Catatan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat)
Berbagai peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 membuatnya layak disebut – meminjam istilah Bung Karno – sebagai tahun vivere pericoloso (Tavip), atau tahun penuh marabahaya. Pandemi Covid-19 mengawali masa abnormal di berbagai bidang dan diperkirakan masih akan dirasakan pada tahun-tahun mendatang.
Oleh: Hendrik Dikson Srait
Selain pandemi, goncangan sosial politik juga terjadi akibat sejumlah kebijakan dan tata-kelola yang tidak pas dari birokrasi atau aparatus pemerintah, menguatnya fenomena intoleransi, plus avonturisme politik dari kalangan tertentu.
Kendati demikian, menjelang datangnya tahun baru 2021, kita juga layak mengapresiasi sejumlah kebijakan pemerintah yang sedikit banyak memunculkan harapan untuk terhindar dari dampak yang lebih buruk akibat persoalan-persoalan tersebut.
Dalam kesempatan ini, Alansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) membuat catatan khusus berkenaan dengan perjalanan bangsa Indonesia dalam setahun. Catatan berikut dibuat sebagai refleksi sekaligus bahan rekomendasi ALMISBAT kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – K.H. Ma’ruf Amin.
Ini persoalan berat. Dampaknya jauh lebih berat dan global. Di Indonesia, angka statistik korban terpapar, meninggal, serta yang terdampak secara ekonomi sosial sungguh luar biasa.
Menurutnya, jumlah kematian yang menyentuh angka lebih dari 20 ribu orang bukanlah sekedar angka statitistik. seperti halnya dengan 2.67 juta orang yang tiba-tiba jadi pengangguran atau ratusan ribu orang lainnya yang kerap dilanda kecemasan dan gangguan psikis lainnya. Seluruhnya perlu perhatian, kebijakan terarah, dan akal sehat.
Kita mencatat sinergi dan keselarasan langkah antar level pemerintahan bahkan sempat bermasalah. Tidak ada kebijakan terpadu dan seragam antara elit pusat dan daerah. Permakluman bahwa hal itu karena pandemi seperti ini baru kali pertama terjadi di Indonesia hanya dapat diterima sesaat, tidak dalam jangka panjang.
Karena itu, langkah “telat” pemerintah yang membentuk Satuan Tugas Covid-19 pimpinan Doni Monardo pada Maret 2020, serta Tim Pemulihan Ekonomi dan Penanganan Covid-19 pimpinan Erick Thohir pada Juli 2020, tetap patut kita apresiasi karena terbukti relatif berhasil membangun arah kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah ini.
Meskipun kehadiran gugus tugas itu belum sepenuhnya mampu dan efektif mengobati akar persoalannya. Pemulihan menuju normal seperti pra pandemi memang masih panjang.
Mengingat situasinya, Presiden harus memastikan agar sinergi dan keselarasan langkah antar semua pemangku kebijakan tadi agar asas keselamatan warga sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex esto) betul-betul terwujud. Oleh karena itu, segala bentuk pemanfaatan situasi ini untuk kepentingan politik dan korupsi adalah pengkhianatan tertinggi terhadap asas tersebut.
Sejalan dengan asas tersebut, ketergesa-gesaan dalam penanganan Covid-19 termasuk dalam pelaksanaan kebijakan vaksinasi bagi masyarakat bukanlah hal yang tepat dilakukan. Kebijakan vaksin gratis tentu boleh-boleh saja sebagai bukti bahwa negara hadir. Namun bukti kemanjuran (efficacy) vaksin lewat standar uji klinis ilmiah jauh lebih penting daripada mengambil risiko dari sekedar mempercepat pelaksanaannya.
Bidang Politik: Politik Akomodasi Yang Tiada Henti
Kondisi politik pada 2020 belum lepas dari bayang-bayang Pilpres 2019 yang dinamis dan cenderung mengkhawatirkan. Bahkan memalukan. Terutama karena masih menguatnya politik identitas.
