Renung Datang di Ujung Senja
Karya Rina Rimadona
Sekilas tanggis menembus
Berkeliaran menanyakan kehadiran awan dan bulan
Pada senja bertanya dimana dera luka
Paras halus terhapus
Jeritan kenangan memberikan jawaban
Asa setia hanya bisa tertawa
Ditepi pagi merajai lagi sepi
Ketika raga bersua dan bersuara
Tenggelam dan semakin kelam
Menggayuh bertabuh lirih
Terlihat dekat kerabat mengkhianat
Di Ujung Senja
Senjanya di putar dalam balik bambu
Merangkul seteguk air hangat yang mendidih
Untuk menopang tenaga baja bernyala lampu
Kicau fajar menggantar pagi
sambil mengisi perut sebatas lidi
Dikecap gumpalan nasi hati-hati
Hingga lentera jendelanya terasa mati
Setengah badan cahaya masuk ke pekarangan
Mulai langkah kaki sepi menapak nasib
Pergi dalam Harapan angan
Dengan menjelajahi kaki-kaki karib
Senantiasa menguntit dari samping
Dengan topi setengah caping
Tumpas benalu-benalu bersarang hama
Dengan ajudan besar kaki-kaki karib
Melaju dengan tanguh dan pelan
Ilalang kecil juga ikut lihatnya akrab
Memegang segumpalan bau busuk kotoran
Sesaat badan cahaya masuk utuh
Tangan halus bidadari memberi seteguk dahaga
Dengan darah keringat meluncur lirih
Nikmati hasil kerja setengah topi caping
Dan ajudan kaki-kaki karib
Lalu setenggah mengucap renung
Memandanggi lembut lilin nasib
Angkuh
Riwayat mulut menggeliat kawat
Terlukis iblis menggais halus
Tapak sajak sejenak beranjak
Laknat tepat mengikat ketat
Membungkus haus hanggus
Menarik dan mencekik jarak
Muda , tua diraba dada
Dosa berdansa mesra
Hingga mereka tak ada
Denting di Ujung Genting
Pagi senja terggambar hamparan dedaunan berkilau
Seolah menampar kumandang ranting berdendang
Aku berdiri hening bersenandung
Pelan-pelan teraba angin namun hilang
Sejenak kugengam diam
Namun terlepas oleh helaan nafas tangis
Kaki ku melangkah entah untuk apa
Memikul kata-kata yang tak pernah kudengar
Kelopak mataku tak henti terpaku di sudut rumah megah
Beralaskan ketenangan dan kepahitan
Aku terbius mungkin habis menjadi busuk
Ketika fajar tertidur binatang malam mulai berdatangan
Tak kunjung kaki tesiram darah
Hujan menggarah bergairah hingga ujung lututku
Ia turun mungkin untuk menertawakan tubuh payah ini
Seolah untuk menggiring ku masuk ke dalam rumah
Hingga fajar terbangun aku masih tertegun disini
Hingga nyata terasa rumah megah megah ini
Hanya mimpi
Namun teramat hangat disanubari
Mungkin berdiri kokoh hingga ku mati
Perhitungan
Mata binatang berbanding saling pandang
Bersatu atau malah nafsu berseru
Berbaring nyaring menerjang radang
Ulu memicu atau bertalu?
Mata benggis menggores lurus
Dalam malu termangu tak ragu memanggilmu
Kata-kata ku halus beriring habis
Aku banyak tahu jemu diburu
Dan kita bersuara pada luka
Terkapar mekar terdampar dalam sangkar
Tetapi hanya berdiri tepi mimpi
Hingga layu bertemu laju risau
Kesabaran
Kelopak sajak begerak dan saling memeluk
Membiru pulau hingga terlampau kaku
Ombak bergelepak sesak
Membeku dalam satu bisu
Berwangi melodi dalam mimpi sendiri
Karena cinta lalu setia
Menyanyi pipi lalu kembali
Hingga terasa padanya mati rasa
Dosakah?
Fajar berganti selimut dinding
Hingga mentari sulit memandang
Elok malam tak henti berkumandang
Sepasang kucing menyelinap pura-pura
Mencari ikan atau mencari dosa
Hingga kaki tak kurasa menahan dahaga
Mencari kabut asap disela-sela kepala
Seketika tongkat memutar waktu
Menjelaskan pohon dengan daun yang pilu
Ulat pun begelayut pada ranting semu
Hingga melihat rupanya ia pun malu
Belenggu
Bibir kelu deru sembabku
Menghela jiwa asa mata
Meredup sekejap ruap hidup
Menghela abadi utopia
Labirin angin menggemparkan roman impian
Ketika rahasia diaksa ramai dan dicela
Pertanyaan
Lampu meniup kepingan asa jemari
Tatapan mata menusuk dalam fikiran
Menggibas tangisan pagi
Bertanya akan semut yang menelanjangi batin
Logam kehidupan mulai menari
Tertawa renungi segumpalan tangis angin
Pengharapan
Sujud aku sembah padamu
Mengharap ibamu
Menghela tali demi tali yang kutangkap lenyap
Terowongan hidup tak kurasa bisa ikut tetap
Menopang keharuan tepat di dinding bisu
Di bawah sudut kenang ku menyeru
Sinar matahari yang kau suguhkan ibu
Tak terlihat olehku tapi mengapa hanya muka lesu
Sinar embun pada yang kau tunjukan ayah
Menjadi remang olehku mengapa hanya muka harap
Di penantian jembatan kusam
Kutunggu kau tepat jam dua
Berharap muram hilang kelam
Tetapi tak jua kau tiba
Awan pun menyelam hujan
Akhirnya kau tiba pukul sembilan
Dengan darah keringat meluncut tubuh
Kusambutnya peluk
Harap ridha ikhlas beriring
Berkumpul menjadi satu pandang
Ayah ibu jangan kau hanya diam
Katakan disini katyakan hari ini
Hingga restu datang kembali
Sengau angin namamu teta membeku