NUSANTARANEWS.CO – Tepat hari ini 20 November 2016, publik dunia tengah memperingati Hari Anak Internasional. Layaknya selebrasi tahunan yang lain, peringatan Hari Anak Sedunia riuh menjadi pergunjingan di lini massa.
Bahkan di Indonesia, peringatan Hari Anak Sedunia sukses menjadi tranding topic. Inilah realitas dunia virtual abad ini. Kenyataan tentang global village yang diprediksikan Marshall McLuhan diawal tahun 60-an, tampaknya kian semakin nyata, bahkan sudah terjadi.
Dalam konteks ini, kehidupan anak-anak tengah memasuki babak baru dalam melakoni hidup di tengah kepungan dunia virtual. Tak bisa dipungkiri, sebagian besar anak-anak di Indonesia mereka mulai memiliki ketergantungan pada dunia gadget.
Sebuah dunia virtual yang menyuguhkan seabrek aplikasi di dalamnya. Kemajuan teknologi yang pesat ini seperti pisau bermata muda. Satu sisi, memudahkan penggunanya untuk mengakses informasi, namun di sisi yang lain mampu menawarkan ancam tersendiri.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Fadil Imran, memaparkan jika Indonesia adalah lima besar negara pengguna internet. “Kita banyak pengguna sosmed. Implikasinya lebih banyak hal negatif. Saat ini kita sudah lampu kuning bahkan merah tentang kasus yang melibatkan anak di dunia maya,” ujarnya.
Dunia anak-anak usia 5-9 tahun merupakan masa dimana mereka mulai tertarik mencari informasi dan kehidupan sosial di luar keluarga mereka. Anak-anak memang harus didorong untuk melakukan eksplorasi sendiri, namun bukan berarti tanpa ada pengawasan.
Pada usia 10-14, mereka mulai aktif menjalani kehidupan sosialnya. Mereka kian intens menggunakan internet. Ia akan berselancar ke dalam dunia virtual yang ia anggap sebagai ‘surga’ yang menyuguhkan banyak pilihan.
Tanpa disadari kemajuan teknologi ini akan berpotensi membuat anak-anak cenderung lebih cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya dari internet dan dianggap final. Selanjutnya kemajuan dunia virtual yang membawa banyak kemudahan ini, akan memicu lahirnya corak generasi baru yang tidak tahan dengan kesulitan dan cenderung memilih pada sesuatu yang instan serta cenderung menghindar untuk berpikir keras.
Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat dihasilkan kecanggihan dunia virtual lainnya adalah akan mendorong anak untuk menjalin relasi secara dangkal. Dampaknya ia akan mengalami penurunan konsentrasi dan menurunkan kemampuan menganalisa permasalahan.
Ancaman dan jebakan lain yang dihasilkan dari lorong kehidupan bernama dunia maya memiliki kecenderungan anak akan lebih malas menulis dan membaca. Sedangkan dalam tatanan sosial, mereka akan mengalami penurunan dalam kemampuan bersosialisasi ekternal dan internal.
Jika sudah demikian, apa yang akan terjadi dengan nasib generasi ini selanjutnya? Inilah yang tanpa kita sadari bahwa kecanggihan teknologi dewasa ini sesungguhnya ancaman bagi generasi selanjutnya. Tidak hanya dalam tataran perilaku tetapi juga mental.
Entahlah! Dalam tataran ini apakah kita musti harus berterimakasih atau justru sebaliknya turut berbela sungkawa atas realitas ancaman kemalasan massal ke depan? (Adhon/Red)