NUSANTARANEWS.CO, Purwokerto – Buku kumpulan puisi bertajuk ‘Pejalan’ karya penyair senior, Dharmadi dibedah dalam forum Blak-blakkan Sastra untuk Tanah Air (Blakasuta) edisi-14 di Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto pada Minggu (21/7) lalu.
Forum Blakasuta yang digawangi Komunitas Pondok Pena, dihadiri oleh penulisnya sendiri Dharmadi, santri, penulis-penulis muda Purwokerto Irna Novia Damayanti, Wahyu Budiantoro, Faiz Adittian, Efen Nurfiana dan lain-lain.
Pengasuh Pesma An Najah, KH Mohammad Roqib yang baru-baru ini juga dilantik menjadi Rektor IAIN Purwokerto, mengatakan bahwa santri perlu dibekali wawasan kepenulisan dalam hal ini sastra yang memiliki keunikan bahasa dan dalam penyajiannya yang sedemikian rupa. Hal tersebut merupakan bagian dari olah jiwa, olah pikir dan olah rasa.
“Tidak ada kata yang sama. Sekalipun kata itu sama dikatakan dalam situasi dan intonasi yang berbeda maka akan memiliki makna yang berbeda. Dalam hal puisi atau ungkapan kata keseharianpun demikian, bedanya adalah sentuhan kata itu pada spiritualitas pembacanya,” kata KH Mohammad Roqib.
Roqib mengapresiasi kehadiran Dharmadi dalam forum tersebut dan berharap akan memantik santrinya untuk lebih sungguh-sungguh dalam olah-olah. “Karena menurut beliau ujung dari setiap olah-olah adalah seni,” ujarnya.
Dharmadi tidak memberikan strata pada puisinya
Ketua Komunitas Pondok Pena, Hafizh Pandhitio yang didapuk menjadi pembedah buku ‘Pejalan’ mengulas puisi dari segi gaya kepenulisan, sebagai pintu masuk ke ruang batin dalam puisi-puisi Dharmadi.
“Puisi bisa saya katakan menjadi sesuatu yang bebas namun serius. Bebas di sini maksudnya adalah kita bebas membuat ekspresi-ekskpresi tertentu, yang kadang kala juga keluar dari kaidah penulisan bahasa secara umum. Pak Dharmadi secara konsisten dalam penulisan puisinya menggunakan huruf kecil semua, tanpa menggunakan huruf kapital baik pada judul maupun bagian isi puisinya,” ujarnya.
“Ini menjadi karakter kepenulisan Dharmadi yang bisa diartikan bahwa Dharmadi tidak memberikan akhir pada proses kepenulisannya dan ingin terus menuliskan puisi sepanjang hidupnya, seperti perjalanan hidupnya yang tidak bisa dihalangi oleh usia. Sosok kederhanaannya tidak membuat strata dalam satu huruf di karya-karyanya. Demikan pula kehidupan beliau, ini bukti puisi bisa memberikan gambaran siapa beliau bagi yang bisa membacanya dan mendalamainya,” dia menambahkan.
Sementara itu, Dharmadi menanggapi ulasan Hafizh Pandhitio, mengatakan memilih menggunakan huruf kecil semua dalam penulisan puisi-puisinya karena Dharmadi merasa bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sekalipun pada diksi ‘Tuhan’ dalam puisinya, ia tidak menggunakan huruf kapital. Sebagaimana yang dikatakan oleh Wahyu Budiantoro ketika memberikan tanggapan terhadap puisi-puisinya Dharmadi.
“Beliau dalam puisinya, sekalipun menggunakan diksi Tuhan pun memilih tidak menggunakan huruf kapital, karena Pak Dharmadi ini selalu ingin bersahabat dengan Tuhan,” imbuhnya.
Buku ‘Pejalan’ adalah 70 tahun perjalanan Dharmadi dalam berkehidupan. Dharmadi menyampaikan rasa syukurnya di usia 70 tahun masih diberi kesempatan untuk bersastra, Dharmadi ingin abadi dalam puisinya. Maka usia tidaklah menjadi alasan beliau untuk tidak berkarya.
Pewarta: Iis Sugiarti
Editor: Eriec Dieda & Achmad Sulaiman