NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Penulis buku populer “Hafalan Sholat Dilisa” Tere Liye menyatakan dirinya tidak akan lagi menerbitkan buku-bukunya di beberapa penerbit mayor yang selama ini mempopulerkan buku dana namanya itu. Kenapa sebab?
Tere Liye mengaku keberatan dengan kebijakan pemerintah terkait pajak buku yang dinilainya tidak adil bagi para penulis buku id Indonesia.
Melalui pernyataan yang dia unggah media sosial facebook dan instagram miliknya, ia menyatakan: “Per 31 Juli 2017, berdasarkan permintaan kami, Gramedia Pustaka Utama dan Republika Penerbit, efektif menghentikan menerbitkan seluruh buku Tere Liye.”
Keluhan Tere Liye yang langsung viral di kalangan penggemar dan pembaca pada umumnya, langsung mendapat tanggapan dari Pusat Studi Analisis Perpajakan, Yustinus Prastowo.
Menurut Yustinus ungkapan Tere Liye tersebut terkesan bernada emosional. Seperti dalam pernyataannya, penulis kondang itu memutuskan menarik seluruh penjualan bukunya dari toko buku dan akan menjual secara online.
“Alasannya, beliau kecewa pada aturan pajak terhadap penulis yang dirasakan berat, lalu diimbuhi ketidakpedulian Pemerintah merespon keluhan dan masukan,” kata Yustinus.
Baca: Keluhan Tere Liye Soal Pajak Buku Mendapat Respon dari Pusat Studi Analisis Perpajakan
Sementara itu, sebagai sesama penulis, Rayni N. Massardi turut berkomentar terkait dengan royalti dan pajak buku bagi para penulis. Bagi Rayni N. Massardi yang telah banyak menulis dan telah diterbitkan oleh sejumlah penerbit, menulis itu tidak untuk mencari royalti melainkan untuk kesenangan. Ia pun mengaku meski tidak punya penghasilan besar, ia menulis bukan karena karena ada bayaran.
Berikut ini catatan lengkap Rayni N. Massardi melalui ruang bertukar gagasan dan ide di watyutink berjudul “Tetap Menulis Walau Penghasilan Biasa Saja“:
Dari dulu saya tak pernah menjadikan penghasilan royalti dari menulis sebagai concern utama. Penting sih penting, sebab itu wujud apresiasi pada penulis. Tapi saya memang tak pernah berharap uang dari menulis buku. Kalau dapat royalti ya kebetulan itu hak saya. Suami saya pun (Noorca AN Massardi–red) begitu. Kami senang menulis saja. Kami tak pernah meributkan soal royalti, atau menuntut penulis harus bagaimana. Bagi saya, menulis lalu ada (pihak) yang mau bukukan, itu saja saya sudah senang. Artinya ada yang menganggap tulisan saya bagus, layak diterbitkan jadi buku.
Saya menulis bukan karena dibayar. Malah mungkin penerbit yang rugi kalau bukunya tak laku. Selama ini penjualan buku saya biasa-biasa saja. Kemarin novel saya naik cetak kedua. Bagi saya, menjadikan penulis sebagai profesi di Indonesia belum bisa. Itu bagi saya. Namun, saya akan tetap menulis walau penghasilan dari situ biasa-biasa saja. Saya bakal menulis apa saja, baik itu fiksi cerpen, novel, kumpulan esai, atau lainnya. Bagi saya menulis juga bukan perkara iseng, karena menulis itu berat banget terkait energi dan waktu. Menulis bagian dari terapi diri. Syukur-syukur isinya ada manfaat untuk orang lain.
Saya pun tak menulis yang canggih-canggih, atau sastra yang bagaimana, tapi selama ini penerbit mau menerima (naskah saya). Sekali lagi, diterbitkan saja saya senang. Saya kan tak punya uang untuk menerbitkan buku sendiri. Lagipula, kalau buku saya ada yang terbitkan berarti tulisan saya nggak jelek-jelek amat, masih ada pasarnya.
Saya tak pernah menerbitkan buku sendiri, dan menerbitkan sendiri itu berat. Tapi penerbit itu berat. Untuk masuk ke toko buku susah. Anda tahulah, kalau bukan dari penerbit anu yang punya toko anu, susah. Jadi kami sabar saja, ya memang begitu adanya. Tapi saya tak pernah komplain ke penerbit. Sebab mereka juga sudah berjuang. Tapi sekarang kan banyak cara menjual buku. Selain toko buku A, ada toko buku lain. Lalu penerbit biasanya minta penulisnya berbusa-busa mempromosikan di medsos. Penerbit-penerbit kita itu hebat masih bisa survive.
Saya kadang bingung melihat buku ada cetakan kelima belas, keduapuluh. Saya lihat nama penerbitnya, bukan penerbit besar. Berarti kan ada pasarnya. Buku laris memang nggak ada resepnya. Coba lihat deh ke toko buku, banyak buku laris yang penerbitnya tak dikenal. Terutama buku remaja. Kalau saya tak bisa meremaja (menulis dengan gaya remaja–red). Jadi, kalau nggak ada yang beli (buku saya) ya, sudah. Yang jelas, saya akan tetap menulis. Karena saya hanya bisa itu, nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Saya tak bisa jadi pengusaha.
Rayni N. Massardi merupakan penulis kelahiran Brussels, Belgia. Cerpen-cerpen karya lulusan Universitas Paris III Sorbonne Nouvelle, Departement d’Etudes et Recherches Cinematographique, Paris, Perancis, ini pernah dimuat di Femina, Horison, Kartini, Zaman, Kompas, dan Suara Pembaruan. Cerpen Yang Tersisa dimuat dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Penerbit Kompas, 1995). Cerpen Dua Senja dimuat dalam Kumpulan Cerpen Kompas 1981-1990 Riwayat Negeri yang Haru (Penerbit Kompas, 2006). Kumpulan Cerpen Istri Model Baru (Yayasan Sarinah, Jakarta, 1990). Kumpulan Cerpen Pembunuh (Penerbit kompas, 2005).
Selain fiksi, Rayni juga menulis kumpulan esai Hidup Enggak Enak Itu Enak! (JMC, 2007) biografi politik 1.655: Tak Ada Rahasia dalam Hidup Saya (Galangpress, Yogyakarta, 2005), dan salah seorang penulis buku Inspirasi Mode Indonesia (Gramedia, Jakarta, 2003), serta Terima Kasih Anakku (Padasan, 2012).
Editor: Ach. Sulaiman