KolomOpini

Utang ke China Atas Nama Negara, Baginya dalam Lingkaran Penguasa Sendiri?

Utang ke China Atas Nama Negara, Baginya dalam Lingkaran Penguasa Sendiri?

NEGARA tengah sekarat. Rakyat kehidupan ekonominya semakin susah. Dalam 6 bulan terakhir, daya beli masyarakat jatuh.

Tapi kenyataan itu tidak dengan oligarki politik di sekitar pemerintahan Jokowi. Mereka tidur di atas kasur uang. Dari mana sumbernya? Apakah pemerintah Jokowi dipercaya oleh pemberi utang?

Pemerintah Jokowi bermandikan utang. Para pemberi utang menawarkan uang seperti marketing kartu kredit. Ayo buat kartu kredit, cukup menggunakan KTP. Langsung bisa cair. Masalah bayar belakangan. Utang-utang dan belanja-belanja. Resiko urusan belakang. Negara disita debt collector? Ora urus!

Utang pemerintah hingga bulan Juni 2017 yang nilainya mencapai Rp. 3.8720 triliun. Selama dua setengah tahun berkuasa, Jokowi Pemerintah menambah utang Rp. 1.040 triliun. Sementara utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Mei 2017 tercatat USD333,6 miliar atau Rp. 4.436 triliun.

Berdasarkan kelompok peminjam, pertumbuhan tahunan utang luar negeri sektor pemerintah meningkat, sedangkan utang luar negeri sektor swasta menurun. (Data Bank Indonesia).

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Utang pemerintah kembali menyalip utang swasta. Setelah pada era SBY utang swasta konsisten melebihi utang pemerintah. Tampaknya, pada era Jokowi swasta tidak perlu utang luar negeri secara langsung. Cukup menggunakan tangan pemerintah. Swasta pada era Jokowi tidak mau tanggung resiko.

Salah satu sumber utang tersebut adalah dari China. Menurut sumber resmi China, sejak tahun 2015 China telah menyetujui memberikan 11.8 miliar dolar dan 6.8 miliar Yuan. Sehingga secara keseluruhan China menyetujui memberikan utang ke China tersebut sebesar Rp. 170 triliun (pada tingkat kurs 13.300). Dari jumlah tersebut telah terealisasi dan sekarang menjadi utang Indonesia adalah sebesar 8 miliar dolar dan 6.3 miliar Yuan atau sekitar Rp. 100 triliun. (Sumber: http://www.cdb.com).

Konon katanya utang tersebut akan disalurkan untuk investasi sektor telekomonikasi, mineral, kehutanan dan agriculture. Namun kenyataannya utang tersebut justru mengalir ke oligarki pemerintahan Jokowi sendiri.

Sebagai contoh utang yang diberikan China sebesar $3 miliar dolar kepada tiga bank di Indonesia, konon katanya untuk membangun infrastruktur. Ketiga bank tersebut adalah Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Utang tersebut ternyata disalurkan oleh ketiga bank tersebut kepada Medco milik Arifin Panigoro untuk mengambil alih saham Newmont senilai 2,6 miliar dolar. Ini adalah peristiwa yang aneh, mengapa bank BUMN tidak menyalurkan pinjaman ke ANTAM untuk mengambil alih saham Newmont? Ada apa?

Bebarapa pihak lain yang kecipratan pinjaman dari China yang disalurkan melalui bank BUMN Indonesia mengalir ke oligarki penguasa sendiri. Bank BRI menyalurkan kepada PT Poso Energy Satu Pamona, PT Bosowa Energi, PT Semen Bosowa, PT Kertanegara Energi Perkasa, PT Indah Kiat. Sementara bank mandiri juga menyalurkan pinjaman tersebut kepada perusahaan lain yakni yaitu PT Saka Energy Indonesia, PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan PT Medco Energy International Tbk. Perusahaan swasta lainnya yakni Sinar Mas ikut menikmati pinjaman dalam jumlah besar dari sindikat bank BUMN tersebut.

Padahal dalam kasus divestasi Newmont Medco Energi Internasional bukan perusahaan yang cukup sehat. Dalam sektornya adalah yang cukup buruk kondisi keuangannya. Perusahaan ini memiliki total Debt to Equity mencapai 197.24 %, sangat besar dibandingkan dengan rata-rata dalam sektor energi sebesar 46.34% (Sumber reuters.com).

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Pertanyaannya mengapa tiga bank BUMN memberikan pinjaman kepada Medco, mengapa bukan kepada Antam yang lebih berpengalaman menambang emas dan keuangannya lebih sehat? Kabarnya Medco akan segera menjual Newmont kepada pihak lain. Perusahaan China kah ? Tampaknya demikian.

Penulis: Salamuddin Daeng, Peneliti AEPI
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 6