NUSANTARANEWS.CO, Paris – Sebuah jajak pendapat yang dilakukan Ifop untuk surat kabar Le Journal du Dimanche (JDD) merilis peringkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Emmanuel Macron. Dalam rilisnya, peringat ketidakpuasan terhadap Presiden Perancis mengalami kenaikan menjadi 57 persen dari 43 persen pada bulan Juli lalu.
Sebelumnya, jajak pendapat yang dilakukan YouGov juga mendapati hasil sama. YouGov yang bekerjasama dengan Huffington Post dan saluran TV CNews merilis bahwa popularitas Macron terutama di mata pendukungnya sudah menyusut cukup tajam selama tiga bulan terakhir kepemimpinan pria berusia 39 tahun.
Macron dinilai mengalami kemunduran sejak terpilih. Perdebatan keras di parlemen mengenai reformasi ketenagakerjaan, kebuntuan dengan militer dan pemotongan bantuan perubahan disebut-sebut sebagai faktor penyebab.
Baca: Macron Efek
Selain itu, Macron juga tengah diserang isu tak sedap karena dituding boros dan menghabiskan uang negara sekitar US$30 ribu untuk berdandan dan tetap terlihat awet muda.
Juru bicara pemerintah Perancis, Christophe Castaner seperti dikutip Reuters mengatakan bahwa partai yang berkuasa sedang mengalami masa-masa sulit. Tapi, kata dia, kalau pun ada orang-orang yang tidak senang dengan kebijakan Macron adalah konsekuensi logis dan harga yang harus dibayar bila pemerintah ingin melakukan reformasi.
“Ya, kami sedang menghadapi kesulitan. Tapi adan tidak bisa meluangkan waktu hanya untuk melihat poling saat anda berada di pemerintahan. Kami berada di sana untuk mengubah negara. Negara kita membutuhkan kita untuk mengambil risiko dan kami menghadapinya,” kata Castaner kepada BFM TV.
Bernard Sananes, kepala pemungutan suara Perancis mengatakan bahwa survei terakhir ini dapat mendorong lawan politik Marcon setelah partainya memenangkan suara mayoritas di parlemen. “Oposisi sedang memobilisasi dirinya,” kata Sanan.
Baca juga: Macron-Merkel Sepakat Mereformasi Eropa
Padahal, Macron tetaplah Macron. Ia paham bahwa reformasi adalah langkah penting untuk menentukan masa depan Perancis dan Uni Eropa. Pasalnya, Eropa tengah menghadapi gerakan populisme ekstrem. Tak dapat dibayangkan jika rival Macron, Le Pen dulu yang terpilih niscaya gerakan populisme ekstrem semakin kuat. Sebab, Le Pen adalah sosok yang dikenal sangat populis, tampak pada janji kampanyenya yang ingin menarik Perancis keluar dari Zona Euro.
Kalau Perancis keluar, Euro akan jatuh. Dan pada gilirannya pasar Uni Eropa dan institusi inti lainnya pun akan turut jatuh. Bayangkan kalau kemajuan politik, ekonomi dan sosial di Uni Eropa lenyap, setelah 60 tahun mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Sekadar catata, secara historis Perancis adalah salah satu kekuatan penakluk dunia yang hebat. Perancis telah memberikan warisan budaya dan multilateralisme di berbagai belahan dunia, bahkan sebagai pendiri tradisonal Uni Eropa. (ed)
Editor: Eriec Dieda