Lintas Nusa

WALHI Laporkan Dugaan Korupsi Tambang Batubara Oleh 12 Perusahaan di Sawahlunto ke KPK

Tambang batubara/Ilustrasi/Net
Tambang batubara/Ilustrasi/Net

NUSANTARANEWS.CO – Terhitung sejak tahun 2010 hingga tahun 2015, terdapat 12 perusahaan tambang batubara yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batubara di Sawahlunto yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto melalui Dinas PERINDAGKOP. Dua belas perusahaan tambang batubara tersebut dengan inisial CV. D, CV. K, CV. M, CV. T, PT. A, PT. A, PT. B, PT.B, PT.D, PT.G, PT.N dan PT.P terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Sesuai pasal 128 (1) UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, ke-12 perusahaan pemegang IUP wajib membayar pendapatan negara. Pendapatan negara yang dimaksud salah satunya adalah pendapatan negara bukan pajak pasal 128 ayat 2 di antara berupa iuran tetap (landrent) dan iuran produksi (royalti) pasal 128 ayat 4. Kemudian besaran PNBP menurut PP Nomor 92 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian ESDM adalah untuk landrent adalah per ha x 400 USD dan untuk royalti dengan kalori (Kkal/kg) di atas 6.100 adalah produksi per ton x 7.00 % untuk open pit dan 6% underground.

Dari hasil analisis yang dilakukan tim hukum WALHI Sumatera Barat, ke-12 perusahaan tersebut terindikasi melakukan tindak pidana korupsi, yaitu perusahaan tidak menaati ketentuan pasal 128 UU Minerba, mereka diduga kuat tidak menbayar royalti dan landrents sesuai jumlah yang ditentukan. Di mana total produksi batubara di Sawahlunto dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015 adalah 1.588.804,15 ton, seharusnya dengan harga Rp632.000/ ton artinya negara menerima PNBP berupa royalti sebesar Rp60.247.453.367.

Baca Juga:  Pengumuman Pemenang Lomba Menulis Bertema ‘Pengamanan Aset Digital’

“Namun PNBP yang diterima pada sektor ini hanya Rp 24.247.453.368,” ungkap Wengky Purwanto Ketua PBHI di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (22/6).

Selanjutnya, total luas IUP adalag 4.115 78 ha dengan asumsi rata-rata 11.000 dollar, maka setidaknya PNBP yang seharusnya diterima negara selama lima tahun terakhir adalah Rp 641.674.000, namun yang diterima hanya Rp24.574.000. Potensi kerugian negara dari praktik korupsi jamaah pengusaha dan pemerintah daerah ini sebesar Rp57.000.000.000 dari royalti, Rp617.100.000 dari landrent, dan kerugian di sektor PNBP akibat tidak dipenuhinya ketentuan IPPKH setidaknya senilai Rp95.416.265.707.

“Total dugaan kerugian negara Rp153.477.957.707,” ujarnya.

Selaras dengan hasil analisis tersebut, Direktur WALHI Sumatera Barat Uslaini menjelaskan bahwa di Kora Sawahlunti terdapat IUP Batubara, dan hanya dua perusahaan saja yang memiliki Izin Pinham Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kanu melihat ada indikasi korupsi yabg terjadi, tetapi aparatur negara membiarkan semua pelanggaran ini terjadi bertahun-tahun. Untuk itu, ini harus dihentukan dan perlu segera dilanjutkan pemeriksaan oleh KPK.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

“Sehingga potensi kerugian negara bisa dikurangi,” imbuh Uslaini.

Menurutnya korupsi tambang batu bara tidak hanya tergolong kepada perbuatan melawan hukum dan menyebabkan kerugian keuangan negara, perbuatan demikian adalag kejahatan terorganisir dan harus diberantas. Aktifitas juga merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena aktifitasnya telah mengancam dan merebut hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Di tempat yang sama, Eksekutif Nasional WALHI berpendapat kasus dugaan korupsi 12 tambang batubara di Sawahlunto merupakan zoom in dari potret korupsi sektor tambang di Indonesia. Kerugian negara dari sektor tambang terjadi di multi-level value ekonomi konunitas, hingga beban negara dalam pemulihan lingkungan hidup.

“Selain upaya pencegahan oleh KPK selama ini, proses penegakan hukum tipikor sangatlag penting untuk dilakukan di setiap provinsi untuk menghentukan kejahatan berjamaah pengusaha dan pejabat penyelenggara negara,” tutupnya. (Restu)

Related Posts

1 of 3,050