NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Peneliti Bidang Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia dari Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Budi Prasetyo Widyobroto mengungkapkan, bahwa mayoritas atau hingga 90% usaha persusuan di Indonesia masih dikelola secara tradisional.
“Usaha persusuan di Indonesia, 90% merupakan peternakan rakyat dengan ciri-ciri skala kepemilikan ternak rendah dan pengelolaan ternak masih secara tradisional,” kata dia dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/11/2017).
Perkembangan persusuan di Indonesia, jelas Prof Budi dapat dibagi menjadi 3 fase. Pertama, fase perkembangan yang terjadi sebelum tahun 1980. Kedua, fase peningkatan populasi sapi perah periode 1980-1997. Ketiga, fase stagnasi mulai tahun 1997-sekarang.
Ia menuturkan, pada fase peningkatan populasi sapi perah, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peternak dengan melakukan impor sapi perah dan juga melakukan proteksi terhadap hasil susu.
“Namun, sejak tahun 1997 perkembangan sapi perah relatif stagnan. Hal itu disebabkan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan tuntutan kebijakan perdagangan bebas sehingga pemerintah mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri,” terang Prof Budi.
Akibat keputusan itu, lanjutnya, maka produk susu dan efisiensi usaha peternak sapi perah harus mampu bersaing dengan peternak luar negeri, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
“Hal ini merupakan salah satu penyebab keterpurukan usaha sapi perah di Indonesia karena peternak belum mampu bersaing dengan produk susu dan olahannya yang dihasilkan peternak luar negeri,” jelas Prof Budi yang juga Dosen Tetap Fapet UGM Bagian Produksi Ternak.
Selanjutnya, ucap Prof Budi, pada tahun 2008 populasi sapi perah di Indonesia sudah mengalami peningkatan meskipun pertumbuhannya masih relatif lambat. Yakni menjadi sebanyak 457.577 ekor dibanding 361.351 ekor pada tahun 2005.
Sementara itu, konsumsi susu segar dan produk olahan susu segar oleh masyarakat Indonesia tahun 2008 sebesar 6,92 kg per kapita per tahun. Sedangkan kontribusi produksi susu dalam negeri tahun 2008 sebesar 646.953 ton, yang hanya mampu memenuhi ±30% kebutuhan nasional, sehingga sisanya 70% dipenuhi dari impor.
Kondisi ini sebenarnya merupakan peluang pasar yang besar bagi usaha sapi perah di Indonesia, akan tetapi karena daya saing peternak sapi perah yang kurang memadai, maka justru mengakibatkan peternak kurang bergairah dan sebagian peternak menutup usaha dan beralih ke profesi lain, papar Prof Budi.
Dukungan Pemerintah
Prof Budi menambahkan, untuk meningkatkan ketersediaan dan ketercukupan pasokan susu di Indonesia, maka peningkatan jumlah sapi perah mutlak perlu diwujudkan. Sehingga dari peningkatan jumlah sapi perah tersebut, berimplikasi pada peningkatan kuantitas dan kualitas susu di Indonesia.
“Artinya, peluang pasar dari kebutuhan susu bagi masyarakat, seharusnya bisa dipenuhi oleh peternak domestik. Dengan demikian, berimplikasi pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan peternak. Karena itu, regulasi dan program yang tepat sebaiknya segera diterbitkan dan dijalankan pemerintah untuk secara langsung dan riil bisa mensejahterakan peternak,” tandas Prof Budi menutup pernyataannya. (red)
Editor: Redaksi