Cerpen

Cerpen Ra Paradime: Matahari

matahari, cerpen, rasikh fuadi, ra raradime, cerpen ra raradime, kumpulan cerpen, cerpen indonesia, cerpenis, nusantaranews
Matahari. (Foto: nusantaranews.co/Eriec Dieda)

Cerpen Ra Paradime: Matahari

Istriku mati pagi ini. Dan tak ada yang kurasakan apapun. Berjejal manusia-manusia tak ku kenal menyambangiku, menyentuh punggung dan tanganku seraya berkata “Ikhlaskan ya,” dan sedari awal telah kuikhlaskan semuanya yang ada pada diriku semenjak aku mencintainya.

Kurasa bukan hal yang aneh jikalau ada orang yang memang siap untuk kehilangan segalanya, benar-benar kehilangan segalanya. Hanya saja, orang-orang tidak akan bisa menerima hal itu. Setidaknya, untuk kehilangan itu, keluar mata yang berkaca-kaca agar orang-orang merasa aku kehilangan. Tapi aku tidak kehilangan.

Karena aku seperti benalu yang hidup di bunga kenanga. Dia adalah segalanya di mata orang-orang. Berpendidikan, berparas cantik, berkarier cemerlang, juga baik. Saat orang-orang tahu dia memilihku untuk menjadi pasangan hidupnya, muka mereka seperti melihat muka tsunami menghampiri kamar mereka masing-masing. Ketakutan, kaget, bahkan bermuka jijik dan seperti kepercayaannya pada dunia yang rasional sudah dicuil dari hidupnya.

Sedangkan aku hanya lelaki bertubuh panjang tapi kurus, berparas lonjong, berkumis dan berjenggot yang tak pernah dicukur tapi tak kunjung panjang. Saat ia menyatakan cintanya padaku, satu-satunya yang ada di dalam pikiranku lancar terucap di mulut “Apa kau sehat?”

Jawabnya “Yang sakit ialah orang-orang yang tak tahu betapa pecintanya kau, dan betapa baiknya kau. Aku suka gaya hidupmu yang sederhana, gaya pakaianmu yang biasa, dan wajahmu yang selalu natural. Aku suka lucumu yang bukan lucu buatan, tapi alangkah lugunya kamu pada dunia ini. Aku ingin jadi pendampingmu, dan kau jadi pendampingku. Aku butuh kamu untuk melindungiku dari segala kepalsuan hari-hari, dan kau butuh aku untuk mengerti dan berjarak dari tipuan-tipuan palsu dunia ini. Dan kita akan hidup bahagia, senantiasa aman di ruang kita sendiri, yang kita cipta sendiri, untuk kita berdua.”

Menikahinya di 4 tahun lalu adalah satu-satunya peristiwa yang tak lempeng dalam hidupku. Menikahinya! Dan puluhan mata lelaki memandangku, teman sejawat dan sekantor yang begitu cemburu dan tak habis pikir lelaki semacamku mendapatkannya! Ibu dan ayahku tiada banding senangnya saat Dona kupernalkan kepadanya. Bahagianya mungkin melebihi saat aku lahir kedunia ini. Dan tanpa pikir panjang, ibu dan ayahku berani menggelontorkan uangnya untuk pernikahan kita. Kata ibu dan ayahku “Tidak pantas orang secantiknya mendapatkan pesta nikah yang biasa-biasa saja”, iya, dia tidak pantas yang biasa-biasa, kalau aku pantas-pantas saja.

Dan kami menjalani hidup pernikahan dengan 2 bulan cuti sebagai tanda kasih bos kepada kami, bukan, kepadanya. Dona adalah sekretaris bos. Kukira mana mungkin bos mau kehilangan Dona di meja depan ruangannya, yang selalu masuk memberi kabar ini-itu dan membawakan secangkir kopi dan aneka makanan. Aku berekspektasi cuti paling lama 1 minggu. Dan kelelahanku menjadi-jadi karena harus merencanakan bulan madu selama 2 bulan.

Bukan hal yang mudah mendapatkan istri cantik nan jelita sepertinya. Saat-saat aku berada di Bali dan mendapati banyak orang-orang (indo maupun bule) melihati kami, aku merasa seperti supir pribadinya. Dona bukan tak sadar, ia sadar betul dan sekali cekikikan mendapatiku tertunduk malu jika dilihat orang. Tapi ia mengangkat percaya diriku dengan pegangan tangannya yang mesra, pelukannya yang hangat, tanpa malu di depan orang-orang.

Langsung saja kuringkas, intinya, 2 bulan kesana-kemari mengelilingi Indonesia seperti surga. Surga alam beserta bidadari pendamping.

Sesaat sebelum kita pulang ke Ibukota, dalam dini pagi yang sunyi di Seed Resort Pulau Rote Nusa Tenggara Timur, ia berujar padaku.

“Besok kita sudah pulang, dan menjalani lagi hari-hari biasa. Ngantor. Aku menemani bos, mengurusi seluruh jadwalnya. Dan kau mengurusi pajak dan keuangan. Kita bakal jadi robot-robot perusahaan, dan hanya bakal jadi manusia setelah jam kerja usai.”

Dengan blus warna biru dan hot pants, ucapannya mengenduskan nafas panas di leherku.

“Mungkin yang beda ialah, orang-orang akan berbeda lagi bertingkah laku denganmu. Karena aku sudah jadi suamimu. Pasti akan ada banyak orang menjahiliku soal..soal..yang dilakukan suami-istri.”

“Malam pertama? Kenapa susah untuk bilang malam pertama? Coba bilang.”

