Artikel

Pancasila sebagai Antivirus Radikalisme (1)

Muqaddimah. Pancasila sebagai Antivirus Radikalisme.

Suasana batin kebangsaan kita dalam kurun waktu setahun ini kurang menggembirakan, bahkan dapat ditakar sebagai lorong menuju krisis kebangsaan. Betapa tidak, disaat negara sedang ikhtiar membangun di seluruh sektor kehidupan (ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, keamanan, sosial budaya, keagamaan, dan lainya),  justru dihadapkan dengan berbagai fenomena dan peristiwa yang menjurus pada retaknya rasa persatuan yang menjurus pada disintegrasi. Diperparah lagi dengan sikap sebagian kecil entitas bangsa mengutak atik hal yang teramat fundamental, yakni bentuk dan dasar negara, Pancasila.

Faktor internal dan ekternal disinyalir sama sama menjadi penyebab kondisi tersebut. Dari arah internal, berbagai problematika masih menyelimuti bangsa. Contonya, ekonomi rakyat yang tak juga rata kesejahteraanya, output pendidikan belum sesuai dengan harapan, perpolitikan carut marut, penegakan hukum belum memberi rasa keadilan, kesehatan yang belum memadai, kenakalan remaja, narkoba merajalela, keamanan belum menentramkan, beragama yang belum kaafah, rusaknya lingkungan alam serta sederet masalah lain. Secara eksternal, ketidak teraturan situasi geopolitik-idiologi-ekonomi dunia juga berpengaruh signifikan. Sebagaimana kita ketahui, situasi internasional dekade ini dapat disebut runyam, bahkan benturan multidimensi itu berujung pada peperangan militer. Dampaknya, idiologi radikalisme menjangkiti sebagian warga bangsa, seperti terorisme,  transnasionalisme, komunis, liberalisme, kapitalisme, dan sebagianya.

Untungnya, negara segera hadir mengantisipasi gerakan radikalisme dengan mengambil tindakan cepat, tepat dan terukur. Keputusan presiden menerbitkan PERPPU No.2 tahun 2017 sebagai revisi Undang Undang no 17 tahun 2013 tentang ormas selayaknya kita sambut dengan antusias sebagai langkah berani dan bertanggung jawab. Dengan revisi ini, negara memiliki kewibawaan untuk dapat bertindak lebih cepat dan konferehensif untuk melindungi Negara dari rongrongan kaum radikalis. Tebukti, atas dasar Peppu itu pemerintah telah membubarkan satu ormas yang nyata-nyata menafikan Pancasila. Bahwa ada pihak yang menentang, kita pun selayaknyab menghargai selama disalurkan melalui jalur konstitusional.

Epistemologi Radikalisme

Studi tentang radikalisme telah menjadi objek kajian para pakar dan cendikiawan sejak lama. Secara terminologi, yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka (Harun Nasution, 1995). Dalam literatur lain disebutkan  HYPERLINK “http://indeks.kompas.com/tag/radikalisme” \t “_blank” radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan sebuah perubahan atau pembaruan dengan cara drastis hingga ke titik paling akar. Bahkan, untuk mencapainya melibatkan banyak cara hingga yang paling ekstrem: kekerasan baik simbolik maupun fisik..

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Prof. Endang Turmudi, seorang sosiolog sekaligus mantan Sekjend PBNU mengungkapkan bahwa secara sosiologis, setidaknya ada tiga gejala yang dapat ditengarai dari paham radikalisme, yaitu, pertama, merespons terhadap kondisi sosial-politik maupun ekonomi-yang sedang berlangsung dalam bentuk penolakan dan perlawanan. Terutama aspek ide dan kelembagaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya. Kedua, dari penolakan berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah keadaan secara mendasar ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu, semisal agama maupun ideologi lainnya. Ketiga, menguatkan sendi-sendi keyakinan tentang kebenaran ideologi yang diyakininya lebih unggul daripada yang lain. Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penafian dan penegasian sistem lain. Untuk mendorong upaya ini, ada pelibatan massa yang dilabelisasi atas nama rakyat atau umat yang diekspresikan secara emosional-agresif. (2005).

Lebih lanjut, Hermansyah (2011) mengungkapkan ragam radikalisme dari berbagai perspektif,  yaitu dalam perspektif politik, sosiologi, budaya, ekonomi dan agama. Radikalisme dalam perspektif politik merupakan bentuk radikalisme negara yang dilakukan oleh perangkat kekuasaan yang ada terhadap warga negaranya, atau tindak radikalisme yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang dinilai memiliki sistem dan kepentingan politik yang berbeda, dan atau yang dilakukan oleh masyarakat terhadap regim yang berkuasa. Radikalisme jenis ini biasa dikenal dengan radikalisme politik yaitu radikalisme masyarakat sipil yang dilakukan berdasarkan isu-isu politik, terutama yang terkait dengan perjuangan mendapatkan kekuasaan di dalam organisasi politik, atau juga ditujukan pada pemerintah, atau organisasi-organisasi politik yang bisa berbentuk revolusi, perang gerilya, ataupun kudeta.

