Oleh: Dr. Ahmad Sastra*
Mencermati ditangkapnya Asma Dewi, seorang ibu rumah tangga asal Aceh, yang photonya saat di dalam penjara sempat tersebar luas, hingga masuk ke handphone saya, cukup menarik perhatian saya. Meski saya sama sekali tidak mengenalnya. Menarik, karena selain sudah tidak muda lagi, Asma Dewi adalah seorang ibu rumah tangga. Dalam kopian surat perintah penahanan, tertulis data bahwa Asma Dewi lahir 19 Maret 1965, berarti telah berusia 52 tahun. Usia yang tidak lagi muda. Ia terjerat UU ITE tentang ujaran kebencian yang kini telah menjadi senjata utama rezim.
Sebagai aktivis mahasiswa muslim tahun 1998 yang sempat menyaksikan jatuhnya rezim Soeharto dan saya harus mendekam dalam penjara, saya ikut empati merasakan apa yang sedang dirasakan ibu Asma Dewi. Saya kelahiran 08 Maret 1976 [bulannya sama ya], saat itu saya baru kuliah semester 2. Bahkan jika hari ini saya dipenjara lagi, usia saya masih jauh dibawah Ibu Asma Dewi. Saat itu saya di dalam penjara yang sempit, gelap, pengab dan tidak mendapatkan cahaya matahari sama sekali. Entah kalau sekarang, apakah penjara itu masih seperti itu kondisinya.
Saat itu saya masih muda dan mahasiswa, jadi saya paksakan untuk bisa menikmati resiko perjuangan itu. Tapi jika kondisi ini dialami oleh seorang ibu rumah tangga yang sudah tidak muda lagi, punya anak dan suami, mungkin apa yang disarakan ibu Asma Dewi menjadi sangat berbeda dengan apa yang saya rasakan saat itu.
Dengan tulisan ini saya hanya ingin menggugah kembali kepada mahasiswa Islam. Jika yang dipenjara adalah ibu-ibu setengah baya, lantas mahasiswa Islam pada pergi kemana. Mana idealisme kalian sebagai agen perubahan dan perjuangan kebenaran. Apakah kalian tidak malu, ada seorang ibu-ibu aktivis dipenjara, sementara kalian terlalu enak menikmati hedonisme duniawi, sibuk dengan HP di tangan, sambil sesekali tertawa sendiri. Ironis.
Sebagai aktivis mahasiswa Islam masa orde baru, saya terus memantau dan mencermati pergerakan mahasiswa muslim akhir-akhir ini, ada keprihatinan yang mendalam. Kini banyak mahasiswa yang bangga tampil di tv-tv menghadiri berbagai acara hiburan, sambil sesekali tepuk tangan ketika disuruh tepuk tangan. Sebagai dosen, saya melihat mahasiswa di kampus juga banyak yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, tidak banyak peduli terhadap permasalahan umat. Idealisme mahasiswa muslim telah mati, sudah saatnya dikubur. Masih adakah sisa-sisa mutiara mahasiswa muslim sejati.
Secara normatif, sosok mahasiswa muslim bukan hanya agen perubahan sebagaimana disematkan kepada mahasiswa pada umumnya, namun melekat juga pada dirinya visi kemusliman. Mahasiswa muslim memiliki dua dimensi utama, dimensi horizontal sebagai pergerakan sosiologis dan dimensi vertikal sebagai pribadi yang terikat dengan nilai teologis. Namun, nampaknya kebanyakan mahasiswa muslim mengalami penyakit gagal paham atas visi diri dan pergerakannya.
Karena itu karakteristik pergerakan mahasiswa muslim berdimensi sosiologis sekaligus teologis. Artinya, Islam sebagai landasan dan gerakan sosial politik sebagai aktivitasnya. Selain tentu saja aktivitas berdimensi saintifik. Seluruh aktivitas mahasiswa muslim baik terkait dengan sosial, politik maupun saintifik adalah refleksi dari kesadaran teologis. Inilah istimewanya mahasiswa muslim.
Pergerakan mahasiswa muslim setidaknya harus mencerminkan kepeloporan, keteladanan dan kemuliaan. Paling tidak ada lima nilai yang harus dipatuhi seorang mahasiswa muslim. Pertama, nilai kehambaan, artinya pergerakan mahasiswa muslim adalah refleksi dari kesadaran akan visi kebajikan dan ibadah. Kedua, nilai intelektual, artinya pergerakan mahasiswa muslim adalah cermin dari mendalamnya tsaqafah Islam dalam upaya berdakwah dan berkarya membangun peradaban mulia di masa mendatang. Ketiga, nilai keimanan, artinya seluruh aktivitas dan pergerakan mahasiswa muslim adalah pengejawantahan keyakinan akan kebenaran Islam sebagai solusi tunggal bagi permasalahan umat dan bangsa.
