena aku telah sadar siapa pria itu sebenarnya.

“Kuharap kamu akan baik-baik saja. Beberapa menit lagi kita akan sampai di Giwangan. Jaga dirimu.” Dom menenteng tas, menggamit lengan wanita yang rambutnya dicat pirang, meninggalkanku melalui kerumunan orang dan pergi mendekati pintu keluar. Aku bahkan belum sempat mengatakan apa kabar. Di bangku, aku mulai menggigil, seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari tenggorokanku.

***

Linda A. Lestari lahir di Indramayu, 10 Oktober 1994. Karena suka minta dibelikan majalah Bobo setiap minggu, maka ia mulai menulis sastra sejak usia Sekolah Dasar. Pecinta motif leopard (macan tutul), pembelajar bahasa Spanyol, dan suka nonton film drama percintaan yang kedua tokohnya tidak dapat hidup bersama. Bercita-cita menjadi pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing), ia gemari puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Pablo Neruda. Tulisan pertamanya yang dimuat di media massa adalah cerpen yang berjudul Aku dan Dia (KaWanku Magazine edisi April 2012).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

 

Related Posts

1 of 39