Kebencianku itu bermula pada kata dan berakhir di bibir saja
Jika hidup hanya menunggu ajal tiba
Kenapa ada yang mampir hanya untuk nyinyir dan menuding sesama sebagai kafir?
Bumi dan laut sudah berselimut plastik
Wajah perempuan desa yang dulu bersahaja kini sudah tebal bedaknya
Aku benci pada semua ketidakberdayaan ini
Kucari wajahku pada album biru masa lalu
Tapi yang kutemukan hanya cermin pecah penuh luka
Darah meleleh dari bola mata dan tumpah ke dalam ludah
Aku benci dunia yang tak berpintu
Lalu-lalang perang dan adu domba membabi-buta
Bangsa yang kehilangan keperawanannya karena syahwat adikuasa
Aku benci kapitalisme yang memperkosa bumi
Kemiskinan diternakkan dengan agitasi para mucikari
Aku benci hedonisme yang terus merayu kekasihku
Peradaban seperti inikah yang kita cari?
Aku muntah membaca buku-buku sejarah yang ditulis para penjajah
Buku sejarah yang menebarkan sampah
Aku sekarat membaca buku-buku filsafat yang ditulis orang yang sesat
Pikiran berkarat yang gemar menghujat
Aku nelangsa membaca buku-buku agama yang hanya menjual dogma
Manis di bibir tapi mendustakan agama
Beri aku petani untuk mengubur kebencianku ini
Beri aku penggembala untuk merawat rindu dan cinta
Petani yang menghargai indahnya sebutir padi
Penggembala yang tak pernah membenci kedunguan para domba
Bagaimana bisa mengajarkan akal sehat tanpa akal sehat
Mendidik berkarya tanpa ia sendiri berkarya
Hanya kompor dan abu di lidahnya
Kebencianku itu bermula pada kata dan berakhir hanya di bibir saja
Gus Nas Jogja, 2019