Ayat-ayat Sunyi
/1/
Musim hujan hanya datang
Satukali dalam perjumpaan
Ketika kemrau menggugurkan
Tangkai mimpi, dan engkau
Cepat pergi, Terdiam di sudut sepi.
/2/
Demikian engkau perjuankan
Sabilah angan, dengan kelopak
Mawar di halaman, tanpa tau,
Bahwa angin telah menunggu
Di pemetang jalan bisu.
/3/
Lihatlah burung-burung rekah
Dalam tatapanku, hinggap di kali,
Di mana kesempatan biasa berdiri,
Untuk menyambut luka di Rahim
Pagi, lalu keman hilangnya aroma
Bayang, ketika tatapan mengepal
Di sepenjang pertemuan.
/4/
Akhirnya masih saja kita bicarakan,
Perihal sebiji luka di tanah rantau,
Serupa karang di pinggir lautan
Keduanya semakin pelik kita rasakan.
/5/
Maka muntahkan bayanganmu
Sebab kesejatian hanya milik rindu
Angin dan hujan terus berjenjang
Melafadkan arti kebohongan.
Lubtara, 2019
Dongeng Rindu Buat Laura
Laura. musim-musim telah bertandang
Dalam tatapanmu, menyimpan asin airlautan
Dengan sirip ikan-ikan yang menjelma kupu-kupu,
Aku sangka mata bening itu, adalah cahaya bintang,
Yang memaksaku agar segera kempali pada angan,
Berapa nasip sudah aku arsip, dari warna-warna daun
Sampai kepada yang rabu, selalu aku alirkan
Kesepanjang sungai, sehingga jatuhan-jatuhan luka
Sangat gampang untuk berkilau.
Tak ada yang lebih indah, kecuali
Aroma tanah yang sering basah, menakwil
Keraguan seorang pengelana, ketika
Kesampurnaan hanya bertandang di kerumunan doa.
Lubtara, 2019
Jalan Menuju Rindu
Gaun merah, adalah tali sejarah, Sebelum
hujan-hujan turun, Merapal luka dalam kampung
Kembang dari suluk ingatan, Memancarkan kesunyian,
Bercerita tentang seorang perempuan, yang belajar
Mengubur senja di tanah garam.
Barangkali hujan tak kan turun malam ini
Sebab di balik mimpi pohon, angin bersiur
Seperti mengutuk embun menjadi kasur,
Sementara di sepanjang jalan, trotoar terdiam,
Melihat sepesang kelelawar yang sedang berciuman
Lubtara, 2019
Arsip Januari
Selepas hujan turun, membasahi rumah tua
Yang bocor dalam dada, angin meniup kelopak
Mawar, dengan tiupan januari yang kedinginan
Akankah? Malam-malam masih bernoda
Dalam senyummu, seperti kebisuan waktu
Yang menuliskan angka rindu, sementar bekas
Bayang-bayang masih terikat pada masalalu,
Aku terlalu pasra mengendari malam
Diam adalah jalan satu-satunya
Dari pada ramai, sebab kesunyian tetap
Kita pertahan kan, walau tidak
begitu indah untuk di kenang.
Lubtara, 2019
Purnama Awal Tahun
Siuran angin tenggara, sepeti berbisik kepadaku
Mengabarkan dingin hujan malam purnama
Yang tiba-tiba jatuh dengan sebungkus roti
Dimija makan, dan membangun kan kucing
Yang sedang bermimpi jadi anjing.
Janagan-jangan purnama itu akan menyinari
Tulang namaku, nama yang dilahirkan di kota
Tua dengan aksara-aksara indah dan bercahaya,
Di mana debu-debu jalanan
Tetap percaya dalam pengelanaan
Merubah diri jadi basah, dan kembali
Pada asalmula ia merabah.
