Budaya / SeniPuisi

Zaman Tamak

Zaman Tamak, Puisi Norrahman Alif

Menjumpai Penyair Celana

Dari senja ke bulan basah kami berjalan
kendati tubuh menyapa hujan pada jalan di malam kelam
di pinggir jalan orang-orang menatap kami dengan mata belas,
lalu seorang asing menegur:
“Berteduhlah kedalam hatiku sang pengelana malam,
jangan siksa tubuh kalian dengan terguyur jarum hujan”
dengan getar jiwa, kami jawab: “Namun kami bukan anak garam
yang senantiasa leleh di pangkuan hujan”
sebelum sampai tujuan, kami tak ‘kan berhenti walau luka kaki
dan hati berdarah
sebab mata kami pedih rindu sekali ingin menatapmu, penyair celana
dengan memuaskan hati sebelum mati kecewa
dan lagi, tidak lengkap jiwa jika kenangan hanya di kenangan
jalan waktu dan perih tubuh
adakalanya wajah kami yang berminyak lelah ini, di kenang matamu
atau kata-kata sajakmu mengenang kami
sebagaimana mata kami menggemari celanamu

TBY, 2017

Zaman Tamak

Orang-orang hidup di zaman tamak ini
hanya menggali-gali harta di dasar lautan
dengan segenap doa mengemis pada Tuhan

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Meski seluruh hidup terpenuhi
hatinya bergelang intan berlian
tubuhnya terbalut sutra emas

Namun masih keluh dan selalu mengeluh
mangapa diriku  lebih rendah
dari si miskin yang berprofesi peminta-minta

Seperti para pemabuk, merasa kurang
walau di matanya berputar dunia kepayang
setelah botol-botol tuak menunduk ke bumi

Cabeyan, 2017

Bagai Pohon

Pohon tumbuh dari kerak bumi yang bernama tanah dengan tunas yang mungil menjalar kaki kaki akarnya yang liar, pertamakalinya menyerap sari sari makanan dari kedalamannya dan kesejukan udara yang nyata, alam raya membantu medewasakan diri dan usia yang semakin larut menepuh hari menjadikannya kekar diri, keras kulit, lebat daun, dan batang yang kerdil telah mendongan ke luas angkasa mungkin siaplah hidup menahan serangan musuh menerjang, seperti kencang angin dan kacau musim yang menjadi musuh utama dalam cermin kehidupan pohonan

Bagai bayi yang nongol dari rahim manusia yang bernama ibu, dengan suci diri, kaki kaki  jalang menerjang kalipertama dada kefanaan dengan sumur umur waktu  yang dangkal semakin dalam merangkak menembus lapisan demi lapisan hari kedewasaan, dengan moncong mulut merengek di timangannya sesering mungkin menyedot sari sari makanan dari puting payudara, menjadikannya kulit kenyal jadi baja, tulang lembek jadi sekuat besi, dan badan yang meringkuk  jadi berdiri meninggi ke langit, mungkin siaplah usia dalam tubuh yang telah kekar melawan gempuran nasib di gelanggang kehidupan manusia
Mungkin pohon tampa buah tanda sia sia, bagai manusia tak bermakna tak ada artinya

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Hidupnya pohon bagai hidupnya manusia tak ada pembeda di dalam diri hanyalah nasib yang menbedakan kehidupan pohon dan manusia, pohon mati di serang bara api bagai manusia di incar maut tak henti sampai mati.

2016

Norrahman Alif. Lahir di Sumenep Madura Jawa Timur, 01 Mei 1995. Penulis dan bergit di (LSKY) Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.

Related Posts

1 of 115