Esai

Peran Kata Dalam Puisi – Esai Sastra Matroni Muserang

NUSANTARANEWS.CO – Peran Kata Dalam Puisi – Esai Sastra Matroni Muserang. Kata-kata yang kita ucapkan bukanlah apa-apa, itu merupakan kesatuan tanda-tanda yang datang ke pikiran kita, tanda-tanda yang tidak pernah mencakup dan melingkupi segala sesuatu yang ingin atau harus kita ucapkan jika kita ingin dipahami dengan benar. Plato juga dalam hal ini, menyinggung elemen kesementaraan (kontingensi) ini, meskipun dia memiliki pemahaman yang lebih instrumental terhadap bahasa dalam renungan-renungan teoritisnya tentang linguistikalitas.

Plato mempersoalan asal-usul kata yang kita ucapkan. Ini sering terjadi dalam wacana tertulis, karena kata-kata tertulis bisa menerima berbagai pemaknaan yang sangat berbeda jika kreator atau pengarang tidak ada untuk dimintai penjelasan tentang apa yang dia maksud. Walau pun ada beberapa ahli logika menyalahkan Plato karena ada kontradiksi diri dalam pendapatnya ini, sebab dia telah menuliskan pendapat tersebut.

Puisi adalah sebuah pesta atau “perayaan” dari realitas, seperti yang kita tahu bahwa puisi menggunakan medium bahasa konvensi padat dan gumpalan kata-kata serta berfungsi sebagai “perayaan”. Dalam hal ini, misalnya bagaimana pernyataan-pernyataan bisa menjurus kepada pembacaan yang salah jika tidak dipahami secara hermeneutis.

Plato tidak menyalahkan bahasa itu sendiri, dia hanya memperingatkan tentang cara-cara di mana bahasa bisa disalahgunakan oleh kamu sofis, misalnya yang bermain-main dengan kalimat-kalimat tanpa memperhatikan kebenaran penyataan-pernyataan yang diajukan kepada pembaca. Kata-kata dalam puisi semestinya hanya digunakan sebagai sarana untuk mengingat kembali kebenaran-kebenaran yang ingin diekspresikannya. Yang kita harus pahami bukanlah yang terkatakan atau apa yang bisa terkatakan lewat kata-kata puisi, tetapi seluruh pemaknaan yang ingin disampaikan pada telinga pembaca.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Ada yang berceloteh kata-kata dalam puisi di era kontemporer dan itu bukan tidak ada benarnya. Itu merupakan sebuah keniscayaan, klaim ini dilontarkan dari wilayah tertentu analisis klasik. Tanpa mengamini terori bahasa bahwa seluruh persoalan kata-kata puisi, huruf-huruf puisi lahir karena bahasa dan sampai saat ini kita tetap mengatakan bahwa kata-kata adalah sesuatu yang istimewa yang dapat memandu penyair dalam tata argumen terhadap persoalan-persoalan kesusastraan.

Kita mungkin sadar bahwa segala sesuatu yang dapat dipikirkan itu lahir dari bahasa. Bahkan akan ada pengandaian yang melandaskan konsep tentang rasionalitas dan teori kritisnya tentang masyarakat yang kita lihat sehingga pengandaian-pengandaian bersifat universal atau pengandaian yang bisa dipakai dalam setiap karya puisi yang tentunya melibatkan diri ke dalam suatu arus kesadaran tentang kata-kata dan rasionalitas yang terkatakan, terlepas dari apakah ada syarat-syarat itu terpenuhi atau tidak.

Sebenarnya dalam puisi akses yang muncul tak lebih dari sekedar bahasa dan kata-kata. Sebab yang kita dapat pahami adalah bahasa. Inilah yang kemudian menggiring segala kata untuk dapat dipikirkan ke dalam kerajaan bahasa.