Almisbat melihat kecenderungan politik tersebut bukan lagi sekedar fenomena, tapi sudah menjadi upaya sistematis yang terukur untuk mengganggu pemerintahan yang sah dan bahkan bangunan NKRI yang telah final secara konstitusional. Isu agama secara serampangan digunakan atas nama demokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Lebih jauh, politik tahun ini juga merupakan sequence atau rentetan dari transisi demokrasi panjang yang penuh gejolak sejak Reformasi 1998. Selama kurun waktu itu perubahan politik dan fragmentasi di berbagai bidang terus berlangsung, dan di sisi lain pembangunan konsensus tertentu di antara elit politik juga terus berlangsung dan yang tidak terhindarkan. Meskipun hal itu sering kali belum tentu diperlukan.
Konsensus itu di satu sisi efektif menjembatani berbagai perbedaan yang ada. Namun, di sisi lain hal itu seringkali hanya mengakomodasi kepentingan elit, bukan kesepakatan bersama menyangkut “nilai-nilai politik” yang bisa mendekatan atau mempertemukan berbagai elemen demokratis menjadi suatu kekuatan yang relatif padu untuk memastikan transisi dan konsolidasi demokrasi berjalan secara meyakinkan sebagaimana mestinya.
Pengangkatan 6 (enam) menteri baru lewat perombakan atau reshuffle kabinet lalu adalah konsensus politik khas Indonesia par excellence ( yang sempurna). Kita menghargai hal itu sebagai hak prerogatif Presiden sesuai konstitusi. Secara khusus ALMISBAT tidak meragukan kompetensi, integritas, dan kapasitas beberapa figur di antara para menteri baru tersebut.
Konsolidasi politik itu menjadi sinyal bahwa posisi politik Jokowi semakin kuat. Hal itu seharusnya menjadi modal penting Jokowi untuk memimpin narasi yang lebih optimistis mengenai berbagai komitmen yang akan menjadi warisan pemerintahannya.
Tentu bukan hal mudah bagi Jokowi untuk menuntaskan seluruh komitmen pemerintahaannya terutama di tengah masih kuatnya kultur korupsi, tata-kelola birokrasi yang belum baik, serta masih tingginya intoleransi dan lain sebagainya.
Politik akomodasi dalam rangka pemantapan stabilitas politik jangan sampai menjadi ruang baru bagi perilaku korupsi. Oleh karena itu, Jokowi perlu memastikan para pembantunya agar tidak sekedar tidak akan korupsi, tetapi mendorong mereka untuk mengenali celah-celah korupsi di lingkungannya.
Oleh karena itu ALMISBAT mendukung ketegasan Presiden Jokowi dalam kasus korupsi yang melibatkan dua mantan menteri (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara) akhir-akhir ini. Sikap ini merupakan sinyal kuat perilaku lancung seperti itu sudah seharusnya tak mendapat tempat, namun di sisi lain mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi belum sepenuhnya berhasil dan karenanya harus terus dilakukan.
Pada masa mendatang, Jokowi juga perlu menghindarkan corak government-centris dalam proses pengambilan kebijakan seperti halnya dalam revisi UU KPK, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja lalu. Selain secara perlahan akan menyebabkan hilangnya semangat partisipasi publik hal itu juga akan berpengaruh terhadap impresi publik mengenai pemerintahannya.
Intoleransi: Ekspresi Hina Kemanusiaan
Intoleransi sebagai gagasan dan tindakan merupakan ekspresi yang sangat menghina nilai-nilai kemanusiaan universal. Hingga saat ini, intoleransi masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Bahkan, tensinya cenderung meninggi setidaknya sejak momen politik Pilkada DKI Jakarta 2017. Kasus pembunuhan jemaat gereja di Sigi, Sulawesi Tengah pada November 2020 lalu merupakan salah satu catatan kelam dalam persoalan tersebut.
Tanpa komitmen pemerintah, tidak ada jaminan bahwa persoalan ini akan selesai dalam waktu singkat. Merespon kecenderungan tersebut berbagai organisasi masyarakat sipil kerap meminta Presiden Jokowi merealisasikan janji kampanyenya untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi dan membawa para pelakunya ke jalur hukum.
