Ekonomi

80% Lahan Migas Indonesia Sudah Dimiliki Asing

80% Lahan Migas Indonesia Sudah Dimiliki Asing

NUSANTARANEWS.CO – 80% lahan migas Indonesia sudah dimiliki asing. Perusahaan raksasa asing, khususnya di bidang energi rupanya sangat nyaman mengeduk kekayaan alam di bumi nusantara. Di mata dunia, Indonesia adalah sebuah negara yang paling aman, tidak ada keributan. Inilah modal dasar yang paling berharga bagi Indonesia. Tidak ada tembak-menembak. Tidak ada perang sipil, bila ada konflik, pun tidak seperti di kawasan Eropa Tenggara dan Timur, Afrika Barat atau Timur Tengah. Faktor keamanan lokasi inilah yang menjadi tujuan utama investasi.

Dalam laporan Laporan Gallup Global Law and Order 2018 yang dirilis menjelang Idul Fitri 1439 Hijriah kemarin, Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara teraman di dunia. Dari 142 negara yang diurvei, Indonesia berada diperingkat ke-9.

Lihat: Indonesia Masuk Top Ten Negara Teraman Di Dunia

Nah, dewasa ini sadarkah rakyat Indonesia bahwa 80 persen lahan migas yang tersebar dari Sabang sampai Merauke sudah bukan milik bangsa Indonesia. Bahasa sederhananya mereka yang mengelola ladang minyak itulah yang punya hak untuk ekspor. Yang krusial adalah undang-undangnya bahwa hasil yang dikeluarkan oleh bumi Indonesia harus digunakan di dalam negeri – di klausulnya tidak ada. Di dalam konsensinya juga tidak. Sekarang ladang migas Indonesia sudah di zonakan. Indonesia sudah tidak punya apa-apa. Hanya bisa pasrah sebagai administratur yang baik.

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

Indonesia memang memiliki berapa jenis crude oil. Ada beberapa jenis perbedaan dari sumur dan umur ladang. Sekedar catatan bahwa untuk membangun refinery itu nomor satu adalah harus dapat minimal 8 tahun crude oil yang konstan, baik light, middle light, dan heavy. Yang light bila sudah masuk refinery dapat menghasilkan 80% BBM, ini yang dicari. Kalau yang middle 50%, sedang yang heavy itu 30% BBM, sisanya dapat menjadi pelumas, aspal dan lain-lain.

Sebagai catatan saja bahwa apa yang dihasilkan dari hydro minyak itu kita sudah impor. Gas, avtur, solar, premium, pelumas, kapal, bahkan lilin untuk bahan batik sudah impor. Jadi jangan heran bila harga kain batik di Cina jauh lebih murah dibandingkan kain batik di indonesia. Disinilah kita harus bicara minyak sebagai survival dan menjadi agenda utama kepentingan nasional. Patut disyukuri bahwa Indonesia tidak punya musim dingin.

Oleh karena itu, sekarang kita perlu mindset baru untuk merancang strategi dalam konteks ketahanan nasional. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi dengan potensi ekonomi yang besar – adalah suatu kewajaran pula bila memiliki kemampuan militer yang kuat terutama dalam konteks UU Migas dan UU pertahanan negara. Seperti halnya negara-negara maju yang menjaga kepentingan nasionalnya di luar negeri – khususnya yang menyangkut keamanan migas – mereka tidak menyerahkan pengawalan kepada negara lain, tapi mereka mengerahkan kekuatan militernya sendiri untuk mengamankan sumber energinya, mulai dari lokasi sampai mengawal transportasinya. Sebagai contoh misalnya negara Jepang. Jepang itu mengimpor 5,6 juta bph.

Baca Juga:  Layak Dikaji Ulang, Kenaikan HPP GKP Masih Menjepit Petani di Jawa Timur

Dalam konteks keamanan ini misi intelejen menjadi nomor satu. Jepang menyadari bahwa semua itu adalah demi kelangsungan kehidupan negara mereka. Bayangkan seandainya suplai minyak sebesar 5,6 juta bph Itu tiba-tiba berhenti. Akibatnya bisa lebih dahsyat dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. (as)

Related Posts

1 of 3,049