Cerpen: Azzam Kaizen
Pagi masih buta karena matahari belum membuka mata, namun teriakan gadis belia itu sudah menerjang pintu lelap warga di seantero dukuh. Suaranya melengking, histeris, dan sesekali diam menelan air tangis dari hidungnya. Biduri -panggilan gadis belia itu- terus saja menangis histeris diantara gulita. Ya, dukuh Binangun kini akrab dengan gelap gulita karena warganya tak sanggup lagi membeli listrik dari diesel milik kepala dukuh yang harganya terus melambung tinggi.
Air mata Biduri nyaris habis ditelan suaranya yang kian parau. Disampingnya terbaring sosok pria paruh baya dengan darah bersimbah, dan potongan lidah pria itu tergeletak begitu saja di lantai tanah rumahnya. Bibirnya dijahit dengan benang dari tali rafia. Tangan dan kakinya diikat dengan kawat yang biasa mereka gunakan untuk jemuran. Napasnya tersengal bercampur darah yang membanjiri tenggorokan. Dengan sisa kesadarannya, pria itu menatap Biduri dalam gulita. Soalah ingin berkata, Aku tidak apa-apa.
Diantara isak tangisnya, Biduri berusaha mengeja tatapan mata Warman -pria paruh baya; yang juga ayah kandungnya-. Ia paham ayahnya bukan pria biasa yang rela mati sia-sia. Lalu Biduri bangkit dengan sisa tenaga yang Ia punya, mencari gerobak yang biasa digunakan Warman untuk memulung sampah keliling dukuh. Ia bopong Warman, lalu dibaringkan diatas gerobak yang Ia alasi dengan kardus-kardus bekas. Kaki Warman menjuntai, karena gerobaknya tidak sepanjang tubuh Warman yang jangkung. Biduri berusaha tenang meskipun sesekali sesenggukan, mengusap ingus, dan menelan sisa air tangisnya. Ia tarik gerobak ayahnya menyusuri jalan setapak dukuh Binangun menuju dukuh tetangga. Berharap Tabib Ma’in tidak sedang berkelana keluar dukuh.
…
Seminggu sebelumnya…
Sore itu, warga yang baru pulang bekerja dibuat heboh luar biasa, lantaran melihat Abah Rohadi diarak keliling dukuh Binangun oleh hansip dan beberapa warga lainnya menuju lapangan bola. Abah Rohadi yang masih mengenakan sarung, koko, dan kopiah tampak pasrah dan bersahaja. Mulutnya komat-kamit merapalkan doa. Tangannya diikat kebelakang, badannya dipegang erat oleh hansip dan beberapa warga. Kakinya terus melangkah karena didorong dengan paksa. Orang-orang yang mengarak Abah Rohadi tampak semangat berteriak-teriak, Rohadi cabul! Rohadi cabul! Rohadi otak mesum!
Abah Rohadi -seorang guru ngaji yang hormati- ketahuan bersenggama dengan janda kembang kaya raya, Sundari namanya. Abah Rohadi asyik bercumbu rayu di semak belukar sebelum mengajar ngaji di saung miliknya. Abah Rohadi menodai dukuh lantaran bercinta dengan Sundari yang bukan muhrimnya. Abah Rohadi, mengajar ngaji hanya untuk menutupi belang mesumnya. Setidaknya, itulah kalimat-kalimat yang terus dituduhkan orang-orang yang menangkap dan mengarak Abah Rohadi. Warga desa yang tidak tahu apa-apa perlahan menjadi percaya karena terus-menerus mendengar kabar yang sama. Tetapi, ada juga warga yang tetap tidak percaya dan menuduh orang-orang hanya menfitnah Abah Rohadi saja. Mereka percaya, fitnah itu rekaan orang-orang yang tidak suka terhadap Abah Rohadi lantaran kiprahnya yang amar makruf nahi munkar. Abah Rohadi bersama murid-muridnya memang sering membubarkan judi, sabung ayam, dan warung remang-remang. Dan tentu saja sikap Abah Rohadi mengganggu kesenangan mereka.
