Oleh: Gus Syaikhul Islam Ali*
Akhir-akhir ini kita disibukkan dengan berita GP Ansor menolak kegiatan HTI dan tokoh-tokohnya. Beragam respon muncul, baik yang pro, kontra maupun yang iseng-iseng saja. Bersamaan dengan itu, isu kuat yang mengemuka adalah HTI dengan wacana khilafahnya dianggap membahayakan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. Pertanyaannya seberapa perlu usaha meredam gerakan HTI?
Sejak awal berdiri tahun 1953 HT termasuk gerakan Islam yang wan-prestasi jika dibandingkan dengan gerakan Islam yang lain. Tahun 1968-69 HT gagal dalam kudeta di Jordania dan Syria. Tahun 1974 HT dituduh terlibat kudeta gagal di Mesir. Dan yang paling tragis usaha HT membaiat Khomeini menjadi khalifah pada tahun 1979 sama sekali tidak digubris.
Bandingkan misalnya dengan revolusi ulama Syiah Iran merebut kekuasaan di bawah Khomeini. Taliban menguasai Afganistan 1996-2001. Ikhwanul Muslimin menang pemilu Mesir dan Muhammad Mursi menjadi Presiden. Bahkan ISIS yang pada 1999 hanya gerombolan kecil berhasil mendirikan khilafahnya pada 2014.
Sejumlah kalangan mensinyalir kegagalan HT disebabkan ambisi berlebihan menguasai seluruh dunia Islam dalam satu kepemimpinan khilafah. Oliver Roy misalnya menyebutnya “revolusi akar rumput global” yang bukan hanya memerlukan waktu lama tapi juga tampak utopis. Kalangan yang lain menduga karena strategi HT yang terlalu lunak sebagai biang kegagalan. Sehingga dalam internal HT sendiri muncul kader-kader ekstrimis yang tidak sabar dan menganggap strategi HT tidak dapat meraih tujuan mendirikan khilafah.
Pasca meninggalnya pendiri HT Taqiyuddin an-Nabhani pada 1977 boleh dibilang gerakan HT sempat mengalami disorientasi. Pengganti Taqiyuddin, Abdul Qadeem Zallum hanya pendakwah biasa bukan ideolog. Puncaknya pada 1996 insubordinasi yang digawangi Abu Rami menyempal menjadi Nakhitoun yang berbasis di Jordania.
Pada akhir kepemimpinan Zallum tahun 2002, HTI tampil pertama kali di publik melalui Konferensi Khilafah Internasional. Dihadiri tidak lebih dari 20 ribu orang, konferensi ini dilihat pihak luar sebagai bunga-bunga reformasi. Tapi bagi internal HTI terutama dalam tahapan usaha menegakkan khilafah di Indonesia memiliki makna penting.
Mengapa Konferensi Khilafah tersebut penting bagi HTI? Jawabnya karena HTI memasuki tahap baru strategi gerakan. Tahapan strategi HTI adalah: Pertama, kaderisasi tertutup sebagai upaya merekrut elit gerakan. Tahap ini secara imajinatif digambarkan seperti dakwah rahasia (sirriyah) Nabi Muhammad pada fase Mekah yang berlangsung kira-kira tiga belas tahun. Kedua, Membangun kesadaran publik tentang khilafah islamiyah bersamaan dengan upaya merekrut orang-orang berpengaruh (militer, kepala pemerintahan, legislator, hakim dll). Tahap ini dipropagandakan seperti dakwah terang-terangan (jahriyah) Nabi Muhammad selama sepuluh tahun. Ketiga, berdirinya khilafah Islamiyah secara total dengan mengganti pemerintahan yang eksis (NKRI).
Merujuk pada pendapat As’ad Said Ali gagasan HTI masuk melalui Abdurrahman al-Baghdadi pada 1982-1983. Kitab-kitab Taqiyudin an-Nabhani mulai dikaji di pengajian-pengajian di masjid IPB Bogor. Jika Konferensi Khilafah Internasional 2002 merupakan permulaan tahap kedua, berarti dari 1989-2002 merupakan tahap pertama yaitu kaderisasi tertutup. Jadi perlu waktu enam tahun bagi pengajian itu menjadi gerakan.
Tahap kedua HTI berpadu momentum yang pas dengan HT internasional. Tahun 2003 kepemimpinan HT beralih dari Zallum ke Abu Rastah yang lebih progresif. Rastah ini beranggapan Indonesia-Malaysia adalah alternatif terbaik untuk berdirinya khilafah sehingga support HT internasional sangat optimal untuk HTI. Konsepnya adalah khilafah mula-mula didirikan di Indonesia lalu negara-negara Islam lain mengikuti. Benar saja Konferensi Khilafah Internasional 2007 lima tahun pasca konferensi pertama jumlah peserta berlipat dan dihadiri tokoh HT dari berbagai negara.
Tahun 2012 sepuluh tahun setelah konferensi 2002 berlalu tidak ada tanda-tanda khilafah berdiri, padahal menurut konsepsi ideal tahap kedua berakhir masuk tahap ketiga yaitu berdirinya khilafah. Dugaan masuk akalnya karena pengaruh HTI baik di akar rumput maupun elit strategis (nusroh) belum cukup kuat untuk mendirikan khilafah di Indonesia.
Cita-cita HTI mendirikan khilafah di Indonesia tentu saja harus dengan menganti bentuk dan dasar negara, karena NKRI adalah final dan Pancasila adalah ruh dari NKRI. Tidak ada cara konstitusional untuk merubah NKRI dan Pancasila. Meskipun HTI selalu mengklaim usaha mendirikan khilafah adalah dengan damai tanpa pertumpahan darah, tetap saja itu merupakan kudeta. Orang sering menyebut kudeta putih.
Apresiasi besar harus diberikan seluruh rakyat terkhusus pada ormas Islam tradisional seperti NU yang konsisten menjaga NKRI di akar rumput. Tapi menilik dari sejarah gerakan HT baik di Timteng atau di luar timteng adalah justru ketika mereka selesai dengan dua tahapan dan masuk pada tahap ketiga. Strategi non-kekerasan yang biasa didengungkan pemimpin HT kerap dilanggar oleh oknumnya sendiri. Ada kecenderungan kader-kader HT menjadi radikal karena tidak tercapainya cita-cita khilafah. Ambil contoh pemberontakan Salih Sirriya di Mesir, dan bom Furkat Yusupov di Uzbekistan dan kasus serupa di Eropa dan Asia selatan.
Aksi yang akhir-akhir ini dilakukan GP Ansor tidak lebih untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada bangsa ini. Ansor dan Nahdlatul Ulama mungkin melihat radikalisasi HTI lebih berbahaya daripada kemungkinan HTI merebut kekuasaan dan mengubah NKRI menjadi khilafah. Meskipun kewaspadaan terhadap kemungkinan kudeta putih oleh nusroh HTI tetap dijaga.
Ansor dan Nahdlatul Ulama yang selama ini konsisten menjaga faham ahlussunnah wal-jamaah dan NKRI tentu berharap banyak pada pemerintah agar kontroversi HTI segera diakhiri. Kalau Jerman, Russia, China, Mesir, Turki dan negara-negara Arab sudah melarang HT kenapa di negara yang majemuk seperti Indonesia masih dibiarkan bebas bahkan menggunakan fasilitas negara?
Syaikhul Islam Ali, Ketua Bidang Politik dan Pemerintahan Pimpinan Pusat GP Ansor/DPR RI Komisi VII