Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
NUSANTARANEWS.CO – Selama 2 (dua) hari, yaitu tanggal 28-29 Nopember 2018, BUMN PT. Pertamina mengadakan kegiatan Pertamina Energy Forum 2018 (PEF 2018) sebagai bagian dari rangkaian acara memperingati Hari Ulang Tahun ke-61. Beberapa isu dan permasalahan krusial d ibidang energi menjadi topik pembahasan yang disampaikan oleh berbagai narasumber yang berasal dari berbagai pelaku usaha sektor energi di beberapa negara, lembaga pembiayaan, lembaga non pemerintah (NGO) dan konsultan internasional dan pengambil kebijakan.
Selain itu, acara PEF 2018 juga dihadiri oleh beberapa Duta Besar negara sahabat, Ekonom dan beberapa Pengamat Energi yang selama ini sangat peduli (concern) atas isu dan permasalahan energi, terutama dikaitkan dengan potensi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia untuk diolah menjadi sumber energi baru dan terbarukan (new- renewable energy) dan penguasaan negara atas sektor ini melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta beberapa pengusaha nasional sektor energi.
Pemetaan Potensi
Sampai dengan Kuartal II Tahun 2018 berdasarkan laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), memang telah terjadi penurunan atau rendahnya realisasi dana investasi asing yang masuk ke Indonesia. Di satu sisi, perkembangan ini merupakan sinyal positif bagi pengembangan investasi dalam negeri yang akan mendorong kemandirian bangsa Indonesia dalam berbagai program pembangunan sektoral dan semakin menunjukkan menurunnya ketergantungan bangsa dalam permodalan investasi asing bagi proyek-proyek pembangunan. Indikasi yang terjadi menjelang berakhirnya Tahun 2018 ini tentu sejalan dengan visi Trisakti dan Nawacita Presiden Joko Widodo, terutama dalam hal kemandirian ekonomi bangsa dan negara sehingga semakin mendorong inisiatif, partisipasi serta membuka akses pengusaha dalam negeri (terutama pengusaha baru) untuk lebih berperan besar dalam investasi. Namun, di sisi yang lain masalahnya adalah, apakah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sudah memiliki kemampuan dalam mendukung pembiayaan pembangunan berbagai sektor ekonomi bangsa, terutama sekali untuk sektor energi yang membutuhkan modal sangat besar?
Baca Juga:
- Pengusaha Terus Protes Kebijakan Larangan Angkutan Batubara di Jalan Umum Sumsel
- Tantangan Kebijakan Harga BBM di Tangan Dirut Baru Pertamina “Bermasalah”
- Program Energi Baru Terbarukan Jokowi Terancam Gagal
Sebagai dasar untuk menganalisa kebijakan investasi, maka data realisasi investasi yang ditanamkan selama kurun waktu tertentu di Indonesia dapat digunakan dengan cermat dan tepat. Mengacu pada data BKPM, selama Kuartal I Tahun 2018 realisasi investasi adalah sejumlah Rp 185,3 Trilyun, dan sejumlah Rp 76,4 Trilyun dari total realisasi investasi tersebut berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Jumlah realisasi total investasi PMDN ini meningkat sebesar 11 persen dibanding kuartal yang sama pada Tahun 2017 yang hanya sejumlah Rp 68,8 Trilyun.
Namun demikian, apabila dibandingkan dengan total realisasi investasi, maka porsi investasi dalam negeri dalam kurun waktu kuartal I Tahun 2018 masih lebih kecil dibanding realisasi investasi asing, yaitu hanya sebesar 41,2 persen, sedangkan 58,8 persen masih didominasi oleh investasi asing. Walaupun masih didominasi oleh investasi asing, maka penurunan PMA ini seharusnya mendorong pemerintah melalui kebijakan yang lebih pro PMDN dan affirmative (pemihakan), terutama untuk kelompok usaha Koperasi dan UKM.
Kebijakan ini akan mampu memberi peluang sinergisitas pengusaha dalam negeri untuk meningkatkan pertumbuhan investasi dalam negeri secara massif dan dapat mengatasi penurunan investasi tahunan saat ini, dibandingkan yang berhasil dicapai pada Tahun 2017 yang sebesar 13 persen. Dari jumlah tersebut, maka porsi PMA menurun dari sejumlah Rp 111,7 Trilyun pada Tahun 2017 menjadi sebesar Rp 89,1 Trilyun pada Tahun 2018 atau turun sebesar 20,2 persen.
Sementara itu, realisasi total investasi pada kuartal III Tahun 2018 berdasar data BKPM juga mengalami penurunan sebesar 1,6 persen, yaitu hanya Rp 173,8 Trilyun jika dibandingkan dengan total investasi pada kuartal yang sama pada Tahun 2017 yang sebesar Rp 176,6 Trilyun. Penurunan realisasi investasi asing ini disinyalir terjadi oleh rendahnya realisasi investasi di sektor energi yang merupakan usaha dengan tingkat resiko tertinggi (high risk), modal yang besar (high capital) dan teknologi yang mahal (high technology). Padahal, sejak hari pertama PEF 2018 dilaksanakan hampir tak ada narasumber yang membantah bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan potensi energi baru dan terbarukan dalam menggantikan menurunnya potensi energi fosil (minyak bumi).
