Senjakala Dunia
Kerlip lilin di pojok ruangan, menambah angkernya suasana. Aroma putus asa dan kekerasan melingkupi ruangan yang hanya cukup untuk duduk, berdiri dan berbaring itu.
Samar-samar tampaklah bayangan seseorang yang lagi duduk bersandar dinding ruangan. Pandangannya menerawang jauh, kosong tak bermakna. Bajunya lusuh. Sudah hampir 5 tahun ini ia harus jauh dari istri dan anaknya yang masih kecil. Ia mendekam di sel sempit tersebut lantaran sebuah kejahatan yang dikenal sebagai extra ordinary crime.
Lima tahun yang lalu, Pak Udin sebut saja namanya demikian, berada pada masa kejayaan ekonominya. Pak Udin memiliki usaha sendiri yang bergerak di bidang layanan kesehatan dan obat – obatan. Hasil dari usahanya tersebut ditabungnya hingga pada titik ia bisa membangun rumahnya sendiri.
“Alhamdulillah, ya bu, kita bisa membangun rumah sendiri”, rasa senang terpancar dari wajah Pak Udin.
“Ya pak, alhamdulillah. Di samping itu, relasi usaha kita semakin luas”, istrinya juga merasa bahagia atas karunia yang diterima oleh sekeluarganya.
Keadaan yang jaya itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah nestapa.
Suatu sore, datanglah dua orang yang berpenampilan parlente datang menemui Pak Udin di tokonya.
“Sore pak, ini kami berniat menawarkan kerjasama ke bapak”, ujar salah seorang dari mereka berdua.
“Kerjasama apa?” timpal Pak Udin.
“Begini pak. Usaha bapak ini sudah sedemikian pesat. Kami sebuah perusahaan produsen obat-obatan akan memasok obat-obatan ke toko bapak ini. Anda tidak perlu ambil sendiri. Keuntungan besar pak. Sedangkan untuk pelunasan bisa diangsur, pak”, penjelasan yang meyakinkan kedua orang tersebut sepertinya bisa cukup meyakinkan Pak Udin.
Pak Udin membicarakan tawaran tersebut dengan istrinya. Setelah menimbang untung ruginya, keduanya sepakat untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan tersebut.
Benar saja. Omzet usaha Pak Udin mengalami kemajuan pesat. Apatah lagi tidak keluar ongkos transportasi pengambilan produk obat dari perusahaan. Sungguh kemudahan rizqi yang berlimpah dari Alloh SWT.
“Tok…Tok…Tok…, permisi pak”, suara orang dari depan pintu.
“Siapa di luar?”, Pak Udin penasaran. Kok malam – malam begini ada yang mengetuk pintu.
“Kami dari kepolisian…”, penjelasan tersebut bak petir menyambar di malam gulita.
Rasa – rasanya jantung Pak Udin berhenti berdenyut untuk sementara waktu. Darahnya terkesiap.
“Silakan pak polisi…a..ada yang bi…sa dibantu?” kata Pak Udin terbata.
“Kami ditugaskan untuk membawa bapak ke kantor polisi”.
Mendengar Pak Udin bergidik ketakutan. Udah kebayang menderitanya hidup di dalam sel. Gelap dan pengap rasanya. Trus, bagaimana dengan nasib istri dan anaknya? mereka sendiri. Kebutuhan nafkah harian mereka dan biaya sekolah anaknya, silih berganti memenuhi ruang otaknya.
“Segera kemasi pakaian bapak secukupnya untuk bekal di tahanan!”, perintah polisi.
Istri dan anak pak udin hanya bisa menangis mengikutinya dari belakang.
“Ayah, jangan tinggalkan aku dan mama…!”, teriak anaknya sambil berusaha memegangi bahu sang ayah.
Sementara itu, istri pak Udin hanya bisa menangis tersedu. Wanita itu rasa tidak percaya atas kenyataan yang menimpa suaminya.
Kini, di ruangan tahanan, Pak Udin menjalani hari – hari sendirian.
“Assalamu’alaikum…”, Pak Udin ingin menelpon teman lamanya yang dulu teman satu kampusnya.
“Wa alaikum salam..ini siapa ya?” tanya temannya di ujung telpon. Panggil saja namanya Pak Hari.
“Aku Pak Hari…Udin”, Pak Udin menegaskan agar segera ia bisa mengobrol dengan temannya tersebut.
“Alhamdulillah, gimana kabarnya pak Udin ini?” tanya Pak Hari penasaran akan keadaan teman lamanya tersebut.
“Baik Har…aku sekarang berada di sel tahanan hampir 5 tahun”, jelas Pak Udin.
“Masya Alloh kok bisa?” Pak Hari jadi penasaran ingin tahu latar belakang temannya ini bisa masuk tahanan.
“Aku mengambil banyak pelajaran Har.
Aku sempat jauh dari Alloh dan Islam hingga beberapa tahun.Aku terjebak dalam penjualan dan pembelian obat-obatan yang tidak berijin dari sebuah perusahaan. Memang sih aku bisa dapat pemasukan dana yang cukup besar. Sekarang aku sadar bahwa harta yang banyak tidak menjamin keberkahan dan kebahagiaan”, Pak Udin menunduk lesu. Tiba – tiba rasa sesal menyusup dalam kalbunya. Ditambah lagi kalau ia teringat kepada anak istrinya di rumah. tidak ada sanak keluarga yang tinggal di Jakarta. Pak Udin tidak henti-hentinya berdoa dalam tiap sujud panjangnya, agar Alloh mengijinkannya untuk tinggal bersama istri dan anaknya kembali.
Senja merah itu seolah menjadi saksi akan hari-hari yang dijalaninya di sel tahanan. Semburat merahnya menjadi tanda akan kekerasan yang dirasakannya selama menjalani hukumannya.
Pak Udin berharap ini adalah senja kehidupannya yang membawa keberkahan atas umurnya. Ia masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, semakin dekat dengan Alloh SWT. Ya, sebelum senja itu benar-benar berubah menjadi kegelapan malam selamanya.
Penulis: Ainul Mizan, tinggal di Malang