Artikel

Wachid Hasyim : Pahlawan Ulama dari Tebuireng

Cover: Wahid Hasyim (Untuk Replubik dari Tebu Ireng)
Cover: Wahid Hasyim (Untuk Replubik dari Tebu Ireng)

Judul Buku : Wahid Hasyim (Untuk Replubik dari Tebu Ireng)

Penyunting : Nugroho Dewanto & Redaksi KPG

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Cetakan : Ketiga, Juni 2016

Tebal : xi + 132 Halaman

ISBN : 978-979-91-1231-6

Pereseni: M Ivan Aulia Rokhman

Wahid Hasyim mengubah wajah Pesantren Tebuireng jadi lebih modern dan terbuka. Memasukkan ilmu pengetahuan umum, membuka perpustakaan, serta mendatangkan berbagai bacaan berbahasa Melayu, Inggris, dan Belanda. Gagasannya tidak sekadar memajukan pendidikan, tapi juga demokratisasi di negeri ini.

Wahid memasukkan pendidikan umum untuk kurikulum pesantren yang didirkan ayahnya, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pada 1899 itu. Wahid berpendapat, penting bagi santri untuk memahamai pengetahuan umum selain mendalamin Quran, fikih, dan bahasa Arab. Ia juga mendorong santri banyak membaca dan berorganisasi.

Pemuda yang setiap hari menghabiskan waktu sekitar lima jam untuk membaca ini—kebiasaan yang menurun, antara lain, kepada Gus Dur—ingin santri Tebu Ireng memiliki wawasan dan pengetahuan luas. Bagi Wahid, lulusan Tebuireng tidaklah mesti jadi ulama. Yang penting, mereka harus menjadi sosok manusia berawawasan yang bisa membangun dan mendidik masyarakat serta membangun lingkungannya.

Kepiawaiannya dalam berorganisasi dan berpolitik serta konitmennya untuk memajukan negeri itulah yang membuat Wahid dipercaya Nadhatul Ulama sebagai wakil di Badan Penelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, juga Majelis Syuro Muslimin (Masyumi)—organisasi yang bersama Mohammad Natsir didirikannya pada 1945. Kemudian tahun 1947 ia dipercaya memimpin Pondok Pesantren Tebuireng.

Umur lima tahun Wahid sudah belajar membaca Al-Qur’an. Hasyim sendiri yang mengajar putranya itu setiap seusai salat zuhur dan magrib. Untuk pengetahuan agama lain, Wahid belajar di Pesantren Tebuireng pada pagi hari. Karena cepatnya ia menyerap ilmu yang diajarkan, pada umur tujuh tahun ia sudah mulai belajar “kitab”. Di antaranya kitab Fahul-Qorib, Minhajul Qawim, dan kitab Mutamminah.

Wahid juga dikenal memiliki selera makan yang tidak macam-macqam. Kegemerannya adalah makan nasi putih dan kulup (sayur-mayur yang direbus). Ia tak suka makan ikan, daging, atau tahu-tempe.

Karena cepatnya ia menyerap ilmu dan pesantren di luar Tebuireng. Ia, antara lain, pernah belajar di Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, juga Pesantren Lirboyo, Kediri. Ia hanya tiga hari berada di pesantren ini. Era mencari ilmu dari pesantren ike pesantren ini dilakoni Wahid hingga usia 15 tahun.

Pada 1932, di usia 18 tahun, Wahid pergi ke Tanah Suci didampingi sepupunya, Muhammad Ilyas. Sembari menunaikan ibadah haji, mereka berdua diminta mendalami ilmu tafsir, hadis, nahwu, shorof, dan fikih. Dua tahun kemudian ia kembali ke Jombang.

Kehadirannya di pondok membawa pencerahan. Dia mengusulkan kepada ayahnya perombakan kurikulum pendidikan pesantren, dari klasikal ke tutorial. Ide itu sempat ditolak, tapi kemudian bisa diterima. Hubungajn pondok dengan dunia internasional juga kian luas karena Wahid bisa membantu menerjemahkan surat-surat ke berbagai bahasa.

Wahid sengaja tak dimasukkan sekolah Belanda karena KH Hasyim Asy’ari takut hal tersebut memicu kontroversi di kalangan ulama, yang ketika itu melawan kolonialis Belanda.

Nadhatul Ulama juga sering kali dipandang hanya miliki kiai. Segala keputusan dan kebijakan organisasi bergantung pada pemimpin pesantren. Anggapan itu membuat Nadhatul Ulama kurang diminati pemuda karena dianggap sulit bergerak, berpikir bebas, dan berkreativitas. Setelah lebioh lanjut, Wahid mengatakan para ulama kedudukannya sama dengan anggota bioasa. Peran ulama menjadi penjaga pelajaran Islam. “Sama sekali tak beku dan jumud, tapi senantiasa mengikuti perkembangan,” tulis Wahid.

Tulisan itu satu dari sekian banyak karya Wahid Hasyim yang termuat dalam buletin terbitan kurun waktu 1941 sampai 1952. Ini menjadi salah satu bukti Wahid memang gemar menulis. Merekam sebuah peristiwa yang ia alami, kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Hampir semua bidang dia tulis, mulai hukum, masalah politik, terutama dunia islam. Juga sejarah, pendidikan dan pengajaran, sosial, hingga mistik (Hal 1-55).

Wahid meninggal pada usia 39 tahun karena mengalami kecelakaan. Banyak kalangan ulama dan kerabatnya merasa kehilangan. Buku sejarah Wahid Hasyim merupakan biografi yang mendetail tentang dirinya sebagai pendiri Tebuireng serta pengembangan ilmu umum dengan ilmu agama. []

Related Posts

1 of 7