HukumPolitik

PSHK: Konflik Kepentingan Makin Kuat, Pelemahan di Depan Mata

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ikut mengomentari laporan sementara Panitia Khusus Hak Angket DPR RI terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Peneliti PSHK, Miko S Ginting memberikan setidaknya lima pendapat terkait laporan tersebut.

Pertama Miko berpendapat bahwa pembentukan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK sejak awal telah bermasalah. Sebab KPK sebagai lembaga independen yang terlepas dari tiga cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) bukan merupakan objek pelaksanaan hak angket DPR.

“Perlu dipahami bahwa hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat merupakan tiga hak DPR yang dilaksanakan khusus dalam rangka fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,” kata Miko di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis, (28/9/2017).

Merunut sejarah, sambung Miko, ketiga hak itu pada awalnya didesain untuk menjatuhkan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan parlementer. Karena kekhususan itu, pelaksanaan hak angket memiliki alokasi anggaran tersendiri sementara keanggotaan Pansus Hak Angket dicatatkan dalam Berita Negara.

Perlu dicatat bahwa dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi pengawasan, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menyediakan mekanisme-mekanisme pengawasan biasa yang dapat dilakukan oleh DPR, yaitu Rapat Dengar Pendapat (RDP), Rapat Kerja (Raker), serta Rapat Konsultasi.

“Dengan demikian, apabila proses pembentukannya saja sudah bermasalah, maka perpanjangan masa kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK tentu tidak dapat dibenarkan,” kata Miko.

Kedua, Miko berpendapat Pansus bahwa posisi Wadah Pegawai KPK (WP) dapat mengintervensi atau melangkahi Pimpinan KPK tidaklah beralasan.

Baca Juga:  Menang Pilgub, Cagub Luluk Janjikan Kesejahteraan Guru TK dan PAUD

Menurutnya keberadaan WP KPK memiliki dasar legitimasi kuat sebagaimana tercantum dalam PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan Sumber Daya Manusia KPK. Pasal 16 PP tersebut juga mengamanatkan WP KPK untuk memiliki Dewan Pertimbangan Pegawai yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Pimpinan KPK mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian.

“Artinya, fungsi penyampaian rekomendasi kepada Pimpinan KPK bukan merupakan bentuk melampaui kewenangan karena memang telah dimandatkan oleh PP tersebut untuk dilaksanakan oleh WP KPK,” katanya

Karenanya kata Miko, patut diduga, melalui Laporan Sementara Pansus, DPR berusaha mendelegitimasi keberadaan Wadah Pegawai KPK.

Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, Wadah Pegawai KPK telah mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terkait keabsahan KPK sebagai objek pelaksanaan hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Artinya, apabila MK mengabulkan permohonan itu, Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK otomatis akan kehilangan legitimasinya,” kata Miko.

Ketiga, Miko berpendapat bahwa KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi dengan cukup optimal. Data berbicara melalui Laporan Tahunan KPK 2016, khusus untuk supervisi dan koordinasi pada bidang penegakan hukum saja, KPK telah menerima 661 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan dan 255 dari Kepolisian.

Dalam konteks itu, KPK juga telah melakukan koordinasi terhadap penanganan 163 perkara dan supervisi terhadap 201 perkara. Angka yang sebenarnya jauh melampaui target KPK sendiri.

Seharusnya DPR berposisi mendukung usaha mengoptimalkan penegakan hukum terutama dalam bidang korupsi ini. Salah satunya adalah mendorong upaya pembersihan di institusi penegak hukum lain, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan.

Baca Juga:  Ratusan Nelayan Tlocor Sidoarjo Kompak Dukung Khofifah di Pilgub, Galang: Bukti Sejahterakan Nelayan

DPR, kata Miko, jika memang berniat melakukan penguatan terhadap kerja pemberantasan korupsi, bisa saja menjalankan Pansus untuk mengevaluasi kinerja Kepolisian dan Kejaksaan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif.

“Terutama dengan perspektif membangun dan membenahi kedua institusi penegakan hukum ini,” tegasnya.

Keempat Miko berpendapat upaya praperadilan yang dilakukan oleh Setya Novanto patut diduga akan sangat berkaitan dengan rekomendasi Pansus kelak. Bahkan hal tersebut akan memberikan angin segar kepada Pansus Hak Angket KPK.

Sebab pada persidangan praperadilan pada Selasa 26 September 2017 lalu, penasehat hukum Setya Novanto membawa bukti-bukti yang diperoleh dari Pansus Hak Angket KPK. Untuk itu, upaya praperadilan Setya Novanto harus menjadi perhatian bersama secara serius.

Kelima, Miko berpendapat bahqa jalannya Pansus Hak Angket terhadap KPK tidak dapat dilepaskan dari rangkaian upaya memperlemah KPK. Pada dasarnya, tanpa melalui hak angket sekalipun, DPR tetap bisa melakukan pengawasan terhadap kinerja KPK.

Masih segar dalam ingatan bahwa beberapa tahun yang lalu DPR periode 2009-2014 berusaha menghambat pembangunan Gedung Baru KPK dengan memanfaatkan kekuasaan atas fungsi anggaran yang mereka miliki. Kali ini, bersamaan dengan kasus megakorupsi e-KTP yang sedang ditangani KPK dan diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK sangat gencar menjalankan tugasnya dan berhasil memperpanjang masa kerjanya.

Baca Juga:  Debat Ketiga, Cagub Luluk Sorot Krisis Lingkungan di Jawa Timur

“Maka, sulit bagi publik untuk menganggap bahwa kedua peristiwa itu tidak saling terkait,” katanya.

Berdasarkan lima pendapat tersebut, Miko berkesimpulan bahwa laporan Sementara yang dihasilkan oleh Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK tidak dapat dinilai sebagai langkah upaya untuk membenahi KPK sebagai aparat penegak hukum. Sebab faktor konflik kepentingan dan kesan mencari-cari kesalahan KPK telah tampak begitu kuat dalam kerja-kerja Pansus selama ini.

“Oleh karena itu, publik harus terus mendesak DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya serta tidak memanfaatkan hak kelembagaan demi melindungi oknum-oknum Anggota DPR yang terjerat kasus yang ditangani KPK,” katanya.

Selain itu, Presiden Joko Widodo harus mengupayakan langkah-langkah tegas dan konkret untuk melawan usaha pelemahan KPK, sebagaimana janjinya dalam Nawacita untuk terus menguatkan KPK dan upaya pemberantasan korupsi.

Untuk diketahui, dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa, 26 September 2017 lalu, ternyata tidak memberikan ketuntasan mengenai hasil kerja Pansus Hak Angket DPR Terhadap KPK.

Ketua Pansus Agun Gunandjar, dalam laporannya, menyebutkan daftar temuan yang diperoleh selama Pansus bekerja dalam 60 hari terakhir, antara lain terkait aspek kelembagaan, kewenangan, tata kelola sumber daya, serta anggaran.

Laporan itu menganggap, antara lain: KPK gagal dalam menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi; KPK acap kali mengabaikan nota kesepahaman antara Polri dan Kejaksaan sehingga langkah yang diambil KPK tidak sesuai dengan kesepakatan bersama; posisi Wadah Pegawai KPK dapat mengintervensi Pimpinan KPK.

Pewarta: Restu Fadilah
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 204