NUSANTARANEWS.CO – Kasus suap uji uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjerat Patrialis Akbar mencoreng nama baik Mahkamah Konstitusi (MK).
Wacana pengawasan etik hakim konstitusi pun kembali dimunculkan. Banyak yang berpendapat pengawasan menyeluruh mulai elemen penegak hukum, pegawai hingga masyarakat sangat diperlukan.
Langkah pengawasan ini dinilai penting agar para hakim MK hakim dan jajarannya terhindar dari godaan dan tekanan mafia peradilan.
Apalagi penangkapan kali ini adalah kali kedua. Sebelumnya Ketua MK Akil Mochtar pernah dicokok oleh KPK lantaran terbukti menerima suap untuk menangani sejumlah perkara di MK.
Terkait wacana tersebut, Ketua MK, Arief Hidayat dengan tegas menolaknya.
“Sekali lagi saya tidak setuju dengan istilah pengawasan karena badan peradilan tidak boleh diawasi karena nanti kalau diawasi, jadi subordinat,” tegas Arief saat Konferensi Pers, di Kantornya, Jakarta Pusat, Senin, (30/1/2017).
Diakui Arief, kasus suap Patrialis ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi untuk membuat produk hukum yang lebih komperhensif. Tujuannya, demi penguatan lembaga MK agar lebih berintegritas dan profesional. Tapi bukan dengan pengawasan melainkan dengan memperkuat independensi hakim.
“Saat ini yang terpenting adalah bagaimana memperkuat supaya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bisa dijaga keluhuran martabatnya sehingga tidak menyimpang dari etik dan tidak menyimpang melakukan pelanggaran-pelanggaran berikutnya yang lainnya,” pungkasnya. (Restu)