Budaya / SeniKolomSosok

92 Tahun Asrul Sani: Pendiri Gelanggang Seniman Merdeka

Asrul Sani. (FOTO: ISTIMEWA)
Asrul Sani. (FOTO: ISTIMEWA)

NUSANTARANEWS.CO – Asrul Sani, Tokoh Angkatan 45 dan Pendiri Gelanggang Seniman Merdeka. Sastrawan dan sineas ternama asal Indonesia ini lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Saat usianya 77 tahun, ia meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini adalah putra Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang (kepala adat Minangkabau) di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.

Sebagaimana orang Minang, ia berasal dari keluarga muslim yang membekalinya pengetahuan agama. Ia disekolahkan secara khusus di sekolah agama “Dar el Ashar”. Selain diajar ilmu agama,kedua orang tunya juga mengenalkannya tentang karya sastra. Waktu belum bisa baca tulis, ia sudah mendengar cerita “Surat kepada Radja” karangan Tagore dari ibunya. Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuk Asrul Sani kecil. Dan ayahnya kerap memanggil “tukang kaba” (pendongeng yang menjajakan ceritanya berkeliling kampung) ke rumah mereka. Setiap tukang kaba itu datang, Asrul senang dan mendengarkan cerita dengan khusyuk.

Pendidikan formalnya dimulai dari Holland Inlandsche School/HIS di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 1933. Setamat dari HIS, ia melanjutkan sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) di Jakarta. Di sekolah ini masa belajarnya lima tahun dan Asrul tidak menyelesaikannya. Lalalu tahun 1942 dia pindah ke SMP Taman Siswa, Jakarta. Di sekolah ini ia kenal Pramoedya Ananta Toer dan ikut menjadi anggota kelompok “Penggemar Sastra” di sekolah.

Minat Asrul dalam menulis pertama kali muncul saat baca puisi Sappho. Walaupun waktu itu belum sepenuhnya paham makna seluruh isi puisi Sappho, puisi itu sangat terkesan di hatinya. Usai membaca puisi itu, ia merasa ada dorongan yang kuat sekali di dalam dirinya untuk menulis. Asrul Sani menulis puisi pertama kali “Kekasih Pradjurit”, dimuat dalam surat kabar Pemandangan tahun 1943, ketika Asrul duduk di kelas dua SMP Taman Siswa. Sesuai dengan zamannya, sajak itu bercerita tentang prajurit pembela tanah air.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Setamat SMP, Asrul masuk ke Sekolah Kedokteran Hewan, Bogor, dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (sekarang IPB) hingga meraih gelar kesarjanaannya tahun 1955. Namun demikian, minat dia akan Sastra sempat mengalihkan perhatiannya dari kuliah kedokteran hewan sehingga pindah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dari situ, melalui beasiswa Lembaga Kebudayaan Indonesia-Belanda, Asrul mengikuti pertukaran ke Akademi Seni Drama, Amsterdam, Belanda antara tahun 1951-1952. Walaupun, akhirnya Asru kembali melanjutkan kuliah kedokteran hewan hingga memperoleh gelar dokter hewan pada 1955.

Pada masa kuliah itu juga Asrul sempat mengikuti seminar kebudayaan di Harvard University (1954). Tamat dari Kedokteran Hewan, ia melanjutkan kuliah dramaturgi dan sinematografi di South California University, Los Angeles, Amerika (1956) dan kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958). Hal tersebut dilakukan Asrul untuk mengejar hasratnya akan seni sastra. Dimana, sebelumnya, dia sudah melahirkan puisi dan cerpen yang telah dimua di berbagai media massa seperti majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, dan Gema Suasana serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja.

Hasratnya akan sastra kian kuat dengan lingkungan perkawanannya. Chairil Anwar merupakan teman akrabnya. Keakraban keduanya tanpa disadari saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh itu dapat dilihat dari puisi mereka yang berjudul “Cerita buat Dien Tamaela” (Chairil Anwar) dan “Mantera” (Asrul Sani). Sumber inspirasi mereka sama, yakni laut. Hanya bedanya, laut bagi Chairil Anwar merupakan “sesuatu yang romantis”, sedangkan bagi Asrul Sani merupakan “suatu misteri”. Selain Chairil ada juga Rivai Apin, penyair yang berkawan dengan Asrul Sani. Ketiga pemuda revolusioner ini waktu itu, menerbitkan buku kumpulan puisi yang diberi judul Tiga Menguak Takdir (1950).

