NUSANTARANEWS.CO – Saya tidak bisa menolak untuk tidak hormat pada Bapak Jenderal Besar Soeharto. Beliau bukan tokoh yang ikut menyusun butir-butir Pancasila dalam berbagai perdebatan panjang dan alot pada sidang BPUKI (Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia). Tapi beliau memahami bahwa Indonesia yang bhinneka ini harus tetap disatukan dengan Pancasila. Kita berbeda, tapi kita harus bersatu, mungkin begitu kira-kira pikiran Soeharto yang polos.
Berbeda tapi bersatu ini penting untuk menemukan rute kembali pulang ke rumah Pancasila, rumah kita semua. Sebab, perjalanan kita saat ini sepertinya sudah terlalu jauh hanyut dibawa kapal pemikiran sekuler dan liberal hingga terpakau pada kita berbeda tapi toleran. Berbeda tapi toleran menjadi lebih penting dari pada berbeda tapi bersatu. Padahal ini bisa menjadi potensi ketidakadilan sosial di Indonesia, sebab:
(1) Toleransi mengandaikan relasi sosial pada minoritas dan mayoritas. Saat gagasan toleransi dianggap sudah dapat diterima, praktek wacana berikutnya adalah ketidakadilan dari tirani minoritas. Karena minoritas, maka mayoritas harus melindungi dan menghormati minoritas. Itulah sebabnya muncul adegan “Hormatilah orang yang tidak berpuasa” beberapa tahun lalu.
(2) Toleransi dipraktikkan dengan cara mengabaikan persatuan. Sebab toleransi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai manusia sebagai makhluk individu bukan manusia sebagai makhluk budaya dan bangsa apalagi manusia sebagai makhluk agama. Itu pula sebabnya muncul semacam praktek wacana dalam kasus Ahok (misalnya) adalah ancaman bagi kehidupan toleransi di Indonesia. Kita lebih memilih toleransi palsu yang sudah dimodifikasi oleh dorongan hasrat ingin berkuasa daripada memilih persatuan dalam mengelola perbedaan (termasuk perbedaan antara minoritas dan mayoritas).
Sehingga saya cenderung lebih melihat ini sebagai game yang dimainkan oleh praktek wacana oleh para aktor-aktor pemuja sekulerisme dan liberalisme melalui berbagai proyek entah itu seminarlah, penelitianlah, pelatihanlah, pendampinganlah, beasiswalah, advokasilah bahkan hingga lompat pagar bergerak di luar negeri.
Toleransi seperti teman seperjalanan bagi demokrasi demikian juga hak asasi. Padahal ketiganya tidak disebut secara rigid dalam Pancasila. Tapi ketiganya masuk Indonesia secara diam-diam kemudian pelan-pelan kita pun lupa kita punya Pancasila yang jauh lebih luhur dan mulia dari hak asasi, toleransi dan demokrasi.
Awalnya hak asasi yang pertama masuk Indonesia, terutama pada masa akhir pemerintahan Soeharto. Bagi saya misinya jelas, membuat landasan pacu bagi datangnya pesawat demokrasi, menyusul kemudian datang pesawat toleransi dengan ragam penumpang yang siap diangkut masuk Indonesia seperti LGBT (penumpang lain lagi dalam persiapan). Penumpang ini siap diturunkan untuk berbaur dengan rakyat Indonesia. Ini semacam infiltrasi pasukan dalam perang konvensional.
Mengapa hak asasi, karena inilah kunci pembuka kesadaran warga terhadap hak dasarnya sebagai manusia. Pak Harto sendiri pernah sedikit kerepotan dengan wacana ini. Namun sifat kenegarawanannya mampu mengakomodasi desakan internasional itu dengan mendirikan Komnas HAM. Eh, dilalah di Indonesia saat itu dinilai banyak terjadi pelanggaran HAM.
Setelah hak asasi masuk dengan mulus, beruntut kemudian datanglah demokrasi menyusul kemudian toleransi. Ini semakin menjauhkan kehidupam kita dari nilai Pancasila. Rakyat biasa di warung kopi di kampung-kampung lebih fasih bicara HAM, demokrasi atau toleransi dari pada bicara; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kita Kembali ke Pak Harto ya….
Itulah sebabnya saya harus menghormati Pak Harto. Kecintaan Soeharto pada Pancasila tidak diumbarnya dengan kata atau mengangkat duta. Cukup dibangunnya Masjid Pancasila dan tidak pernah memasukkan ulama ke penjara. Padahal dia Presiden terkuat yang dimiliki Indonesia setelah merdeka.
Soeharto sadar sesadar-sadarnya bahwa Bhinneka hanya bisa abadi jika bersanding dengan Tunggal Ika, bukan bersanding dengan Hak Asasi, Demokrasi atau Toleransi. Untuk itu, Pancasila tidak cukup dipajang di dinding sekolah dan kantor pemerintah saja. Dia harus dihayati dan diamalkan sebagai nilai universal ‘Manusia Indonesia’.
Jenderal Besar Soeharto, dia bukan tokoh yang ikut menyusun lima sila dalam Pancasila. Tapi beliau memahami dengan baik dan benar bahwa Pancasila menggunakan terminologi yang lebih luhur dan mulia bahwa kita berbeda, tapi kita harus tetap bersatu.
Walau saat mahasiswa saya tidak suka dengan beberapa kebijakan Soeharto, tapi dalam merawat Pancasila saya beruntung pernah hidup pada era kekuasaan Soeharto. Sebab di zamannya saya mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) selama 100 jam, saat masuk perguruan tinggi tahun 1992.
Karena Pancasila itu penghayatan dan pengamalan bukan pengucapan dan tulisan, makan jika ada yang mengatakan Saya Pancasila sebaiknya kita sambut dengan jawaban; “Selamat datang dan selamat bergabung dengan Pancasila”.
Itu pula sebabnya saya ingin menyambut kedatangan siapa saja sahabat saya manusia Indonesia yang saat ini baru menyadari bahwa Pancasila adalah ideologi dan dasar negara: Selamat datang di rumah Pancasila, selamat bergabung menjadi manusia Indonesia.
*Iswandi Syahputra, penulis adalah Komisioner KPI periode 2013-2016 dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.