NUSANTARANEWS.CO – Penyair sekaligus budayawan Ibnu Hajar menyatakan, perjalanan sastra di pesantren tentu saja menjadi embrio bagi perkembangan sastra Islami di pesantren berikutnya. Lahirnya sastrawan berlatar belakang pesantren, baik sebagai cerpenis, novelis dan penyair merupakan rainkarnasi dari pengalaman masa lalu pesantren.
“Artinya, bukanlah hal yang mustahil, pesantren menjadi kekuatan bagi pengembangan sastra islami yang harus dipupuk. Sehingga pesantren tidak akan pernah kehilangan jati dirinya sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia yang kental dengan nilai-nilai religius,” terang Ibnu beberapa waktu lalu saat dikonfirmasi nusantaranews.co.
Dalam keterkaitan ini, lanjut pria alumnus Universitas Muhammadiyah (UNMU) Malang itu, pesantren memiliki peran yang signifikan dalam menumbuhkan sastrawan-sastrawan muda dengan karya-karya sastra yang mewakili ruh dan kehidupan pesantren. Sasatra Islami sangat memungkinkan “hanya” bisa dilakukan oleh pesantren, karena pesantren merupakan satu-satunya khazanah Islam yang terlengkap dalam mewarisi nilai-nilai dan khazanah keislaman.
“Para Kiai pesantren telah terbukti memiliki kepekaan yang tinggi terhadap sastra. Tidak jarang muncul kiai-kiai sastrawan yang meneruskan gerakan bersastra, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh muslim terdahulu,” imbuh penyair kelahiran Sumenep, 7 Juli 1971 itu.
Bahkan telah sejak zaman dahulu, lanjutnya, ilmu sastra telah diajarkan oleh para Kiai di pesantren, seperti kitab Siraj at-Thalibin, karya kiai Ihsan (Kediri), kitab al-Miftah, Balaghah, Ma’ani dan kitab-kitab sastra yang lain.
“Dalam konteks ini, pesantren (santri) media yang memiliki akar historis dengan penulisan dan perkembangan sastra Islami yang telah dikembangkan pada masa-masa yang lalu. Pesantren secara langsung ataupun tidak, memiliki tugas besar untuk terus memposisikan kepentingan sastra Islami sebagai agenda yang tidak boleh hilang. Karena sastra, pesantren dan Islam itu sendiri adalah setali tiga uang yang tidak mungkin terpisahkan,” tandasnya. (Selendang)