Oleh: Arif Hidayatullah*
NUSANTARANEWS.CO – Setelah sebelumnya mengungkapkan pandangannya agar negara meminimalisir peranannya dalam pembangunan ekonomi, Sri Mulyani kali ini mengatakan bahwa ketika defisit anggaran terjadi, maka hutang adalah solusinya. Seperti yang digambarkannya saat mengisi kuliah umum di STAN, Senin (17/4) kemarin, Sri Mulyani menegaskan bahwa ketika penerimaan negara lebih kecil dari kebutuhan belanjanya atau mengalami defisit, maka pemerintah bisa menutupnya dengan hutang.
Pernyataan ini sungguh aneh. Apalagi ia juga menyampaikan tantangan kepada mahasiswa yang menjadi peserta kuliah umum Sri Mulyani di STAN. Menurut penulis, menjawab tantangan Sri Mulyani tersebut, alangkah lebih baik kita semua membuka kembali dokumen visi misi Presiden Jokowi pada Pemilu 2014 berjudul “Jalan Perubahan Untuk Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri Dan Berkepribadian“. Dalam dokumen itu dikatakan bahwa, salah satu penyebab dari lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa diakibatkan oleh ketergantungan atas hutang luar negeri. Artinya jelas bahwa, hutang bukan solusi dalam menghadapi defisit angaran.
Defisit anggaran yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari warisan kebijakan pemerinatahan sebelum Presiden Jokowi. Kita semua tentu masih ingat ketika diawal pemerintahannya, Jokowi menghadapi masalah dalam mensiasati ruang fiskal yang sempit untuk mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Salah satu beban anggaran yang mempersulit Jokowi dalam mewujudkan janji-janji kampanyenya adalah soal utang. Jika menilik beban pembayaran cicilan utang dan bunga dalam APBN 2014, jumlahnya sebesar Rp 368,981 triliun.
Keberadaan Sri Mulyani dalam Kabinet SBY 10 tahun, juga tidak dapat dilepaskan dari peningkatan jumlah utang yang membebani negara. Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, utang luar negeri Indonesia meningkat dari Rp 1.299 triliun menjadi dua kali lipat.
Wajar kiranya, jika banyak kalangan yang menganggap bahwa Sri Mulyani minim inovasi dan konservatif. Hal ini dilihat dari caranya yang hanya mengandalkan hutang, memotong subsidi dan pengetatan anggaran. Apalagi, dalam penyusunan APBN 2017, pos pembayaran utang mencapai Rp 221,2 trilyun (15,8 persen dari target APBNP 2016 sebesar 191,2 trilyun rupiah atau setara dengan 40 persen alokasi belanja non Kementerian/Lembaga.
Jika melihat rekam jejak kebijakan Sri Mulyani yang hobi memotong subsidi dan menggenjot pembiayaan hutang ini, maka tak heran jika ia disebut mempraktekkan kebijakan neoliberalisme. Menurut penulis, dalam menghadapi defisit anggaran melalui penambahan hutang, pengetatan anggaran dan pemotongan subsidi bukan lah solusi yang tunggal. Masih ada solusi lain seperti dengan mengoptimalkan potensi yang dimiliki melalui BUMN yang sejatinya adalah alat negara untuk mendapatkan dana.
Namun jika keadaan keuangan dipandang tidak sehat, negara tidak serta merta memberikan suntikan modal (Penyertaan Modal Negara) yang nantinya menjadi beban APBN, melainkan dengan melakukan Revalusai Aset. Setelah Revaluasi Aset dilakukan secara otomatis BUMN akan mendapatkan kepercayaan yang besar untuk mengembangkan usahanya sehingga menciptakan nilai tambah melalui hilirisasi industri. Sehingga tercipta lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat. Sesuai hemat penulis, inilah sesungguhnya cara jitu untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor selain pajak karena aktifitas ekonomi yang produktif di masyarakat benar-benar bergerak secara berkualitas.
*Arif Hidayatullah; Sekretaris Jendral Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (Sekjend LMND)