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Radikalisme dalam perspektif Sosiologis. Dalam perspektif sosiologi radikalisme ataupun kejahatan pada umum-nya merupakan kondisi alamiah dari masyarakat (crime is a natural part of society). Dikatakan demikian, karena realitas sosiologi memperlihatkan radikalisme atau kejahatan pada umumnya, ditemukan pada hampir semua lapisan dan bentuk masyarakat, apakah masyarakat yang masih sederhana ataupun yang sudah kompleks struktur sosialnya. Dilihat dari pelakunya, radikalisme dibagi menjadi dua tipe atau bentuk. Pertama, radikalisme individual (Individual violence), yaitu radikalisme yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Kedua, radikalisme kelompok (group or collective violence), yaitu bentuk radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompoklainnya.

Radikalisme Dalam Perspektif Budaya. Apakah budaya merupakan penyebab dari radikalisme? Suatu pertanyaan yang memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun setidaknya ada yang berpendapat bahwa jika dikaji secara kritis budaya itu sendiri bukanlah sumber radikalisme,karena budaya yang merupakan ciptaan tertinggi dari manusia pada dasarnya bertujuan meningkatkan martabat kema-nusiaannya dimuka bumi. Radikalisme budaya merupakan salah satu sistem sosial yang diciptakan oleh suatu kelompok untuk mempertahankan kehidupannya dari ancaman kelompok lain, serta sebagai salah satu sarana dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi, baik berupa penuntutan balas atas radikalisme yang sudah dilakukan, atau juga sebagai sarana dalam menuntut keadilan yang dinilai telah di-langgar oleh kelompok lain.

Radikalisme Dalam Perspektif Ekonomi. Pada dasarnya, ekonomi sendiri bersifat netral artinya sebagai salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, maka keberadaan ekonomi merupakan suatu keniscayaan, dalam arti bahwa cara produksi, kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan modal secara langsung tidaklah berpengaruh terhadap radikalisme. Akan tetapi, ketika persoalan ekonomi lebih dalam dilihat sebagai keinginan dan nilai yang ada dalam masyarakat, maka persoalannya menjadi lain. Misalnya, ketika orang berbicara modal dalam perspektif kapitalisme, maka pembicaraannya menjadi bagaimana nilai, atau pandangan kapitalisme sebagai faham atau aliran mengandung nilai-nilai, cara pandang, cara produksi dalam masyarakat.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila

Radikalisme Dalam Perspektif Agama. Radikalisme dalam perspektif agama selalu kompleks jika dibandingkan dengan radikalisme dalam perspektif lainnya. Hal ini, agama menyangkut ajaran dan aturan kehidupan manusia secara menyeluruh,  cakupanya aspek prifat hingga public, urusan profan hingga transenden, lahiriyah bathiniyah dan seterusnya. Namun, karma agama merupakan ajaran Tuhan yang berbentuk teks (wahyu) dan harus diterjemahkan oleh manusia (tentu dengan mencontoh Rosul), maka muncul berbagai perbedaan tafsiran dan pelaksanaan oleh masing masing umat. Karena substansi yang ada pada agama itu juga, sehingga agama dengan sangat mudah terseret atau diseret dalam kancah radikalisme dengan menggunakan berbagai bahasa ilmu pengetahuan yang ada, misalnya bahasa ideologi, politik, sosial budaya ataupun ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, lima perspektif radikalisme tersebut gejalanya telah nampak jelas dirasa. Upaya penyebaran radikalisme “diselundupkan” melalui berbagai metode dan sarana serta wahana. Sebagaimana yang tampak pada hasil penelitian Haedar Nashir (2007). Dalam disertasi berjudul Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia itu, disimpulkan bahwa ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya.

Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tuntunan hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan cara memahami dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan dan ditunjukkan melalui sikap keagamaan bersemangat tinggi hingga berhaluan keras. Bahkan, kelompok ini tak segan melakukan penolakan frontal terhadap Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan bersikukuh ingin menjadikan syariah sebagai penggantinya.

Oleh: Achmad Nasrudin, M.Pd. (Pengajar, mantan pegiat kemahasiswaan Jawa Timur)

Baca: Bagian 2

Related Posts

1 of 86