Sisi penting dari bahasa sebenarnya adalah perhatian yang ditujukan pada kita bahwa yang nyata tidak lagi membatasi dirinya hanya pada apa yang mampu dikatakan. Kalau kita masih dimungkinkan berkarya atau berkata tentang kesalahan atau dusta, itu dikarenakan segala sesuatu tak mungkin diciutkan hanya menjadi sekedar semesta bahasa yang tertutup pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, di sinilah saatnya kritis sastra dan seni patut dilancarkan.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Kadang pembaca kesulitan dalam memahami kata dalam puisi, di sini perlu adanya pelacakan terhadap jejak-jejak pernyataan yang telah dikaryakan oleh kreator. Sebab kata-kata memiliki sesuatu yang spekulatif tidak hanya dalam pengertian penyair-penyair, sebagai pra-perenungan instingtif terhadap refleksi logis, namun sebagai realisasi dari makna, sebagai peristiwa tuturan, peristiwa mediasi, dan peristiwa sampai pada sebuah pemahaman yang sebenarnya. Realisasi dalam puisi berisfat spekulatif yang di dalamnya ada kemungkinan-kemungkinan terbatas.

Penyair yang memiliki sesuatu untuk dikatakan mencari dan menemukan kata-kata agar dia bisa dimengerti oleh orang lain. Ini tidak berarti dia telah membuat penyataan. Siapa pun yang pernah mengalami mencari kata dalam puisi walau pun itu hanya sebagai “saksi” pasti tahu apa artinya membuat sebuah puisi dan bagaimana tidak mampu membuat puisi untuk mewakili apa yang sesungguhnya dia maksud. Dalam sebuah puisi cakrawala makna dari apa yang harus dikatakan ditutupi oleh kelekatan metodis, jadi untuk membuat puisi kita tidak perlu tahu apa metodis, walau pun ia juga dibutuhkan untuk argument, sebab yang tersisa kemudian adalah arti murni dari puisi. Arti yang dicatat. Namun, itu juga berarti bahwa makna yang ada dalam puisi itu sendiri menjadi apa yang ditulis dalam puisi.

Dengan maksud itu, untuk membuat diri kita jadi dipahami dalam puisi, berarti bagaimana kita menangkap dan memegang apa yang dikatakan terhadap pembaca sekaligus apa yang dikatakan di dalam suatu makna yang pada dan mamastikan bahwa hanya dengan cara inilah kata-kata itu dapat dipahami. Penyair yang menggunakan puisi dapat menggunakan kata-kata yang paling biasa dan umum, namun, dia juga bisa membawa apa yang tidak dikatakan dan harus dituliskan kepada bahasa.

Baca Juga:  Talang Plastik di Rumah Pak AR

Kalau kita mengacu di Indonesia kita kenal Charil Anwar, WS Rendra, Goenawan Mohamad, Pramodya, dan lain-lain, mereka kuat dalam kata-kata karena mereka benar-benar mengalami apa yang mereka tulis sebagai puisi. Artinya kata-kata dalam puisi merupakan wakil dari kejadian-kejadian apa pun yang penyair lihat. Artinya bagaimana puisi lahir dari realitas. Sekarang yang dibutuhkan bukanlah asal jadi, kata-kata indah itu sudah menjadi puisi, tidak! tapi bagaimana kata-kata tersebut meliputi proses perenungan yang sangat panjang untuk mencapai kekuatan kata.

*Matroni Muserang, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta kini bermukim di tanah kota kelarannya, Sumenep. Aktif menulis puisi, cerpen, esai, dan dan di banyak media baik lokal maupun nasional. Buku antologi puisi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010), “Madzhab Kutub” (2010), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Jatim, 2010). Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA, Malaysia, 2012), Satu Kata Istimewa (2012), Sinopsis Pertemuan (2012), Sauk Seloko (PPN VI Jambi 2012), Sebab Cinta (2013), Di Pangkuan Yogya (2013), Terpenjara di Negeri Sendiri (2013), Indonesia di Titik 13 (2013), Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014), Gemuruh Ingatan (2014), Dari Negeri Poci 5, Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta: 2014). Puisi Menolak Terorisme (2014), Parangtritis (2014), dan lain sebagainya.

Related Posts

1 of 116