Lubtara, 2019
Revolusi Cinta
Akupun tak pernah menyangka
Bahwa kebencian adalah nyawa,
Nyawa bagi anak-anak rindu
Di setiap waktu yang telah berlalu,
Dari ladang ibu
Tanah basah jadi abu
Kerontang dalam tatapan
Ketika hujan membawa kebosanan
Namun sekarang
Debu tak dapat bertalu
Ia hanya tau pada hakikat mata
Setelah keterasingan menyentuh luka.
Lubtara, 2019
Pesan Diam
Tiada persembahan untukmu
Kecuali riak rasa di kamar bisu
Langit kamar yang merahasiakan lampu
Ia lebih cermat menyampaikan cahaya wajahmu
Tak pernah aku sangka
Debu-debu di meja tua
Rupanya telah mengutuk suara
Suara dari tangis perawan rantau
Yang pulang dengan bayi dalam genggaman.
Lubtara, 2019
Pertanyaan Pada Malam
Pada sebaris alismu yang gelap
Kutanyakan pada malam
Perihal misteri rindu di tubuh api
Akankah tiada cahaya selain sunyi
Selalu asmara yang memaksa
Pada percakapan di balik rasa
Terang dan kedap
Adalah bisikan dalam harap
Adapun rindu sering berdiskusi
Bertanya di antara beberapa penantian
Yang telah tunbang di tengah malam
Hanya tanganku yang tak pernah sampai
Untuk merahasiakan bayang-bayang
Ketika malam mulai bertanya kesejatian
Dan engkaupun sudah jauh menghilang
Di telan kabar yang baru aku dengar
Lubtara, 2019
Perang Kabar
Ketika malam telah melahirkan
Tentang kabar kelam dari masa silam
Anginpun mulai berderai
Menyimak nasib dalam perantauan
Pedang-pedang kata
Yang selalu di tancapkan pada kabar
Mekar dalam perasangka yang pudar
Megarsirkan warna palsu
Di pertengahan jalan ragu
Akhirnya aku temukan juga
Peta suara di lubuk kesakitan
Ketika mulut-mulut perempuan
Tiada bedanya dengan pertengkaran.
Lubtara, 2019
Asmara yang Tersesat
Sejak rasa kembali menyekat
Pada sebongkahan awan yang pekat
Aku pun telah tiada
Dalam kebencian pesona cinta
Kegelisahan yang aku kawinkan
Di antara bayang-bayang dan diam
Rupanya telah berwarna
Pada cahaya menjelang purnama
Seharusnya kita selalu lebih awal
Dalam memaknai garis rindu
Sebab keterasingan bagi waktu
Tiada lain hanyalah bisu
Lubtara, 2019
Tanah Janji
Di sanalah, kita telah menanam harkat rasa
Menyiramnya dengan aliran sunyi
Menjelang matahari lahir di Rahim janji
Debu-debu rindu
Seperti berbisik kepadaku
Tentang kemana aliran hujan di kotamu
Yang pernah kita tenun dalam warna semu
Bolong-bolong cinta,
Retak-retak asmara
Semua telah bernada pada seliris suara
Untuk kemudian berkata;
Tentang kepalsuan janji
Di sepanjang tanah ini.
Lubtara, 2019
Surat Hujan
Kebisuan yang aku sulam
Pada jatuhnya hujan di halaman
Telah mendinginkan kelopak mawar
Di sepanjang angan yang mulai tawar
Angin begitu pandai masuk di jendela
Berangsur menyimpan bening rasa
Sebelum nama-nama cahaya
aku hafalkan sebagai doa
Kemudian dari bening malam
Daun-daun jatuh mengiringi hujan
Mengirim surat perpisahan
Dalam perasangka di luar dugaan.
Lubtara, 2019
Penulis: BJ AKID, Lahir Di Lebbeng Barat Pasongsongan Sumenep, Madura, Menulis Puisi Dan Cerpen. Saat Ini Masih Tercatat Sebagai Santri Pondok Pesantren Annuqayah. Menjadi Ketua Komunitas Laskar Pena PPA Lubtara, Sekaligus Pengamat Literasi di Sanggar Becak dan Komunitas Surau Bambu.