NUSANTARANEWS.CO – Meski beli 147 jet tempur, AS tolak Jepang menjadi mitra program F-35. Jepang secara resmi telah meningkatkan jumlah pesanan jet tempur F-35 Pasukan Bela Dirinya – yang sekaligus menjadikan negara matahari terbit itu sebagai pembeli terbesar kedua jet tempur buatan Lockheed Martin, setelah Amerika Serikat (AS). Pembelian ini merupakan bagian dari program rencana pertahanan baru Jepang untuk mengantisipasi peningkatan kekuatan militer Cina di Pasifik.
Pada pertengahan Desember 2011 Kementerian Pertahanan Jepang telah memutuskan bahwa F-35 Lightning II buatan Lockheed Martin akan menjadi jet tempur generasi berikutnya bagi Angkatan Udara Bela Diri Jepang (JASDF). Untuk tahap pertama, dengan anggaran 2012, JASDF akan memperoleh total 42 jet tempur F-35A untuk menggantikan F-4 Phantom pada tahun 2024. Sedangkan untuk jangka menengah program ini akan meliputi penambahan 105 F-35 dengan 63 model F-35A dan 42 model F-35B.
Selain F-4, Jepang juga ingin menggantikan setengah dari 200 F-15 Eagle-nya karena tidak dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, JASDF bermaksud menggantinya dengan 105 F-35, sambil meng-upgrade 100 F-15 yang tersisa.
Presiden Donal Trump bahkan telah mengabarkan langusng terkait pembelian 105 F-35 tambahan mencakup varian F-35A yang lepas landas dan pendaratan konvensional serta F-35B yang bisa lepas landas pendek dan pendaratan vertikal. Menurut rencana, sekitar dua skuadron FST-35B VSTOL akan ditempatkan di dua kapal induk kelas Izumo, sedangkan 10 sisanya ditempatkan dipangkalan apung lainnya. Dengan demikian diharapkan dapat mengimbangi dua kapal induk baru Cina yang diperkirakan dapat membawa 24 pesawat tempur J-31, dan beberapa lusin pesawat tempur lainnya.
Pasukan Bela Diri Jepang berharap dapat memenuhi target pengadaan total 147 jet tempur F-35 pada tahun 2030. Sampai Maret 2019, Pasukan Bela Diri Jepang telah menerima 13 F-35A yang ditempatkan di pangkalan Misawa, di Prefektur Aomori, Jepang utara. Untuk pengadaan 42 jet tempur paket pertama tersebut, pemerintah Jepang telah menggelontorkan lebih dari US$ 4 miliar.
Pemerintah Jepang dalam kesepakatan pembelian F-35 menginginkan sebagian besar pesawat diproduksi di dalam negeri dengan lisensi Mitsubishi, termasuk pembuatan beberapa komponen dan sub-komponen untuk F-35-nya.
Pada Juni 2019, ditengah perselisihan AS dan Turki terkait F-35 Turki, Jepang telah mengajukan diri kepada Washington untuk menjadi mitra penuh dalam program jet tempur F-35. Namun Washington menolak permintaan Jepang dengan dalih bahwa hanya kelompok pertama dari investor F-35 yang berhak atas kemitraan, dan aplikasi kemitraan telah berakhir pada 15 Juli 2002.
Sebagai informasi, ada dua tingkat negara anggota untuk program F-35, tingkat pertama terdiri dari mereka yang bergabung dengan program sejak awal, termasuk Australia, Kanada, Denmark, Italia, Belanda, Norwegia, Turki, Inggris, dan lainnya yang membentuk rantai industri global jet tempur F-35. Sedangkan level kedua terdiri dari pengguna F-35 dan tidak terlibat dalam R&D seperti Israel, Korea Selatan, Belgia, Jepang, dan lainnya.
Terkait perselisihan dengan Turki, kontrak kemitraan perusahaan-perusahaan Turki dalam program ini akan diakhiri pada awal tahun 2020. Ada delapan perusahaan Turki yang menyediakan 844 jenis suku cadang dan komponen untuk jet tempur F-35 yang bernilai milyaran dolar.
Pemerintah Jepang merasa kurang puas dengan kesepakatan pembelian F-35 karena hanya mendapat 40% produksi dari 300 bagian utama F-35. Padahal ketika pengadaan F-86 (Sabre), F-4 (Phantom), F-15 (Eagle) dan jet tempur lain dari AS, bisa mendapatkan lisensi transfer teknologi. Tidak mengherankan bila Jepang menuntut ingin menjadi bagian dari mitra penuh program F-35.
Jepang sangat ingin mendapat lebih banyak teknologi inti sebagai langkah penting untuk memproduksi peralatan secara mandiri – terutama untuk pengembangan teknologi jet tempur siluman Mitsubishi F-3.
Namun bayangan Perang Pasifik tampaknya masih menghantui AS ketika pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero Jepang menghajar pesawat-pesawat tempur Amerika dan sekutunya. Sejarah inilah yang mungkin membuat AS menyisihkan sekutu Asianya seperti Jepang, Korea Selatan, bahkan Israel dalam rantai produksi teknologi canggih. (Agus Setiawan)