Dalam konteks pembiayaan sektor energi baru-terbarukan ini dan potensi sumber daya alam Indonesia yang sangat besar beragam, maka pemetaan potensinya menjadi keniscayaan. Pemetaan potensi diharapkan dapat menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan investasi sektor energi yang tepat untuk suatu wilayah di beberapa daerah di Indonesia dan memenuhi skala ekonomis (economic scale). Pemetaan potensi pembiayaan asing atau dalam negeri dan unsur ketepatan daerah yang memiliki potensi sumber daya energi baru-terbarukan akan memungkinkan terjadinya optimalisasi kerjasama dibidang energi dalam menggerakkan roda perekonomian nasional melalui pertumbuhan ekonomi sektoral di berbagai daerah. Sebagaimana pemetaan yang telah dilakukan oleh Kementerian ESDM, maka potensi energi baru-terbarukan Indonesia berasal dari sumber batu bara (coal), panas bumi (geothermal) dan tanaman (sawit, jarak dll) yang tersebar merata di seluruh daerah Indonesia.
Prioritas Kebijakan
Potensi atau kekayaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan energi adalah satu hal, sementara prioritas kebijakan dan pembiayaan investasi di sektor energi merupakan hal lain yang harus diformulasikan secara matang dan tepat oleh pemangku kepentingan (stakhokders). Kesalahan dalam menetapkan prioritas pengelolaan dan pengolahan potensi sumber energi akan membawa konsekuensi pada kondisi perekonomian keuangan negara, apalagi kalau investasi energi tersebut bersumber dari PMA dan atau utang luar negeri. Pada hari pertama PEF 2018, narasumber yang berasal dari Brazil menyampaikan bahwa potensi energi Indonesia dari sumber biofuel sangat besar dan tak jauh berbeda dengan Brazil.
Selain itu, biofuel dapat disesuaikan dengan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia dalam jumlah yang besar di suatu wilayah. Tanaman sawit yang selama ini hanya dimanfaatkan untuk produk minyak goreng adalah salah satu potensi tanaman yang bisa didayagunakan untuk menutupi impor bahan bakar minyak Indonesia yang selama ini masih cukup besar dan menguras devisa negara. Isu B-20 yang sedang diupayakan oleh pemerintah (masih mendapat penolakan berbagai pihak) menjadi sangat penting dirumuskan menjadi sebuah alternatif sumber energi pengganti energi fosil yang selama ini digunakan masyarakat konsumen.
Sedangkan di hari kedua PEF 2018, salah seorang narasumber dari Perancis dan USA juga menyampaikan potensi batu bara dan panas bumi Indonesia yang sangat besar untuk diolah menjadi sumber energi menjadi hal yang tak bisa dinafikkan. Bahkan potensi panas bumi Indonesia yang disampaikan oleh Direktur Geothermal Kementerian ESDM mencapai kurang lebih 23,4 juta Giga Watt, dan dari aspek kebijakan (regulasi) sudah lebih siap dibandingkan yang lain. Walaupun demikian, harus pula dicatat bahwa faktor ketidakberhasilan (unsucess factor) potensi energi panas bumi di beberapa daerah wilayah Sumatera juga harus menjadi perhatian pemerintah cq. Kementerian ESDM.
Segala potensi energi Indonesia yang telah disampaikan oleh para narasumber selama PEF 2018 berlangsung bagaimanapun adalah sebuah penawaran menarik harus ditindaklanjuti secara hati-hati oleh pemangku kepentingan (stakeholders) energi di Indonesia. Kematangan dalam menganalisa potensi dan peluang usaha energi untuk menggerakkan roda perekonomian nasional harus dianalisa dalam berbagai aspek kebijakan lain yang beririsan.
Sebagai contoh, bagaimana caranya pemanfaatan sawit yang dilakukan secara massif tidak malah merusak kesuburan tanah dengan kandungan unsur asam (hara/Ph) yang tinggi. Sebab, jika ini tak diperhatikan, maka isu lingkungan menjadi tantangan dan akan menghambat terlaksananya kebijakan biofuel sebagai energi alternatif. Begitu juga halnya dengan potensi energi panas bumi (geothermal) yang merata tersedia karena Indonesia merupakan jalur cincin api (ring of fire) dengan berbagai resiko yang harus dihadapi dalam mengolahnya.
Last but not least, tentu saja eksternalitas kebijakan energi alternatif ini harus disiapkan juga dengan sebaik-baiknya oleh pemerintah, baik untuk produsen energi terlebih lagi adalah untuk masyarakat konsumen. Sebab, hal ini menyangkut kebiasaan atau kultur di zona nyaman dalam memproduksi dan mengkonsumsi bahan bakar minyak dari fosil sebagai sumber energi selama ini. Pergeseran kebiasaan ini tidak saja mengandung konsekuensi pribadi dan sosial, akan tetapi juga berdampak pada aspek ekonomi, yaitu para produsen minyak bumi sumber fosil dan konsumennya yang selama ini mengkonsumsi beserta perlatan dan perlengkapan yang selama tergantung sumber energi fosil tersebut.
Semoga prioritas kebijakan energi alternatif atau baru dan terbarukan ini dapat dirumuskan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan di sektor energi sehingga formulasi kebijakan yang diambil dapat lebih optimal dan didukung semua pihak.[]