Budaya / SeniCerpen

Konon, Namanya adalah Celurit: Bayu (10 Tahun) – Hadiah untuk Aku? (6)

Cerita Bersambung: Andika Wahyu A. P.*

NUSANTARANEWS.CO – Malam harinya, aku bermain bersama Ayahku, kami bermain tembak-tembakan, aku dengan pistol mainan baru ku, dan Ayahku hanya bermodalkan tangannya saja yang membentuk pistol menjadi musuhku, kami bermain di dalam rumah sangat lama, hingga aku akhirnya lelah, dan aku serta ayah duduk bersama di kursi ruang tengah rumah kami.

“Adek, kalo udah besar mau jadi apa?”, tanya Ayahku santai saat itu.

“Aku mau jadi polisi saja, ternyata asik ya nembakin orang jahat.”, Ayahku hanya tersenyum mendengar pekataanku.

“Ayah, kerja apa di Jakarta?”, tanyaku kembali pada ayahku saat itu. “Ayah kerja apa aja asal dapat uang buat kamu sekolah.”, Ayahku masih tersenyum padaku yang ada dipangkuannya saat itu.

“Ayah, di Jakarta lagi ada apa sih? Kok rame banget sampai kesini.”, Ayahku sejenak langsung berwajah serius lagi, murung rupanya dengan pertanyaanku, senyumannya langsung pudar begitu aku bertanya hal tersebut pada Ayah.

Namun tiba-tiba Ibu keluar dari kamarnya dan menyuruhku untuk tidur karena memang jam di dinding sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam, hingga aku harus segera tidur, aku pun mencium pipi Ayah, dan pergi ke dalam kamar, sedangkan sekali lagi aku melihat Ibu dan Ayah berbicara sembunyi-sembunyi di tengah ruangan, tak ingin aku mendengar percakapan mereka, namun justru itulah yang membuatku semakin penasaran, apa yang sebenarnya membuat Ibu khawatir sejak kemarin dan mengapa Ayah memutuskan kembali ke rumah ini? pasti terjadi sesuatu di Jakarta, sesuatu yang tak ingin Ayah atau Ibu katakan pada anak kecil sepertiku, sesuatu yang serius.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Beberapa saat terlelap, mengusir pikiran-pikiran aneh tentang Jakarta dan kejadian-kejadian janggal belakangan ini, dan tak terasa aku sedang berada di rumah bersama Ayah dan Ibu, hanya saja nampaknya rumah kami sangat baru, dengan halaman hijau di depan rumah, dan kolam renang di belakang rumah kami. Dan kini aku sedang bermain bola tangkap bersama Ayahku di tengah halaman, sementara Ibuku mengawasi kami di pinggir halaman, ia nampak tersenyum cantik pada kami semua.

Namun ketika aku melemparkan bola yang berukurkan kecil itu untuk kesekian kalinya kepada Ayah, ia terlihat menangkapnya, namun kemudian senyuman diwajahnya mulai pudar, ia terpaku diam, bersama Ibu yang juga diam dengan tatapan kosongnya, aku kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa Ayah dan Ibuku diam?, suara tembakan nyaring terdengar di seantero langit rumah kami, setelah aku lihat kembali kening Ayah telah berlubang, dengan darah yang mengalir dari sela-sela lubang tersebut, matanya mengeluarkan darah, mulutnya mulai membuka membentuk huruf O, dan kemudian perlahan jatuh dengan tangan yang masih membawa bola milik kami. Begitupun dengan Ibu yang mulutnya mulai terbuka, menganga lebar, mengeluarkan asap putih, dan kemudian terjatuh telungkup bersimbah darah, dengan bagian belakang kepalanya yang berlubang cukup besar memperlihatkan daging, dan tulang beserta otak di dalamnya. Dan Aku? Aku, hanya terdiam terpaku di tengah taman tak mengerti apa yang tengah terjadi.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Suara tembakan terdengar kembali, namun kali ini nyata terdengar dari ruang tamu, aku terbangun dari tidurku terhenyak dari mimpi aneh itu, melihat sejenak jam di dinding kamarku yang menunjuk angka jam dua pagi. Suara kembali terdengar di ruang tamu dan disertai beberapa suara barang-barang milik Ibu yang terdengar jatuh ke lantai. Sementara itu untuk kesekian kalinya aku terkejut di atas kasur, mencerna apa yang baru saja aku dengar.

Diam.. ! kalian semua!”, seorang pria dengan suara nya yang berat terdengar berteriak begitu lantang di rumah kami,

aku pun segera bangkit dari tempat tidur, meraih pistol mainanku dengan otomatis, perlahan berjalan keluar kamar, menuju ruang tamu, dimana Ibuku beberapa kali menjerit, dan aku pun mengintip dari balik tembok yang menuju ke ruang tamu kami, disanalah aku melihat dua orang pria berjaket kulit hitam, memegangi leher Ibu dan Ayahku, saling berhadapan tidak dapat bergerak.

“Hei, punya kata-kata terakhir untuk istrimu yang tercinta ini?”, salah satu pria itu nampak bertanya pada Ayahku dengan pistol asli yang diarahkan pada kepalanya, namun Ayahku tidak berkata apapun, nampak air mata jatuh dari pelupuk matanya, tidak pernah aku melihat Ayahku yang berwajah sangar, begitu takutnya seperti saat ini. Genggamanku pada pistol mainan yang ada di telapak tanganku saat ini begitu kencang, dengan rasa marah, sedih, semuanya bercampur aduk di dalam diriku melihat kedua orang tuaku, sedang dirampok sepertinya, ingin aku melawan namun aku tak tahu harus berbuat apa, gemetar tanganku dirasa melihat apa yang terjadi di rumah kami ini, rumah yang sebelumnya damai menjadi rumah yang sebegitu mencekamnya di malam menuju pagi ini.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Baca Kisah Sebelumnya: Konon Namanya adalah Celurit

*Andika Wahyu A. P. lahir di Klaten, Jawa Tengah, 22 Juli 1998, ia dibesarkan di kota Tasikmalaya, Jawa Barat, berkebangsaan Indonesia, dan kini merupakan seorang Mahasiswa Seni Film di Institut Kesenian Jakarta.  Ketertarikannya terhadap genre, Horror/thriller melalui buku maupun film, seringkali dituangkan langsung kedalam beberapa karya nya, sebut saja film pendek yang ia tulis dan sutradarai sendiri seperti, “AEOLUS” yang terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani dan juga “Lost”, yang keduanya sempat masuk di beberapa festival film termasuk festival film International di China, dengan kategori thriller dan experimental di tahun 2016.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39