“Malam.. pertama. Malam pertama kita kelelahan menerima tamu sampai jam 11 malam, dan aku mendengkur seperti kerbau di sampingmu.”

“Kalau begitu malam kedua.”

“Ah… Iya, malam kedua.”

Sebagai suaminya yang baru berumur 2 bulan, aku mendapati sisi kanak-kanak Dona yang mencuat seperti bendungan runtuh. Orang-orang yang mengenalnya sebagai perempuan dewasa, cekatan dan cerdas serta cantik, tidak akan pernah tahu betapa kekanak-kanakannya dia. Dan seleranya yang begitu aneh. Kenapa, lantaran ia lebih memilih lagu Agung Hercules dari pada The Beatles. Katanya, lelaki yang tak tahu bahwa ia lucu itu lucu, itulah lelaki murni.

“Kalau aku tak lucu lagi?”

“Kamu bukan kamu” “Kalau aku tak cantik lagi?”

“Kamu ya kamu. Mana ada kamu bukan kamu. Kamu ya kamu.”

“Masih cintakah kau kalau aku tak lagi cantik?”

“Masih cintakah kau kalau aku tak lagi lucu?”

Bukannya ia menjawab boomerangku dengan pertanyaan-pertanyaan kreatif lain, ia malah mendiam. Tatap matanya jadi kosong, sesekali serius, dan mendengus dalam sambil melepaskan rengkuhannya padaku dan memilh memeluk guling. Duh guling, kenapa aku cemburu kepada guling.

“Ja, kamu tahu ga apa yang paling kutakutkan selama ini? Waktu aku kecil, aku pernah tertiban pohon yang lumayan besar, besar karena waktu itu mungkin aku baru setinggi perutmu. Hujan, deras, dan matahari hampir tenggelam. Masalahnya, hari itu aku menolak ikut bapak dan ibu untuk pergi bersamanya ke kota, – waktu itu aku sedang di desa, rumah nenekku-, dan nenekku sudah lumayan pikun. Jadi sekencang mungkin aku menangis tidak ada yang mendengar. Yang kurasakan cuman kaki dan punggungku tak bisa bergerak, aku tertindih salah satu dahan yang besar dan rimbun. Penglihatanku agak terhalang dedaunan. Satu-satunya yang kurasa menemaniku ialah sinar senja. Matahari. Aku sangat ingat bagaimana matahari menerangi dedaunan tepat di depan mataku itu, yang berjalan sangat pelan, seakan-akan ingin menghiburku. Jalannya pelan dan tak mau meninggalkanku.”

“Tapi yang namanya malam akan selalu datang. Aku tak mendapati matahari benar-benar tenggelam karena aku pingsan, aku tersadar sudah di rumah sakit bersama nenek ibu dan bapak. Tapi kata bapak aku tidak pingsan, ia mendengar tangisku kencang-kencang di kebun, lantas ia lari terbirit-birit mendapati di bawah pohon itu jam 8 malam. Aneh ya. Aku tak ingat apa-apa. Kata orang, adakalanya otak kita tidak akan bisa mengingat apa-apa tentang suatu kejadian, memori itu benar-benar hilang, atau mungkin ditimbun sebegitu dalamnya oleh otak kita, karena otak kita tahu kita belum kuat menerimanya. Defense mechanism manusia yang paling purba.”

“Semenjak itu aku jadi agak takut dengan tenggelamnya matahari. Tahukah kamu apa yang kulakukan setelah dari kantor? Kalau hari kian sore, aku cepat-cepat masuk ke kamar, menutup semua jendela dan gorden agar tak mendapati matahari kian tenggelam. Semua lampu sudah menyala sedari jam 4 sore.”

Yang kusadari semenjak kami berbulan madu di berbagai tempat, yang kami cari-cari ialah matahari terbit. Bukan matahari terbenam.

“Berarti, kalau melihat matahari terbit itu jadi kebahagiaan buatmu? Pantes kamu agak maksa-maksa untuk cari matahari terbit.”

“Iya” “Ja”

“Iya?”

“Menurutmu , matahari itu gimana?”

“Gimana maksudnya? Bulat?”

“Bukan. Maksudku, menurutmu, matahari itu gimana? Bukan. Maksudku, apa matahari itu kebahagiaan buatmu atau gimana?”

Aku bukan tipe orang yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan metaforis yang hampir filosofis seperti ini.

“Menurutku, matahari itu gagah karena ia menyala. Indah karena ia yang bisa bikin kita lihat yang indah-indah, atau pun bukan. Juga, bulat.”

“Aku pengen seperti matahari. Indah atau cantik. Gagah atau siap membantu, melayani.”

“Setahuku sih, bulan juga indah, juga gagah, juga bulat. Kamu mendiskriminasi bulan?”

“Karena bulan ada diantara tiada. Beda dengan matahari. Dia jelas-jelas ada tapi tak ada yang benar-benar mau melihatnya.”

“Kalau begitu kamu bulan dan matahariku,” kuimbuhi dengan cubitan cilik dipipinya.

“Berarti kamu siap menerima aku yang benar-benar ada, dan aku di antara tiada.”

Sedari itulah aku terima segala pernyataan metaforisnya mentah-mentah. Di kala hidupnya dia adalah matahari, yang hanya aku yang benar-benar melihatnya dan tahu pasti bagaimana panas dan gejolaknya. Kini, ia adalah bulan. Orang-orang menganggap dia tiada karena jasadnya sudah tersemayam di dalam tanah. Tapi ia ada.

 

 

Catatan: Ra Paradime adalah nama pena dari Rasikh Fuadi, seorang cerpenis asal Kota Salatiga, Jawa Tengah

Related Posts

1 of 3,080