CerpenTerbaru

Bangsal Isolasi

Bangsal Isolasi
Bangsal Isolasi
Batuk dan pilek masih mengganggu tenggorokan hingga rongga dada saya. Mereka mengangkat saya yang setengah sadar, lalu menaikkan tubuh saya ke dalam ambulans. Ternyata, di dalam sudah ada seorang lelaki paruh baya yang mengalami batuk dan pilek yang sama. Dalam perjalanan, lelaki itu bersin-bersin hingga cairan ludahnya menyemprot ke muka saya.
Oleh: Supadilah Iskandar

 

Kami terus melaju dengan bunyi sirine. Suaranya terdengar jauh, seakan suara yang bersumber dari tempat lain. Sesampai di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), saya dibawa ke suatu ruangan khusus bertenda, yang mereka sebut sebagai “bangsal”.

“Kenapa saya dibawa ke sini? Tempat apa ini?” tanya saya pada petugas medis yang membaringkan saya di sebuah tenda besar yang memuat sekitar tigabelas hingga limabelas pasien.

“Semua ruangan sudah penuh, Pak, sebagian pasien kami rawat di bangsal ini,” kata seorang perawat berpakaian hazmat yang mempersiapkan botol infus, kemudian menusukkan jarumnya ke pergelangan tangan saya.

Saya tidak merasakan itu, karena saya pernah menghadapi masa-masa yang lebih kritis dari sakit yang saya derita kali ini. Rasa nyeri terasa seperti tusukan belati di sekitar perut tetapi saya tak mempedulikannya. Pasien di sebelah saya mengerang kesakitan, dan saya merasa jengkel dibuatnya. Saya yakin, suara erangan itu bukan lantaran sakitnya tapi karena rasa tegang dan panik yang menyelimuti pikirannya.

Dia terbatuk-batuk dan darah keluar dari mulutnya. Darah itu berwarna gelap, agak ungu dan kehitam-hitaman. Saya mencium bau amis yang menyengat, hingga terasa mual-mual. Ketika saya menderita sakit pada beberapa bulan lalu, saya pun pernah memuntahkan semua makanan dari lambung, kemudian menyusul darah hitam yang agak mengental. Saat itu, saya berpikir bahwa segala sesuatu yang keluar dari tubuh seakan-akan mendekatkan diri saya pada ajal kematian.

Pada sakit yang lalu, saya pun mendaftarkan diri sebagai pasien BPJS Kesehatan. Dalam satu ruangan, saya disatukan dengan delapan pasien laiknya kambing dikumpulkan dalam satu kandang yang sempit. Saya terdorong ingin memberikan saran maupun protes keras, tetapi protes kepada siapa. Sesekali mulut saya terasa mual, dan saya ingin muntah-muntah ketika diangkut bersama tiga pasien dalam satu ambulans. Darah mulai naik tetapi saya berusaha menahannya di mulut. Saya diposisikan agak meninggi ketimbang dua pasien itu. Terus saja saya menahan darah, dan tak ingin membiarkan darah itu muncrat hingga mengenai dua pasien di bawah saya.

Ambulans tiba-tiba berbelok ke arah kanan dengan cepat, dan darah mulai keluar dari sudut mulut. Saya berpikir, bagaimanapun sekaratnya seorang manusia, ia tetap harus menjaga sopan santun terhadap sesamanya. Seketika rasa diliputi rasa kesal dan jengkel. Bukan karena pikiran soal sekarat tetapi soal pelayanan yang mestinya memberi kami kenyamanan dan ketentraman. Kami para pasien, seolah dihadapkan pada suatu paksaan yang membuat kami tak punya kesempatan selain harus memilih apa yang mereka tentukan.

***

Seorang wanita berpakaian hazmat lengkap mendekati saya sambil membawa sebuah catatan, seraya menanyakan nama lengkap, tanggal lahir, alamat, nama orang tua, status pernikahan, dan segala tetek-bengek pertanyaan lain yang membosankan. Mereka seakan tak peduli kondisi saya yang sedang sekarat. Mereka mencatat dengan tergesa-gesa, seakan tak ada urusan apakah pada detik-detik itu saya sedang pingsan, terengah-engah atau mati sekalipun.

Sejenak saya berada di elevator dan pintu terbuka menuju dinding gelap. Mereka menempatkan saya di kasur lalu negloyor pergi. Seorang perawat lain muncul entah dari mana, kemudian memberi saya pil putih. “Minum ini, Pak,” katanya. Dan saya pun menelan pil itu dengan susah-payah, sambil mendorongnya dengan air putih yang telah disediakan.

Baca Juga:  Dan Lanal Nunukan Tegaskan TNI Akan Semakin Manunggal Dengan Rakyat

Saya menyandar ke belakang dan memperhatikan suasana sekitar. Ada sekitar 9 kasur yang semuanya ditempati laki-laki, tua dan muda. Tiap kami diberi wadah timah berisi air dan beberapa pasien sudah dilepas selang infusnya. Tapi mereka masih mengenakan selimut dan masker yang sangat ketat. Seprainya kelihatan bersih. Ruangan agak remang-remang, seperti di lorong bawah tanah. Di sebelah saya seorang lelaki tua kurus yang terus-menerus terbatuk-batuk sepanjang hari. Sempat terlintas pikiran miring, untuk apakah Tuhan masih mempertahankan kakek tua kurus kering yang sepanjang hari terbatuk-batuk tak ada habis-habisnya. Jikalau dia seorang nabi atau rasul, barangkali masih dibutuhkan petuah dan sabdanya bagi orang-orang yang banyak bermaksiat dan melakukan dosa secara terus-menerus. Tetapi orang seperti itu, kenapa juga masih bertahan hidup?

Pada tengah malam, entah jam berapa – karena saya tak lagi peduli pada ruang dan waktu – salah seorang pasien yang dibaringkan di samping kanan jendela, tiba-tiba berteriak-teriak histeris. Matanya melolong-lolong, dan teriakannya tidak saya mengerti kerena ia menggunakan bahasa Sunda. Saya tanyakan pada petugas, apa yang dia katakan, tetapi petugas itu pun tak mengerti karena ia berasal dari daerah Padang. Hanya ada satu kata yang saya mengerti, yakni “bangsat” itu saja. Kata bangsat memang dipahami oleh setiap bahasa, baik Jawa, Sunda, Makassar, Medan dan berbagai suku dan etnik di Indonesia. Yang jelas, hampir semua bahasa di negeri ini sepakat bahwa “bangsat” adalah suatu makian atau cemoohan, dan nyaris tak ada bahasa yang mengartikannya sebagai kebaikan dan sopan santun.

Dua orang petugas berusaha menenangkannya, tetapi keduanya kena semprot habis-habisan. Meskipun mereka tak menanggapi apa yang dikatakan pasien karena memang tak memahami bahasanya.

“Coba tenangkan dia, Pak! Sumpel mulutnya dengan kain, supaya kami bisa tidur nyenyak!” teriak seorang pasien mengingatkan petugas.

“Ikat kedua tangannya, Pak! Supaya badannya tidak melonjak-lonjak di tempat tidur!” kata yang lainnya. Saya tidak ikutan berkomentar, meski di dalam hati sepakat dengan apa yang mereka usulkan.

Tak berapa lama, dua petugas bertubuh kekar membawa saputangan dan tali kain, lalu mengikat kedua tangan pasien tersebut. Ia meronta-ronta, tetapi tenaganya tak seberapa dibanding tubuh kekar petugas yang barangkali dikhususkan untuk menangani hal-hal semacam ini. Mulutnya masih saja berteriak-teriak. Dia meronta-ronta dari ikatannya dan berteriak lagi. Terlihat seakan-akan ikatan itu nyaris putus, sumpalan di mulutnya terlepas.

Semua ranjang berderak, dinding-dinding seakan memantulkan teriakan itu ke telinga-telinga kami. Teriakan semakin panjang disertai batuk-batuk kering yang akhirnya membuat ia kelelahan sendiri. Dia pun terdiam membisu, dan kami semua meregangkan diri di atas ranjang dan menikmati suasana hening. “Ah,” pikir saya sambil menghela napas, “betapa nikmatnya keheningan ini.”

***

Hari berikutnya seorang perawat datang dan memeriksa saya. Tak berapa lama, ia muncul lagi bersama seorang petugas medis yang memaksa saya agar duduk di kursi roda, kemudian membawa saya menuju ruangan lain dengan menaiki tangga lift. Di ruangan itu sudah antri sekitar sebelas orang, yang kemudian satu persatu disuruh berdiri di depan sebuah mesin.

Kini, giliran saya yang dipaksa oleh seorang teknisi agar bediri membelakangi mesin tersebut. Saya merasa sangat lemah, dan tak sanggup untuk berdiri.

Baca Juga:  Ketua DPC PPWI Inhil Dibebaskan Bukan karena Belas Kasihan, Wilson Lalengke: Dedengkot Pungli Saruji Harus Tetap Diproses Hukum

“Ayo berdiri,” kata teknisi berpakaian hazmat itu.

“Saya tidak kuat, Pak,” kata saya.

“Cukup berdiri saja,” desaknya lagi.

Saya menggerakkan badan pelan-pelan dari kursi roda, dan memaksakan berdiri. “Tapi, saya tidak bisa, Pak,” kata saya lemah.

“Ayo, tahan sebentar.”

Dia hanya sedikit membantu menopangkan tubuh saya dalam posisi berdiri.

“Ah, saya mau jatuh, Pak,” kata saya meringis.

“Jangan jatuh,” ucapnya enteng.

Akhirnya, saya pun terjatuh lunglai ke belakang. Entah kenapa, saya merasa seakan-akan tubuh saya terbuat dari karet dan lemas sekali. Namun, saya tak merasakan apa-apa saat terjatuh ke lantai. Tubuh saya terasa ringan dan enteng sekali.

Petugas medis yang sejak tadi berdiri di pojokan menghampiri saya, lalu membantu saya berdiri sambil memegang kedua lengan saya.

“Tahan sebentar,” perintah sang teknisi, “cukup berdiri di situ saja.”

“Oke, saya pegang lengannya, tahan sebentar,” kata petugas medis.

Setelah teknisi itu mengambil gambar rongga dada dan tenggorokan saya, petugas medis itu mendudukkan saya kembali di atas kursi roda, lalu membawa saya ke tempat semula melalui tangga lift.

Keesokan harinya, mereka menempatkan saya di suatu ruangan khusus berisi tujuh orang yang sedang sekarat. Beberapa orang terbatuk, sedangkan yang lainnya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ketika saya masuk dan dibaringkan di ranjang satu-satunya yang masih kosong, jumlah pasien menjadi delapan orang sekarat. Seketika itu, beberapa orang memandang saya dengan tatapan sinis, disertai senyum mereka yang hambar. Saya berpikir, apakah saya sedang dimasukkan ke bangsal isolasi penderita Covid-19, ataukah rumah sakit jiwa?

Kabel pada tombol pemanggil telah dicabut. Saya hanya boleh dijenguk oleh satu orang dengan mengenakan masker ketat, dan boleh berkomunikasi dari jarak tiga meter saja. Mereka telah mengangkat penahan sisi ranjang. Saya terus-terusan ingin buang hajat tetapi tidak bisa. Seorang dokter mengatakan bahwa saya tak usah berpantang dalam soal makanan, dan para perawat menyediakan saya daging sapi dan ayam goreng, tetapi saya tidak memakannya. Saya paham apa yang mereka inginkan. Sebab, mereka hanya akan mendapat kesenangan jika saja ranjang-ranjang itu satu persatu mulai dikosongkan dari para pasien.

Hari keenam, demam semakin tinggi dan badan saya menggigil dan semakin lemah. Saya tak bisa berdiri, hanya merangkak pelan-pelan untuk sampai ke pintu toilet. Saya pun duduk di atas kloset sambil mengejan dan mengejan keras-keras. Tetapi tak ada tahi yang keluar dari anus. Saya pun bangkit, dan yang ada hanya pusaran darah, kamudian saya menyiramnya pelan-pelan.

Saya merangkak lagi menuju ranjang. Kepala saya nyut-nyutan. Saya minum obat yang disediakan di atas meja, tetapi saya tak sanggup menelan kapsul yang besar. Saya minta tolong pada para perawat agar menghaluskan kapsul-kapsul yang besar itu. Ada seorang perawat wanita yang berbaik hati menghaluskan kapsul-kapsul besar dengan cara mencampurnya dengan sedikit air hangat, kemudian menggerusnya dengan sendok. Setelah itu, saya berhasil menelannya dengan dorongan air susu yang diminumkan perawat itu.

***

Perawat itu bernama Agustini, seorang suster yang didatangkan dari gereja, khusus sebagai tenaga sukarelawan medis yang merawat para penderita Covid-19. Para pasien memanggilnya dengan sebutan “Dokter Tini”, dan saya merasa beruntung dilayani oleh perawat wanita yang tekun dan baik hati ini.

Sore harinya, Dokter Tini menghaluskan kapsul-kapsul yang akan diminumkan untuk saya, tetapi saya terheran-heran mengapa tidak ia lakukan untuk yang lainnya. Padahal, mereka bertujuh adalah pasien-pasien yang sama sekaratnya dengan saya, karena itu membutuhkan asupan obat-obatan bagi kesembuhan mereka.

Baca Juga:  Kantor PWI Pusat Dijaga Gerombolan Bertampang Debt Collector, Siapa Mereka?

“Mereka tidak mau minum obat,” gumam Dokter Tini, “mereka sama sekali tidak mau minum obat, dan saya tak bisa memaksa mereka.”

“Kenapa, Dok?” tanya saya kaget.

Setelah menyuapi saya bubur dan meminumkan obat yang telah dihaluskan, Dokter Tini menjelaskan secara panjang-lebar dengan suara berbisik, “Beberapa hari lalu sebelum Bapak dipindahkan ke bangsal ini, ada seorang ustaz yang mengaku dari suatu pesantren, menyampaikan ceramah di hadapan mereka selama tigapuluh menit. Materi ceramahnya tentang kematian dan segala hal yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi ajal, serta apa-apa yang akan terjadi di alam kubur. Dengan suaranya yang lantang dan badan tergetar, ceramah-ceramah itu barangkali disimak oleh para pasien di sini. Tetapi entah kenapa, setelah penceramah itu pergi, tiba-tiba para pasien menolak untuk diminumkan obat-obatan, seakan-akan mereka siap menghadapi ajal kematian.”

“Wah, ini tidak benar, Dok,” kata saya menggeleng. “Barangkali ustaz itu hanya seorang oknum yang menciptakan keresahan dan kegaduhan. Sebab, Islam tidak mengajarkan hal semacam itu, dan tidak ada agama apapun yang mengajarkan hal tersebut. Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa setiap penyakit mesti ada obatnya, dan kita tidak boleh menghendaki kematian. Karena hal tersebut, sama saja dengan mendahului kehendak Tuhan.”

“Mungkin materi ceramah yang disampaikan ustaz itu tidak salah, tetapi mereka yang salah menangkapnya,” ujar Dokter Tini menenangkan saya.

“Mungkin saja,” kata saya menerawang.

Malam harinya saya terkejut dan terbangun dari tempat tidur, karena beberapa pasien tiba-tiba berteriak-teriak saling sahut-menyahut. Barangkali tidak keliru saya menganggap bangsal isolasi ini tak beda jauh dengan ruang inap para penderita kejiwaan, karena pasien di samping jendela tiba-tiba berteriak menggelegar dengan menggunakan bahasa Arab: “Man Rabbuka?” (Siapa tuhan Anda?).

Pasien yang terbaring di sebelah kiri saya tiba-tiba menjawab lantang, “Allahu rabbi!” (Allah adalah Tuhanku).

Lalu, muncul lagi suara: “Ma dinuka, man nabiyuka?” (Apa agamamu dan siapa nabimu?).

Dijawab lagi dengan bahasa Arab, oleh pasien yang berbaring di sebelah kanan saya, “Al-Islamu dini wa Muhammad nabiyyi!” (Islam adalah agamaku dan Muhammad adalah nabiku).

“Hore… alhamdulillah… saya sudah mendapatkan bocoran soalnya! Hore… saya juga sudah menemukan kunci jawabannya, hore…!”

.Suara teriakan yang saling sahut-menyahut menimbulkan kegaduhan di tengah malam itu, sehingga saya kesulitan untuk tidur dan istirahat. Mereka tiba-tiba terdiam, dan suasana menjadi hening, setelah saya lontarkan pernyataan untuk mereka: “Diam kalian semua! Tuhan Maha Tahu kalau kalian sudah menenmukan kunci jawabannya, karena itu Dia sudah bersiap-siap untuk mengubah soal-soalnya!”

Mereka terkesima menatap saya, seakan menganggap saya ini adalah utusan yang mendapat wahyu dari Malaikat Munkar dan Nakir. “Mulai sekarang,” kata saya lagi, “kalian semua harus minum obat. Karena saya sudah diberitahu kunci jawaban untuk soal-soal yang baru ini. Kalau kalian tidak minum obat, kalian semua akan mati…!”

Mereka terbengong-bengong menatap saya. Suasana menjadi hening setelah teriakan dan kegaduhan itu. Dan saya berpikir, bahwa keheningan ini adalah karunia Tuhan yang harus disyukuri. Sebab, karunia sebanyak apapun tidak akan terasa nikmat, jika tidak disyukuri. (*)

*Penulis: Supadilah Iskandar, Pengajar sastra di pedalaman Banten Selatan, menulis esai dan cerpen di berbagai media luring dan daring

Related Posts

1 of 3,057