Keempat, nilai kekhalifahan, artinya mahasiswa muslim dengan seluruh fungsi dan perannya harus mencerminkan visi kepemimpinan peradaban yang kelak akan diemban seiring pergantian masa dan generasi. Pemuda hari ini, esuk akan jadi pemimpin dan pemangku amanah peradaban bangsa. Kelima, nilai motivatif, artinya menjadi seorang mahasiswa muslim harus memiliki gairah ntuk melayakkan diri sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk kebaikan peradaban dan kemanusiaan.
Nilai kehambaan mahasiswa muslim menghajatkan sebuah pemahaman dan kesadaran yang mendalam akan pentingnya akhlak mulia dalam segala aspek perilaku. Mahasiswa muslim akan mudah dikenali dari kemuliaan dirinya. Pakaian mahasiswa muslim adalah cermin kemuliaan dirinya. Pergaulan mahasiswa muslim adalah cermin dari penjagaan harga diri dari seluruh pergaulan yang tidak islami. Bahkan mahasiswa muslim dalam menyampaikan kritik sosial kepada kezaliman pemerintahpun mencerminkan sebuah kemuliaan.
Mahasiswa muslim tidak melakukan kritik sosial atas kezaliman pemerintah dengan anarkistik apalagi sampai merusak fasilitas umum dan menyebabkan kemacetan jalan. Jika masih dilakukan, diragukan kemuslimannya. Sebab Islam tidak mengajarkan kerusakan. Islam mengajarkan sikap-sikap mulia, meski dalam demontrasi sekalipun. Demonstrasi mahasiswa muslim mencerminkan etika, kepribadian dan identitas Islam.
Nilai intelektual mahasiswa muslim memiliki makna bahwa seluruh aspirasi yang disampaikan kepada pemerintah adalah perwujudan dari sebuah kajian akan nilai-nilai Islam yang solutif. Islam bukan hanya agama ritual, melainkan solusi dan jalan hidup. Demontrasi mahasiswa muslim bukan sekedar orasi tanpa makna, bukan sekedar orasi sarat emosi. Demonstrasi mahasiswa muslim adalah bentuk dakwah kepada pemimpin dengan menawarkan Islam sebagai solusi atas seluruh carut marut bangsa ini.
Mahasiswa muslim adalah yang yakin akan kebenaran Islam. Mahasiswa muslim tidak menawarkan solusi atas permasalahan bangsa selain solusi Islam. Bukankah satu hal yang aneh jika seorang muslim menawarkan sekulerisme atau sosialisme sebagai solusi bangsa. Bukankah satu hal yang aneh jika seorang muslim tidak meyakini Islam itu sendiri. Bukankah satu hal yang ganjil jika mahasiswa muslim lebih fasih menuturkan teori-teori Marxisme dan Adam Smith ketimbang ayat-ayat Qur’an dan hasil ijtihad para ulama. Mahasiswa muslim adalah intelektual muslim, bukan yang lain.
Nilai keimanan mahasiswa muslim terefleksi pada upaya sungguh-sungguh menjadikan negeri ini sebagai negeri yang mendapat keberkahan dari Allah, bukan negeri yang dilaknat dan diazab oleh Allah. Sebab Allah telah berjanji akan membukakan pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi jika suatu kaum di sebuah negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah. Sebaliknya, jika ayat-ayat Qur’an sebagai peringatan Allah justru diabaikan, maka suatu negeri itu akan menghadapi berbagai kesempitan hidup.
Berbagai bentuk kemaksiatan berupa privatisasi sumber daya miliki rakyat adalah bentuk kezaliman yang akan mendatangkan kesengsaraan rakyat. Mahasiswa muslim merefleksikan nilai keimanannya dengan menjadi pelopor dan pendorong bagi berimannya bangsa Indonesia, baik rakyat maupun para pemimpinnya. Mentaati seluruh firman Allah dalam mengurus rakyat adalah cermin keimanan seorang pemimpin bangsa.
