ZIARAH SENJA DI BUMI JAWA
Menjelang senja, bumi Jawa seakan meronta. Sembilan wali pewaris para Nabi itu begitu khusyuk mengasah pena. Tinta biru menetes di rahim bumi, Tanah Jawa yang hitam tanpa Ibu dan Bapa.
Senja bertasbih makin sempurna. Majapahit telah usai menuliskan peta, tapi waktu mendadak kelu, adzan maghrib mulai bergema.
Syekh Maulana menancapkan telunjuknya ke bumi, mata air muncrat seketika dan mata cahaya memancarkan kemilaunya kemana-mana.
Sembilan kendi telah terisi air suci. Sembilan sumur ditimba tak ada habisnya.
Syekh Maulana berdiri gagah perkasa, dari kawah gunung berapi hingga di dasar palung samudera. Ribuan rakaat ditegakkan sebagai penyangga, menjadi pilar bumi Jawa.
Sunan Ampel dan Sunan Giri menggelar sajadah di tikar akar rumput. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati menabuh bedug tanpa terdengar gaduh. Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga menggemakan adzan penuh pesona. Sedangkan Sunan Kudus dan Sunan Muria meluruskan arah kiblat dan merapikan shaf dengan tepatnya. Bumi Jawa seakan pesta. Masjid Demak sebagai pusatnya.
Menjelang malam tiba, Syekh Siti Jenar mengetuk pintu mihrabku dengan tombak tajamnya.
Masih dalam bening sembahyang, tak mampu telingaku menangkap makna ketukan itu, sebab bening embun tengah menetes pada ubun-ubunku.
Seusai salam, kutemukan jenazahku dengan tubuh membiru, dengan sisa senyum semanis madu.
SETELAH HUJAN REDA
Setelah hujan reda, Tuhan merenda warna-warni di cakrawala. Engkau menyebut pelangi, tapi ia kuberi nama bianglala.
Seusai hujan reda, kita berjalan berdua, melewati gerimis tipis yang menyirami sejuk rindu di dalam dada. Aku menyebutnya genangan, engkau lebih suka memberi nama kenangan.
Bagiku genangan atau kenangan seusai hujan itu tak ada bedanya. Sebab basah rambutmu dan basah rambutku bermula dari hujan yang sama.
*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.
Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.
Gus Nas juga merupakan Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri, Bantul, DIY