PolitikTerbaru

5 Alasan Politis Mengapa Gatot Dipensiunkan Dini

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Berbagai lembaga survei menempatkan Gatot sebagai salah satu figur yang potensial baik sebagai kandidat cawapres pendamping Jokowi, maupun sebagai kandidat capres. Apakah Gatot akan menjadi cawapres atau capres?

“Hal ini banyak memunculkan spekulasi. Bagi sebagian aktivis pergerakan Islam, manuver Gatot dicurigai sebagai ‘penugasan’ dari Jokowi untuk merangkul umat Islam perkotaan yang sangat kritis terhadap Jokowi. Sebagai imbalan, dia akan digandeng menjadi cawapres. Apalagi dalam Rakernas Partai Nasdem Gatot dengan tegas menyatakan dukungannya agar Jokowi meneruskan periode kedua, untuk kesinambungan pembangunan,” ujar konsultan media dan politik Hersubeno Arief seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jakarta, Selasa (12/12/2017).

Namun, kata dia, bagi sebagian lainnya pembelaan Gatot terhadap ulama dan umat, menjadikannya sebagai figur yang paling pantas diusung sebagai capres. Apalagi perpaduan antara tentara yang nasionalisme tidak perlu diragukan, dengan umat Islam merupakan komposisi yang sangat ideal. Perpaduan nasionalis-religius tampaknya sudah menjadi semacam rumus baku di Indonesia.

“Dengan mengganti Gatot sebelum waktunya, spekulasi bahwa Jokowi akan menggandengnya sebagai cawapres menjadi pupus. Bila Jokowi serius, maka dia seharusnya menjaga kartu Gatot tetap hidup dan memainkan peran sebagai “good cop,” bagi kalangan umat Islam,” papar Arief.

Baca Juga:  Kiai Ahmad Hasan Restui dan Dukung Luluk-Lukman Menang di Pilgub Jawa Timur

Ia melanjutkan, dengan mengganti Gatot sebelum waktunya spekulasi bahwa Jokowi akan menggandengnya sebagai cawapres menjadi pupus. Jika Jokowi serius, maka dia seharusnya menjaga kartu Gatot tetap hidup dan memainkan peran sebagai ‘good cop’ bagi kalangan umat Islam.

Sebagai Presiden, Jokowi punya hak dan kewenangan untuk memperpanjang usia pensiun seorang panglima TNI. Presiden SBY misalnya pernah memperpanjang masa jabatan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai panglima TNI sebanyak dua kali.

“Dalam konteks inilah keputusan Jokowi mengganti Gatot lebih awal, bisa dilihat sebagai upaya untuk untuk meredam kemungkinan munculnya mata hari kembar. Pergantian Gatot diharapkan dapat menutup ruang manuvernya. Jokowi tidak ingin, anak harimau yang dibesarkan, berbalik menerkamnya,” kata dia.

Lebih lanjut, Arief memaparkan lima indikasi untuk menjawab hal tersebut. Pertama, pergantian Gatot dilakukan tak lama setelah Reuni Alumni 212. Besarnya peserta yang hadir dalam reuni tersebut sangat mengagetkan kelompok pendukung Jokowi. Hal itu menunjukkan konsolidasi umat Islam yang secara politik berseberangan dengan Jokowi masih sangat terjaga.

Baca Juga:  Pengerahan Sistem Pertahanan THAAD di Israel Picu Eskalasi di Kawasan Regional

Gerakan ini berpotensi kian membesar dan semakin solid mendekati pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Kekuatan mereka tidak bisa diremehkan setelah menunjukkan kedigdayaan menumbangkan Ahok di Pilkada DKI. Gatot dinilai sangat dekat dengan kelompok-kelompok ini bahkan digadang-gadang sebagai capres penantang Jokowi. Jadi kekuatannya harus segera dilucuti.

Kedua, sejumlah survei yang dilansir oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi berkisar antara 35-40 persen. Kendati masih teratas, angka elektabilitas sebesar itu sangat rendah dan rawan bagi seorang incumbent yang terus menerus melakukan pencitraan (permanent campaign) seperti Jokowi.

Elektabilitas Jokowi bisa kian tergerus bila kinerja ekonominya jeblok, dan program pembangunan infrastruktur yang menjadi andalannya tidak memenuhi target.

Ketiga, survei tersebut bisa dibaca, bahwa lebih dari 60 persen pemilih tidak lagi menghendaki Jokowi. Sementara Prabowo sebagai penantang terkuat, angka elektabilitasnya cenderung stagnan. Publik sedang mencari figur alternatif. Pasar pemilih menjadi flat dan terbuka, karena tidak ada figur kandidat yang dominan. Gatot bersama sejumlah figur lain seperti Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang Zainul Mahdi, dan sejumlah tokoh lainnya digadang-gadang bisa menjadi penantang Jokowi.

Baca Juga:  Jelang Debat Perdana Pilgub Jatim, Risma-Gus Hans Pede Tampil Prima

Keempat, banyak partai yang tidak memiliki figur internal yang kuat dan bisa dijual sebagai capres. Dalam sistem pemilu pileg dan pilpres dilakukan secara bersamaan, jualan capres yang populer bisa mendongkrak perolehan suara parpol. Jangan kaget bila setelah resmi pensiun, Gatot segera dipinang parpol.

Kelima, percepatan pensiun Gatot bila dikapitalisasi bisa menjadi modal kuat bagi Gatot. Publik kita yang melo biasanya sangat bersimpati pada seorang tokoh yang didzalimi. Pengalaman SBY yang memilih mengundurkan diri karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam banyak diambil alih Presiden Megawati, menjadi salah satu contoh.

SBY yang sejak awal telah membuat sekoci dengan mendirikan partai Demokrat kemudian menjadi penantang dan mengalahkan Megawati pada Pilpres 2004. Bukan tidak mungkin skenario ini juga akan dijalani Gatot.

“Inilah waktunya bagi Jenderal Gatot untuk menentukan posisinya dan memanfaatkan momentum. Meminjam nasehat Michael Korda seorang penulis Inggris terkenal, If your posisition is anywhere, your momentum is zero,” tandasnya. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 17