Guru Harus Melek Sastra
Seorang murid datang ke sekolah kemudian sampai di sekolah dia masuk kelas. Tak lama bel pun berbunyi, 5 menit kemudian guru pun masuk ruang kelas. Kurang lebih 2 jam pelajaran murid tersebut bosan, akhirnya dia pun keluar ruangan sebelum jam istirahat. Setelah itu, murid tersebut tidak masuk ke kelas lagi malahan nongkrong di kantin bu Tini. Seketika bu kantin itu mengajak ngobrol murid tersebut. Dan katanya, “Bosen di kelas, nggak asyik bu”.
Begitulah anak-anak di sekolah, mereka lebih open dengan ibu-ibu di kantin daripada para guru mata pelajaran atau guru BKnya sendiri. Entahlah, kenapa bisa terjadi hal demikian. Cerita pada paragraf di atas bisa benar, bisa tidak. Tetapi, apa yang bisa diambil dari situ? nilai apa yang ada dalam peristiwa itu?
Guru = digugu dan ditiru
“Siapapun dia pasti butuh ilmu, belajar apapun pasti membutuhkan guru”
Sehebat apapun manusia saya yakin dia dilahirkan oleh ibunya. Dan dia memiliki ayah dan ibu. Sekalipun ada anak yang memang ditinggal ayah dan ibunya atau pun hanya salahsatu. Nah, ketika kita menelisik hal-hal di sekitar kita (terutama di dunia pendidikan) saya yakin akan banyak cerita di sana. Suka, duka, lucu, kocak, tragis, dan lain sebagainya. So, “Guru Harus Menulis”!
Kenapa menulis? ya, aktivitas menulis tentunya berhubungan baik dengan ‘Membaca’. Membaca cuaca; membaca suasana; membaca alam semesta; membaca fenomena; membaca buku dan seterusnya. Hal demikian yang nantinya dapat merangsang setiap guru maupun murid untuk semangat belajar dan menjadi pribadi-pribadi kreatif serta bermartabat. Sehingga, kepekaan pun tambah terasah.
Setiap Guru adalah Murid, Setiap Murid adalah Guru
“Setiap Guru adalah Murid, Setiap Murid adalah Guru”
Ketika semboyan itu didengungkan, lalu dipahami serta dipraktekkan lambat laun guru dan murid akan saling menghormati, menghargai tanpa paksaan. Percaya tidak percaya memang bikin penasaran, bukan? maka itu, memang perlu dipraktekkan pelan-pelan. Kita akan flash back teori-teori para ilmuwan. Bahwa, manusia memiliki sifat berkuasa, ingin menang sendiri (egois). Mereka ingin diakui di masyarakat serta dapat diagungkan seperti halnya posisi raja/ ratu di istana (dalam film-film misalnya).
Setiap Peristiwa adalah Cerita
Hampir di event-event kecil atau besar, pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana mencari ide? Hayooo, gimana…
Pertanyaan itu kerapkali muncul pada pertemuan-pertemuan sastra, diskusi-diskusi kecil mengenai literasi. Maka itu, kudu percaya bahwa ‘Setiap Peristiwa adalah Cerita’. Jadi, dengan kebiasaan kita membaca, menulis dan mendengarkan pada akhirnya akan lahir sebuah ide bahkan rentetan ide. Sekalipun peristiwa-peristiwa sederhana, namun bila kita kemas secara rapi, detail dan dapat diuraikan dengan jelas (diagram pohon) maka akan banyak karya yang lahir dari pikiran kita. Wallohu a’lam bisshowab.
Penulis: Yanwi Mudrikah, lahir di Banyumas, 12 Agustus. Bergiat di Komunitas Sastra Gubug Kecil Indonesia. Saat ini berprofesi sebagai Dosen Tamu di Perguruan Tinggi Swasta di Cilacap. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional. Email: [email protected]