Persoalan intoleransi adalah banyaknya kasus yang tidak selesai pada masa sebelumnya. Di sisi lain pemerintah saat ini masih harus menghadapi kasus-kasus baru yang terus bermunculan. Jika persoalan ini terus berlarut tanpa ada penyelesian yang tuntas, fenomena ini potensial memunculkan gesekan sosial yang eskalatif dan membahayakan integrasi nasional. Intoleransi jelas melanggar kebebasan sebagai hak dasar, bertentangan dengan konstitusi serta merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Yang patut dicermati adalah masuknya pandangan/sikap intoleran ke dalam tubuh birokrasi dan BUMN, sebagaimana yang dikutip oleh berbagai studi belakangan ini. Patut diduga bahwa masuknya anasir-anasir itu ke dalam dua institusi tersebut sesungguhnya memiliki agenda untuk menghalangi proses reformasi birokrasi yang gencar dilakukan di era pemerintahan Jokowi dengan menggunakan isu agama.
Lebih dari itu, sikap intoleransi potensial berkembang menjadi radikalisme yang akhirnya berujung pada terorisme. Oleh karena itu, terorisme merupakan puncak tertinggi dari sikap intoleran. Sebagaimana diketahui, terorisme merupakan suatu bentuk kejahatan publik yang menimbulkan berbagai efek destruktif hingga kematian.
Oleh karenanya, banyak pihak menyatakan bahwa lebih baik menangkal intoleran sejak awal sebelum paham itu “naik kelas” menjadi radikalisme dan terorisme.
Di tahun 2020 beberapa organisasi masyarakat sipil mencatat bahwa kasus-kasus intoleransi dan ujaran kebencian masih terus berlangsung. Sejak era pertama Presiden Jokowi hingga September 2020, Setara Institute menyatakan bahwa terdapat 157 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terutama terhadap pemeluk agama minoritas.
Beberapa tahun belakangan ini ormas ormas pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama telah mengganggu ketenangan masyarakat. Bahkan tindakan mereka sudah pada taraf mengancam demokrasi. Persoalan ini memang jadi pekerjaan rumah dan tantangan yang cukup pelik, namun sekaligus membutuhkan keberanian untuk menyikapinya.
Untuk itu ALMISBAT menapresiasi keputusan tegas pemerintah yang membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini dikenal sering menyebarkan ujaran kebencian, persekusi, dan cenderung ingin mengubah idiologi negara. Sikap tegas ini sebelumnya diambil pemerintah terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bagi ALMISBAT sikap tersebut dapat menjadi “legacy” pemerintahan Jokowi yang tidak memberi ruang sedikit pun dan terhadap siapapun yang mencoba merusak kohesi kebangsaan yang dilandasi oleh keberagaman.
Secara khusus ALMISBAT memuji langkah presiden Jokowi yang mengangkat Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama yang baru. Bagi ALMISBAT, Gus Yaqut aadalah figur tepat mengingat rekam jejaknya sebagai pemimpin GP Ansor. Tokoh ini punya komitmen kuat terhadap pluralisme sehingga berani tampil di garda terdepan menghadapi kelompok-kelompok intoleran. Pengangkatannya merupakan angin segar bagi iklim kebebasan beragama dan kedamaian di Indonesia.
Pemulihan Ekonomi: Bukan sekedar Mengubah Angka Minus jadi Plus
Tak dapat dipungkiri bahwa dampak ikutan pandemi Covid-19 terhadap ekonomi nasional sangat besar. Problem menurunnya tingkat pendapatan masyarakat, menurunnya penerimaan pajak dan sumber pemasukan lain serta rendahnya pertumbuhan ekonomi merupakan persoalan faktual yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini hingga tahun-tahun mendatang.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada level -1.75 persen hingga -2 persen dan oleh karenanya Indonsia akan segera memasuki tahap resesi ekonomi. Pernyataan Sri Mulyani itu sesungguhnya merupakan sinyal yang memberi peringatan dini bahwa Indonesia perlu lebih bersiap dan waspada menghadapi resesi ekonomi.
Di sisi lain, respon pemerintah melalui paket stimulus senilai Rp 408,8 triliun yang diumumkan pada bulan Maret tahun ini dapat dikatakan merupakan perubahan kebijakan yang cukup signifikan. Dalam paket stimulus yang antara lain berbentuk program Bansos untuk kelompok-kelompok rentan, termasuk UMKM, memperoleh perhatian khusus.