Perdebatan tak terelakkan, dukuh Binangun ricuh riuh. Warga terpecah belah, terkotak-kotak, dan saling menyalahkan. Banyak yang mendukung dan banyak pula yang mencela Abah Rohadi. Alhasil, demi keamanan dan stabilitas dukuh Binangun, Abah Rohadi ‘diungsikan’ keluar dukuh. Perdebatan kian menjadi, banyak warga yang tidak puas karena tidak ada bukti dan saksi. Ditengah panasnya suasana, muncul seorang pria paruh baya bernama Warman yang menuntut digelarnya penghakiman dan mengajukan diri menjadi saksi, Ia mengaku punya bukti. Keyakinan Warman bukan tanpa alasan, sebab beberapa waktu terakhir Warman berguru di pemondokan Abah Rohadi. Kemanapun Abah Rohadi pergi, Warman selalu ikut mengiringi. Semua warga sepakat, penghakiman terhadap Abah Rohadi digelar di balai dukuh esok hari jam 7 pagi.
Keesokan harinya, penghakiman Abah Rohadi batal digelar, musabab satu-satunya saksi kunci dari pihak Abah Rohadi telah ‘dikebiri’.
Malam sebelum penghakiman…
Warman yang baru saja selesai sholat tahajjud didatangi sekelompok orang bertopeng monyet. Mereka menyusup masuk dari buritan gubuk kediaman Warman. Lalu menyekap Biduri yang sedang terlelap, yang lain mengikat tangan dan kaki Warman dengan kawat yang diambil dari jemuran. Dengan keji mereka ‘kebiri’ mulut Warman dan menjahit bibirnya dengan tali rafia, sedangkan potongan lidahnya dibiarkan tercampak di lantai begitu saja. Setelah puas menyiksa Warman, mereka lantas melepaskan Biduri dan pergi bersama dengan angin malam. Yang tersisa tinggallah raungan pilu Biduri meratapi nasib ayahnya. Tergeletak tanpa daya. Bersimbah dengan darah.
…
Sampai juga badan ringkih Biduri menarik gerobak ke rumah Tabib Ma’in yang berkilo-kilo jaraknya.
“Tabiiib! Tolong! Tolong!” Teriak biduri sembari menggedor-gedor daun pintu tabib Ma’in yang terbuat dari kayu jati. Biduri semakin risau lantaran tidak ada pertanda empunya rumah. Semakin keras saja tangan kecilnya menggedor daun pintu yang berdiri kokoh. Biduri tak kuasa untuk menahan tangisnya yang kembali pecah. Kondisi ayahnya semakin melemah. Kesadarannya? Sudah hilang sedari tadi. Sudah berada antara hidup dan mati.
Biduri sudah tidak sanggup lagi memikul beban tubuhnya yang hanya beberapa puluh kilogram. Ia terduduk sembarang di depan pintu rumah Tabib Ma’in. Tatapannya sayu. Kosong. Tangisnya melemah selemah harapannya. Tak tau harus kemana lagi Biduri mencari pengharapan. Ingin rasanya Ia mati saja. Mati bersama ayahnya yang ‘dikebiri’.
Masih saja Biduri bersimpuh pilu di depan pintu, tatkala pagi buta mulai membuka mata. Masih saja ayahnya terkapar tak berdaya diatas gerobak miliknya. Darah sudah mengalir hingga ke parit rumah Tabib Ma’in. Disaat mereka telah merasa putus asa, disitulah Allah berkata ‘belum waktunya’.
“Allah…..” Biduri berucap lirih. Matanya berbinar, pengharapannya kembali klimaks bersama dengan pintu rumah Tabib Ma’in yang dibuka dari dalam. Seketika itu juga Biduri kehilangan sadar.
“Astaghfirullah!!!” Pekik empunya rumah sembari berlari kearah gerobak Warman.
Wanita paruh baya yang sedang sibuk meniup tungku di dapur tidak bisa menutupi keterkejutannya mendengar Tabib Ma’in berteriak. Lantas Ia menyusul sang suami ke halaman depan rumahnya. Sejenak Ia terdiam melihat sang suami membopong lelaki penuh darah. Lalu dengan sigap Ia membantu ‘tamunya’ masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya, mereka sudah terbiasa menerima kejutan-kejutan seperti ini. Meski terlihat shock, tabib Ma’in dengan cekatan melakukan ‘operasi’ terhadap Warman. Sementara sang istri membopong Biduri ke dalam rumah. Syukurlah. Mungkin begini cara Allah menunjukkan kuasaNya. Seberapa hebat pun manusia membungkam kebenaran, tetap Allahlah sang pemilik kebenaran sejati.
….. Bersambung….
Azzam Kaizen, penulis amatir. Lahir di Lampung 25 tahun lalu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sriwijaya, Ia bekerja di perusahaan swasta dan sesekali menulis fiksi dan opini.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].