Opini

Negara Darurat Kasus Kekerasan Seksual dan Pornografi

Miris. Itulah kesan pertama ketika membaca berita seputar kasus kekerasan seksual dan pornografi.

Jika kita membuka media massa, baik cetak maupun elektronik nyaris saban hari adanya suguhan berita tentang kekerasan seksual dan pornografi di tanah air. Fakta tentang masifnya tindakan pelanggaran hukum itu selalu ada saban harinya, sekaligus membuktikan kasus ini bukan main-main sehingga menuntut peran semua pihak, terutama pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan preventif.

Kasus kekerasan seksual dan pornografi cenderung meningkat. Mungkin tidak ada yang tahu persis berapa jumlah sesungguhnya kasus tersebut pernah terjadi di negeri ini. Pasalnya, setiap saat kasus-kasus baru selalu bermunculan dan tidak semuanya berhasil terdokumentasikan dalam rekapan.

Hanya saja, Menteri PPPA Yohana Yembise pernah mengungkapkan kasus pencabulan anak yang terlapor hingga 2016 sudah mencapai angka 5.769 kasus. Ketua Komnas PA, Agust Merdeka Sirait juga pernah mengungkapkan data sepanjang tahun 2015-2016 sedikitnya ada 261.000 kasus pencabulan. Celakanya, 58 persennya dialami anak-anak di bawah umur. Parah!

Baca Juga:  Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo

Ada banyak motif yang melatarbelakangi para predator pencabulan melakukan aksi kejinya itu. Bisa saja terjadi lantaran terpengaruh pornografi dan motif-motif lainnya. Yang jelas, lingkungan begitu mendominasi sebagai faktor utama yang mempengaruhinya, dan tentu saja negara harus bertanggungjawab atas itu semua.

Ada contoh kasus yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui motif di balik aksi kekerasan seksual. Di Malang, seperti diwartakan Merdeka, Minggu (27/8) lalu mengungkapkan kasus seorang pria berinisial PS (45) ditinggal istrinya mencari nafkah sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong selama 17 tahun. PS tega mencabuli anak tetangganya yang masih berusia di bawah umur. Bahkan korban berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP.

Tindakan bejat ini membuat korban terpaksa harus mengandung anak hasil perbuatan PS. Walhasi, PS terpaksa meringkuk di balik jeruji sebagai pertanggungjawaban atas perbuatan nistanya tersebut.

Dalam sebuah pengakuannya kepada pihak kepolisian, PS melakukan aksinya lantaran sang istri tak kunjung mudik dari Hong Kong selama 17 tahun terakhir. Akibatnya, PS kalap. Ia dengan teganya menggagahi korban yang masih muda belia.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Bekerja di luar negeri, di tempat yang jauh adalah hak setiap orang. Bahkan pemerintah tak berhak melarang WNI bekerja ke luar negeri. Sebaliknya pemerintah berkewajiban melindungi mereka dari setiap risiko kerja di mana saja mereka berada. Hal ini sesuai dengan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang buruh migran. Konvensi ILO menyatakan setiap orang berhak bekerja di mana saja. Termasuk istri PS yang bekerja di Hong Kong.

Umumnya, pemicu utama seseorang rela bekerja jauh ke luar negeri adalah karena motif ekonomi. Hal itu pula yang tampaknya menjadi alasan istri PS bekerja di Hong Kong. Karena pemerintah gagal membuka kesempatan dan lapangan kerja mencukupi di dalam negeri, bekerja ke luar negeri kemudian menjadi pilihan yang harus ditempuh sebagian masyarakat Indonesia demi menyambung hidup.

Tak sedikit mereka yang bekerja ke luar negeri dari kalangan perempuan. Seorang istri yang sejatinya harus dekat dengan suami dan anak-anaknya terpaksa merantau ke negeri orang untuk menolong ekonomi keluarga. Ketika suami-istri terbentang jarak tempuh yang sangat jauh, beban psikis dan biologis harus ditanggung masing-masing. Termasuk dalam kasus PS yang 17 tahun tak kunjung pulang sekadar menjenguk sang suami di kampung halaman.

Baca Juga:  Ukraina Mengakui Ketergantungannya Pada Bantuan Barat

Keterpisahan suami-istri dalam rentang waktu yang cukup lama tentu berpotensi terjadinya tindakan penyimpangan. Hemat penulis, kasus di atas salah satu penyebabnya ialah keterpisahan yang terlalu lama PS dan istrinya.

Jika dicermati, itu semua tentu tak bisa dilepaskan dari keteledoran pemerintah dan negara dalam mengatur urusan rakyatnya. Negara dan pemerintah gagal memberi jaminan kesejahteraan pangan di dalam negeri, dan hal itu berimbas pada penyelewengan warga negara.

Pungkasan, sungguh menyedihkan. Indonesia sedang benar-benar butuh perubahan nyata. Semoga perubahan itu segera tiba!

(Penulis: Firdaus Bayu, Direktur Pusat Kajian Multidimensi)

Related Posts

1 of 9