HukumTerbaru

IHCS Minta Pemerintah Revisi UU ITE

Ridwan
Ridwan Darmawan/Foto Istimewa

NUSANTARANEWS.CO – Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Commission for Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan, mengungkapkan bahwa pasal 27 ayat 3 yang ada dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi momok yang mengerikan bagi kehidupan berdemokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Menurutnya, “pasal karet” tersebut justru menjadi perusak tegaknya demokrasi di Indonesia. “Inilah era baru penegakan hukum sipil yang justru lebih berbobot daya rusaknya bagi tegasnya demokratisasi pasca dihapuskannya pasal hatzai artikelen di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” ungkapnya seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Nusantaranews, Jakarta, Rabu (24/8/2016).

Ridwan menyebutkan, pasal 27 ayat 3 UU ITE ini juga lebih luas cakupan atau pengaturan mengenai pencemaran nama baik atau penghinaannya dibandingkan dengan KUHP yang secara jelas bahwa perbuatan penghinaan oleh seseorang harus ditujukan langsung kepada seseorang dan merupakan delik aduan.

“Sementara perumusan UU ITE hanya menyatakan bahwa orang yang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dipidana,” ujarnya.

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Ia menjelaskan, sejauh penelitian dan penelusuran yang pernah dilakukannya pada medio Mei 2015 lalu, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara dalam sebuah diskusi di Jakarta waktu itu sudah melansir hingga saat itu sudah ada 74 orang yang jadi korban UU ITE.

“Bahkan hingga saat ini menurut berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, sudah ada 186 orang yang jadi korban UU ITE pasal 27 ayat 3,” katanya.

Oleh karena itu, Ridwan menuturkan, pihaknya mendesak kepada penyelenggara negara untuk segera merevisi dan atau membatalkan pemberlakuan pasal 27 ayat 3 UU ITE karena telah dijadikan sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat yang resah dan gelisah atas kondisi kehidupan sosial politik di sekitarnya.

Salah satu bukti sahih dan terbaru, Ridwan menambahkan, adalah upaya pembungkaman sikap kritis I Wayan Suardana (Koordinator Forum Bali Tolak Reklamasi) yang sedang gigih memperjuangkan penolakan terhadap rencana reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa di Bali, yang dilaporkan oleh Organisasi Masyarakat Pos Perjuangan Rakyat (Ormas Pospera). Salah satu pimpinan daerah Pospera Bali disinyalir sebagai salah satu Direktur di PT TWBI (investor reklamasi anak perusahaan Artha Graha) dan Ketua Dewan pembinanya adalah Adian Napitupulu (Anggota DPR RI).

Baca Juga:  Kapal Cepat Sirubondo-Madura di Rintis, Ekonomi Masyarakat Bisa Naik

“Sungguh satu pertalian antara modal dan kekuasaan telah menjadikan pasal 27 ayat 3 sebagai alat mengkriminalisasi aktivis,” ungkapnya lagi. (deni)

Related Posts

1 of 8