Pasca menerbitkan “Tiga Menguak Takdir” yang dirancang selama satu setengah tahun itu, mereka bertiga mengeluarkan “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Gelanggang itu sendiri sebenarnya adalah ruang budaya dalam majalah Siasat yang mereka kelola. Melalui “Gelanggang” inilah, mereka banyak menyatakan ide, gagasan, dan cita-cita kepengarangan.

Ajip Rosidi dalam bukunya, “Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari (dalam bahasa Indonesian),” (Jakarta: Gramedia, 2010) menuturkan, Asrul yang mampu berbicara dalam Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman, menjadi populer sebagai sastrawan, ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku “Tiga Menguak Takdir” tersebut. Bahkan, ketiga sastrawan ini kelak dianggap sebagai pembaharu puisi Indonesia.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

“Kumpulan puisi itu sangat banyak mendapat tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan beberapa tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka,” tulis Ajip.

Mengutip Ensiklopedi Sastra Indonesia (2004), Asrul pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (Gema), dan Gelanggang (1966-1967). Sebelumnya, pada masa revolusi, Asrul sempat menerbitkan koran Harian Bogor, anggota redaksi ruang kebudayaan alias majalah Siasat, serta sempat menjadi wartawan majalah kebudayaan Zenith.

Sebagai sastrawan, Asrul Sani menulis puisi, cerpen, dan drama. Ia juga dikenal sebagai esais esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu esai terkenalnya adalah Surat atas Kertas Merah Jambu (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda) yang kemudian dikumpulkan dan diedit Ajip Rosidi dengan kata pengantar Taufik Abdullah.

Ajip Rosidi dalam kata pengantar untuk esai-esai Asrul Sani yang dieditnya dengan judul Surat-Surat Kepercayaan menyatakan bahwa, sumbangan Asrul dalam dunia sastra lebih banyak berbentuk esai dan yang lebih nyata lagi adalah posisi Asrul sebagai konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang. Sedangkan Taufik Abdullah menyebut Asrul sebagai salah seorang pemikir kebudayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita.

Selain itu, ia juga menulis ratusan karya terjemahan yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, serta puluhan naskah skenario film. Meski lebih banyak menggeluti film, terutama pertengahan tahun 1950-an, Asrul Sani mempunyai peranan cukup penting di dalam peta kehidupan sastra di Indonesia. Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan bahwa Asrul Sani adalah salah seorang yang terpenting dan menjadi harapan pada angkatan sesudah perang.

Di dunia film, Asrul Sani sejak 1950-an lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Garapan pertamanya adalah skenario Pegawai Tinggi (1953). Debut pertama penyutradaraan, Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959). Skenarionya Lewat Djam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di Atas Kuburan (1973), Pagar Kawat Berduri (1963), Kemelut Hidup (1978) dan sederet judul film lainnya.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Sementara bergiat di film, di masa komunis aktif untuk menguasai ruang kebudayaan, ia mendampingi Usmar Ismail, ikut jadi arsitek lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam Nahdhatul Ulama, yang mulai berdiri 1962, untuk menghadapi aksi seluruh front kalangan “kiri”. Usmar Ismail menjadi Ketua Umum, Asrul sebagai wakilnya. Pada saat itu ia juga menjadi Ketua Redaksi penerbitan LESBUMI, Abad Muslimin.

Memasuki Orde Baru, sejak tahun 1966 Asrul menjadi angota DPR mewakili NU, terpilih lagi pada periode 1971-1976 mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu sejak tahun 1968 terpilih sebagai anggota DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Pada tahun 1976-79 menjadi Ketua DKJ. Sejak tahun 1970 diangkat menjadi salah satu dari 10 anggota Akademi Jakarta. Pernah menjadi Rektor LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta), kini bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pernah beberapa kali duduk sebagai anggota Badan Sensor Film (BSF), tahun 1979 terpilih sebagai anggota dan Ketua Dewan Film Nasional, Sejak tahun 1995 menjadi anggota BP2N (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional), Pengurus Pusat Nahdatul Ulama (NU), dan Anggota DPR-MPR (wakil seniman) 1966—1982. Dari sekian banyak kegiatannya, hanya kegiatan yang berhubungan dengan gelar kesarjanannya yang tidak terlihat.

Dalam kesibukan tersebut, Asrul Sani tetap produktif menghasilkan banyak karya baik itu puisi, cerpen, esai, naskah derama, pementasan teater, film, dan juga karya terjemahan.

 

Penulis: Roby Nirarta

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,142