Nilai kekhalifahan mahasiswa muslim adalah cermin gerakan peradaban. Mahasiswa muslim adalah mahasiswa visioner. Mahasiswa muslim adalah mahasiswa yang sadar sepenuhnya bahwa negeri ini telah salah kelola. Karena itu, seorang mahasiswa muslim bukan mahasiswa yang terjebak kepada kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Mahasiswa muslim adalah pengusung idealisme sejati. Dalam hatinya tersimpan cita-cita besar untuk membangun peradaban negeri ini menjadi lebih bermartabat, mulia dan berkemajuan. Di atas pundak mahasiswa muslim teronggok amanah peradaban Islam.
Mahasiswa muslim adalah mahasiswa yang sangat menghargai sejarahnya sendiri, tidak melirik sejarah peradaban lain. Dalam jiwanya tersimpan gairah untuk mengembalikan kejayaan Islam demi kemaslahatan dan penebaran rahmat bagi manusia seluruhnya. Mereka sadar akan datangnya giliran kepemimpinan negeri ini dengan visi yang lebih baik dan mulia.
Mahasiswa muslim akan terus menyalakan lentera bagi pencerahan bangsa. Dengan keteguhan dan komitmen tinggi, mahasiswa muslim akan terus menjaga nyala lentera itu hingga benar-benar bisa menerangi kegelapan peradaban negeri ini. Lentera itu bernama Islam.
Nilai motivatif mahasiswa muslim adalah tonggak kebangkitan bangsa ini untuk melawan penjajah masa lalu. Perlawanan para mahasiswa dan santri atas penjajahan masa lalu adalah fakta tak terbantahkan. Pekikan takbir telah menjadi energi paling kuat untuk terus menjaga semangat dan gelora perjuangan mencapai kemerdekaan negeri ini.
Mahasiswa muslim adalah cermin generasi terbaik sepanjang masa. Para pemuda muslim zaman Rasulullah telah menjadi pelopor dan teladan yang menakjubkan. Motivasi untuk menjadi generasi terbaik yang dilahirkan untuk manusia adalah energi yang tak boleh padam dalam setiap dada mahasiswa muslim dimanapun berada. Gelora untuk menyatukan visi dan langkah seluruh mahasiswa muslim adalah amanah agung yang harus terus dididihkan dalam jiwa mereka.
Sebab umat Islam adalah satu. Bertuhan satu, berkitab satu, bernabi satu dan bernegara satu. Perjuangan mahasiswa muslim tanpa persatuan adalah berjuang di ruang kosong. Perpecahan mahasiswa muslim adalah cermin disorientasi. Tanpa persatuan mahasiswa muslim, mustahil melahirkan ideologi perjuangan. Jika perpecahan masih ada, maka mahasiswa muslim, meski jumlahnya banyak, mereka tak ubahnya seperti buih yang tak memiliki ruang dalam perwujudan kemajuan bangsanya.
Sebab jika dicermati, nampaknya mahasiswa muslim telah banyak yang kehilangan visi kemuslimannya, baik secara individual maupun organisasional. Banyak diantara mahasiswa muslim yang justru terjebak pada jalan pragmatisme, hedonisme dan kepentingan-kepentingan politik sesaat. Mereka tak lagi mencerminkan gerakan intelektual dan idealisme Islam.
Bahkan diantara mereka ada yang terjebak kepada ideologi sekuler dan liberal. Alih-alih ingin membangun peradaban mulia, mereka justru telah menjadi bagian dari masalah bangsa ini. Banyak mahasiswa muslim yang terjebak kepada isu-isu tak penting hingga mengakibatkan tawuran antar kampus dan berbagai anarkisme yang memalukan.
Jika demikian faktanya, apakah layak mereka disebut sebagai agen perubahan dan perjuangan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa mendatang. Layakkah mereka disebut sebagai pelopor kebajikan dan kemuliaan. Bukankah semua itu hanya akan merugikan nama baik mahasiswa muslim dan bahkan mencoreng kemuliaan Islam itu sendiri di mata orang lain.
Saatnya mahasiswa muslim melakukan refleksi ideologis menuju generasi terbaik sebagaimana Allah sematkan. Saatnya mahasiswa muslim menjadi pengemban amanah peradaban dan memperjuangkannya. Saatnya mahasiswa muslim menjadi agen perubahan sejati dengan menawarkan Islam sebagai solusi atas problematika yang terus mendera bangsa ini.
*Penulis, Aktivis Mahasiswa ’98, Mantan Ketua Umum HMI