Sebagaimana diketahui paket stimulus ekonomi ini akan diperpanjang hingga awal 2021. Besarnya seluruh anggaran untuk mengantisipasi dampak Covid-19 terhitung sejak paket stimulus pertama di bulan Februari, sebagaimana dicatat BPK di akhir tahun ini mencapai Rp1.035,25 triliun. Fenomena ini merupakan kebijakan anggaran terbesar di Indonesia yang ditujukan untuk melawan dampak pandemi sepanjang sejarah Republik Indoensia.
Opsi kebijakan ini sangat tepat. Kemerosotan daya beli masyarakat, terutama kelompok-kelompok rentan termasuk UMKM yang terdampak Covid-19, memang harus dijawab dengan social safety net (jaring pengaman sosial). Yang perlu dijaga adalah sikap konsisten dan menjauhi praktik korupsi, sehingga kelompok sasaran mendapatkan haknya secara penuh.
Paket stimulus ekonomi yang menyasar kelompok masyarakat miskin hingga di awal tahun 2021 di satu sisi serta tibanya vaksin anti-Covid 19 di sisi lain dapat memberi sinyal positif bagi publik. Dua fenomena ini memunculkan harapan bahwa Covid 19 tidak saja bisa dilawan tetapi juga potensial mendorong menggeliatnya ekonomi di tahun 2021 mendatang, sekalipun pemulihan ekonomi seperti sebelum Covid-19 masih memerlukan waktu yang agak lama.
Di sisi lain, 6 menteri baru hasil perombakan kabinet beberapa waktu yang lalu dapat dikatakan memberi harapan baru bagi masyarakat. Beberapa personelnya merupakan figur-figur yang relatif dapat dipercaya dan memiliki komitmen untuk menjawab tantangan ke depan. Oleh karena itu, ke 6 menteri baru itu masih punya harapan untuk berkontribusi melalui sektornya masing-masing dalam rangka pemulihan ekonomi.
Berdasarkan paparan tersebut, ALMISMAT menyatakan dan merekomendasikan:
1. Pemerintah tetap fokus pada komitmen strategis seperti pengembangan konektifitas melalui maritim, terus melanjukan peogram reformasi birokrasi, reformasi agraria melalui program Perhutanan Sosial, reformasi di bidang energi dan green economy, termasuk menyelesaikan agenda-agenda reformasi yang belum tuntas seperti pemberantasan KKN dan penyelesaian kejahatan HAM masa lalu.
2. Almisbat mendukung sepenuhnya upaya penyelamatan kelompok-kelompok rentan melalui kebijakan jaring pengaman sosial (social safety net), termasuk kalangan UMKM melalui paket sitimulus ekonomi. Upaya ini penting dilakukan agar kelompok-kelompok tersebut tidak jatuh ke jurang kemiskinan absolut. Dalam hal ini pemerintah juga penting untuk memastikan terselenggaranya pemerataan pembangunan, tidak melulu bersandar pada pembangunanisme yang lebih berwatak teknokratis dan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata.
3. Mendukung sikap tegas Presiden Joko Widodo yang tidak memberi ruang toleransi bagi tindak pidana korupsi.
4. Mendukung pembubaran FPI sebagai bagian dari tindakan tegas terhadap segala bentuk intoleransi dan berbagai bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sikap ini diperlukan dalam rangka menciptakan Indonesia yang rukun dan damai, serta membangun demokrasi yang sehat. Demokrasi tidak mungkin terselenggara jika kelompok-kelompok pendukung kekerasan dibiarkan eksis di ruang publik.
5. Menggalang aksi solidaritas antar sesama organisasi masyarakat sipil untuk mendukung upaya pemerintah guna memastikan bahwa segala bentuk ujaran kebencian, intoleransi, radikalisme dan terorisme harus dikutuk sebagai musuh kemanusiaan. Lebih lanjut kerja-kerja edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya toleransi sebagai nilai yang melekat dalam budaya bangsa Indonesia kembali harus diintensifkan sebagai cara menihilkan berkembangnya gerakan intoleransi.
6. Merekomendasikan pemerintah untuk tetap bersandar pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah dari lembaga otoritatif dalam melaksanakan vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan memastikan asas keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi.[]