NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Istilah ‘safe house‘ atau rumah yang dianggap aman untuk saksi belakangan ini tengah ramai menjadi perbincangan dan pemberitaan. Hal itu menyusul asca Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK menilai keberadaan safe house yang dimiliki KPK tidak diatur dalam Undang-undang (UU) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, mengungkapkan bahwa dalam UU Nomor 30 Tahun 2002, pada Pasal 15 huruf a disebutkan jika KPK berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Kendati demikian, memang di dalam UU tersebut tidak disebutkan secara jelas mengenai pengelolaan safe house yang dilakukan KPK. Hanya dijelaskan, bahwa perlindungan dalam UU KPK melingkupi pemberian jaminan keamanan dengan meminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum.
Menurut Edwin, hal itu tentu berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang di mana Pasal 12 A Ayat (1) butir f hingga h dinyatakan. LPSK berwenang mengelola rumah aman, memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman, serta melakukan pengamanan dan pengawalan.
Masih menurut Edwin, bahwa saksi yang ditempatkan dalam safe house merupakan terlindung (saksi/korban/pelapor) dalam kondisi khusus yang sangat terancam keselamatan jiwanya.
Penempatan dalam safe house adalah perlindungan paling maksimal bagi terlindung. “Karena itu ada konsekuensi komunikasi terlindung dengan pihak lain akan dibatasi,” ucap Edwin dalam keterangan tertulis yang diperoleh, Jumat (11/8/2017).
Edwin menyampaikan, bahwa kepentingan LPSK menempatkan saksi dalam safe house bertujuan agar terlindung tidak mendapatkan tindak kekerasan dan ancaman nyata yang dapat memengaruhi keterangan terlindung dalam perkara yang dilaporkannya atau diketahuinya.
Oleh karena itu, lanjut Edwin, dalam pengelolaan safe house diterapkan standar tinggi, berbeda dengan rumah tinggal pada umumnya. “Standar tersebut bukan hanya berlaku terhadap bangunan dan kelengkapan dari safe house tersebut, tetapi juga meliputi tenaga pengamanannya, pengemudi/transporter yang terampil, serta mempertimbangkan lokasi yang mudah dituju apabila dalam kondisi darurat,” ungkap Edwin.
Edwin menyebutkan, terkait pengelolaan safe house, faktor keamanan, kenyamanan, dan kerahasiaan menjadi faktor utama. Bila keberadaan safe house tersebut telah diketahui pihak luar, maka tempat tinggal tersebut sudah tidak layak lagi dijadikan safe house.
Untuk dipahami, sampai saat ini, dalam beberapa perkara, LPSK melindungi saksi dan whistleblower yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Pewarta: Richard Andika
Editor: Ach. Sulaiman