Oleh: Arifin Ma’ruf*
NUSANTARANEWS.CO – Korupsi mega proyek e-KTP, merupakan isu yang sedang hangat di perbincangkan ahir pekan ini. Pada tahun 2016 lalu KPK mengumumkan bahwa total kerugian negara pada kasus ini mencapai Rp 2,3 triliun. Pada tanggal 9 Maret 2017, sudah ada dua terdakwa yang di persidangkan diantaranya adalah, pertama, Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri yaitu Irman, yang dahulu menjadi Kuasa Pengguna Anggaran/KPA (sebagai terdakwa 1), kedua, Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan yaitu Sugiarto, yang dahulu ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen/PPK (sebagai terdakwa 2).
Selain dua terdakwa tersebut ada nama-nama pejabat negara lain yang disebut oleh KPK terlibat dalam korupsi mega proyek e-KTP. Besarnya kerugian negara dan adanya keterlibatan pejabat negara menjadi tugas kita sebagai masyarakat untuk terus mengawal kasus ini. Namun sayangnya kasus ini tidak diperbolehkan disiarkan secara live di stasiun televisi. Sehingga sangat menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan informasi langsung terkait dengan jalanya persidangan.
Larangan tersebut dituangkan melalui surat keputusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus Nomor W 10 U1/KP 01.1.1750sXI201601 tentang larangan Peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media televisi di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A khusus.
Dalam hal ini penulis tidak sedang mewakili yang pro penyiaran proses persidangan secara live. Penulis juga tidak sedang mewakili yang kontra terhadap penyiaran persidangan secara live. Penulis hanya berbicara pada ranah aturan hukum dan bagaimana hukum seharusnya bekerja.
Pada tataran regulasi, sidang terbuka untuk umum diatur di dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa “Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim ketua membuka sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencoba menafsirkan dengan mempersempit makna terbuka untuk umum, menurut beliau terbuka untuk umum hanya pada ranah masyarakat boleh menghadiri persidangan. Kalau tafsiranya seperti itu seharusnya redaksional dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP adalah “dan menyatakan masyarakat diperbolehkan menghadiri persidangan.”
Padahal seharusnya terbuka untuk umum sampai pada tataran keterbukaan atas informasi persidangan. Keterbukaan ini dalam konteks kecanggihan tehnologi seharusnya diperbolehkan untuk disiarkan secara langsung.
Hak Warga Negara
Mengingat Isu Korupsi e-Ktp adalah isu nasional dan warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mengetahui perkembangan persidangan dalam kasus tersebut. Apakah WNI yang tinggal jauh di luar Jakarta harus pergi ke Jakarta untuk dapat menyaksikan dan mendapatkan informasi tersebut secara langsung?
Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2012 tentang perekaman proses persidangan (Selanjutnya ditulis SEMA 4/2012). Telah memberikan Dasar hukum yang jelas terkait dengan dibolehkanya proses perekaman persidangan secara LIVE. SEMA 4/2012 tersebut lahir atas dasar pemenuhan informasi terhadap masyarakat dan agar terciptanya lembaga peradilan yang transparan, akuntabel dan teratur.
Dalam surat edaran tersebut ditegaskan pada perkara apa saja yang diperbolehkan untuk dilakukan perekaman. Diantaranya adalah perkara Tindak Pidana Korupsi dan perkara lain yang menarik perhatian publik. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan wajib memastikan terlaksananya perekaman audio visual sesuai dengan aturan ini, bukan malah menafsirkan sebaliknya, mempersempit makna terbuka untuk umum.
Perkara Tindak Pidana Korupsi e-KTP, kalau mengacu pada SEMA 4/2012 diatas masuk dalam perkara yang boleh disiarkan secara live. Selain masuk dalam kategori Tindak Pidana Korupsi perkara tersebut juga perkara yang menarik perhatian publik. Oleh karena itu tidak seharusnya pelarangan penyiaran terhadap perkara ini dilakukan.
Kontrol publik terhadap proses persidangan tidak akan mengurangi independensi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Namun kontrol publik melalui transparansi informasi di persidangan justru akan mendorong terciptanya akuntabilitas Lembaga Pengadilan.
Ketidakbolehan penyiaran secara live merupakan langkah mundur pada dunia peradilan kita. Padahal penyiaran persidangan secara live selain mempermudah akses informasi bagi masyarakat, hal ini juga akan mendorong masyarakat yang akan semakin kritis terhadap penegakan hukum di Indonesia. Selain itu penyiaran secara live proses persidangan juga dapat meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat.
*Arifin Ma’ruf, Peneliti Hukum, Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia