NUSANTARANEWS.CO – Istilah feminisme seringkali dikonotasikan negatif terutama di Indonesia. Padahal istilah feminisme mengacu pada aktivisme politik yang dilakukan oleh perempuan atas nama perempuan. Feminisme mempersoalkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan serta menuntut perubahan. Para feminis memahami makna perempuan dengan kritis.
Mereka tidak melihat perempuan sekadar jenis kelamin (sex) akan tetapi melihat adanya konstruksi sosial (gender). Namun para feminis juga memahami perempuan dengan beragam, yaitu bukan saja dalam tingkat global yang seringkali diasosiasikan dengan feminisme Barat, akan tetapi juga lokal yaitu adanya partikularisme, provinsialisme atau cara pandang Dunia ke-3 (Basu, 2000).
Perjalanan ide feminisme di Indonesia merupakan perjalanan yang terjal. Awal ide feminisme bisa dikatakan dibangun pada Kongres Ibu pertama di Yogyakarta pada tahun 1928 yang membahas isu-isu penting pada masa itu, yaitu isu pendidikan dan perempuan. Selanjutnya, ide-ide feminisme terus berlanjut setelah Indonesia merdeka pada tingkat akar rumput yang secara gigih dipelopori oleh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) di tahun 1950-an.
Setelah masa kepemimpinan presiden Sukarno, gerakan perempuan memasuki masa kelam di era presiden Suharto, yakni dikooptasi dan didominasi oleh negara. Baru pada masa Reformasi ide-ide feminisme tumbuh subur dengan adanya demokrasi. Namun, pintu demokrasi yang terbuka lebar mengundang berbagai kelompok seperti kelompok konservatif yang juga menerabas masuk. Dengan demikian, tantangan perempuan Indonesia semakin besar memasuki abad ke-21.
Paparan di atas merupakan elaborasi tentang situasi yang dihadapi Indonesia saat ini. Bahwa ada kegelisahan antara feminisme global dan lokal meski diakui bahwa pergerakan transnasional sangat membantu dalam melakukan advokasi bersama seperti trafficking, kekerasan terhadap perempuan dan lain sebagainya. Di era internet apa yang terjadi di India misalnya dalam soal pemerkosaan dan juga penembakan Malala Yousafzai di Pakistan, menyatukan gerakan perempuan sedunia.
Bersamaan dengan itu pula ada ketegangan lain yang muncul dalam budaya lokalitas itu sendiri seperti praktik-praktik tradisi yang merugikan perempuan. Dalam semangat otonomi daerah, peraturan-peraturan daerah justru tidak menguntungkan perempuan apalagi bila peraturan-peraturan tersebut dinafasi dengan fundamentalisme agama yang intoleran terhadap perempuan. Maka tidak heran bahwa kebijakan-kebijakan yang disusun di dalam ranah publik juga mengandung diskriminasi.
Meskipun demikian, wacana kesetaraan dan keadilan untuk perempuan telah diterima luas di berbagai daerah dan kesolidan gerakan perempuan tampak menguat baik di pemerintahan, parlemen, LSM, akademisi dan profesional serta tokoh/organisasi berhaluan feminis Islam. Oleh sebab itu, kami tetap optimis akan masa depan feminisme di Indonesia.
Untuk itu dalam rangka 20 tahun Jurnal Perempuan yang jatuh pada bulan September 2016, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Konferensi Internasional tentang Feminisme guna mendiskusikan peran dan kontribusi wacana dan gerakan feminisme di Indonesia dengan mengambil tema Persilangan Identitas, Agensi dan Politik. Diskusi dalam konferensi ini akan mengeksplorasi pengalaman berbeda antara perempuan, seksisme, homofobia, identitas nasional dan global, dan memahami multiplisitas identitas perempuan yang dinegosiasikan setiap hari.
Konferensi diikuti oleh 285 peserta dan akan membahas 10 isu dalam diskusi paralel yakni Agama dan Feminisme; Kebijakan Publik Berperspektif Feminis; Seksualitas, Tubuh dan Hak Reproduksi; Keadilan untuk Minoritas; Feminisme Lokal, Global dan Transnasional; Buruh dan Pekerjaan; Laki-laki Feminis; Tradisi dan Feminisme; Seni dan Sastra; serta Media dan Jurnalisme. Makalah yang masuk ke panitia konferensi berjumlah 102 dan terseleksi sebanyak 62 makalah.
Adapun Pemakalah dan peserta datang dari berbagai daerah seperti Aceh hingga Papua kecuali Maluku. Peserta dari luar negeri terwakili oleh Thailand, Amerika, Australia, Hong Kong, Filipina, Belanda, Jerman dan Malaysia. Peserta yang aktif berpartisipasi dalam konferensi ini juga beragam dari LSM, aparat pemerintah, akademisi, guru, profesional, pengusaha dan ibu rumah tangga. Konferensi ini diselenggarakan atas kerjasama Jurnal Perempuan dengan Program MAMPU yang merupakan kolaborasi Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, Ford Foundation dan Arrow.
Sebagai informasi, Yayasan Jurnal Perempuan adalah organisasi nonprofit yang didirikan pada tahun 1995. Jurnal Perempuan (JP) diterbitkan pertama kali pada tahun 1996 dan merupakan jurnal feminis pertama Indonesia yang membahas studi gender dan isu-isu perempuan. Hingga tahun 2016, JP telah terbit sebanyak 90 edisi dan dicetak sebanyak 1.500-2.000 eksemplar setiap edisinya. Visi dan misi YJP adalah untuk memberdayakan dan membela hak-hak perempuan. YJP berfokus pada pendidikan, penelitian dan publikasi. (SS/Red-02/Disadur dari Rilis dalam rangka 20 Tahun Jurnal Perempuan & 100 Tahun Feminisme di Indonesia)