Inspirasi

UGM Utamakan Pembangunan SDM Bernalar Kritis

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai kampus perjuangan diharapkan untuk mengutamakan pembangunan sumber daya manusia (SDM) dosen dan mahasiswa yang kompeten. Selain itu, juga memiliki daya nalar kritis sebab hal ini menjadi salah satu syarat bagi UGM untuk mencapai target ranking 450 dunia.

“Bagi masyarakat akademis, berfikir kritis sudah seharusnya menjadi sebuah kebiasaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu berawal dari hasil karya orang-orang yang menggunakan akal pikirnya secara kritis dan analitis untuk menjawab aneka persoalan dan tantangan yang dihadapi beserta alternatif solusinya,” kata Dekan Fakultas Peternakan UGM Prof. Dr. Ali Agus dalam siaran persnya Yogyakarta, Minggu (2/4/2017).

Menurut Prof Ali, insan akademik, ilmuwan atau cendikia tulen tidak membiasakan dirinya untuk mudah berfikir negatif apalagi berburuk sangka, juga tidak terlalu mudah percaya atas segala informasi baru karena akan mengurangi daya nalar kritisnya. Sebab berfikir kritis analitis dan berani mengemukakan gagasan yang diyakininya benar dan baik, adalah salah satu ciri utama insan cendikia.

“Di samping itu, buah pikirnya diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemanfaatan, kebaikan dan kebahagiaan manusia (yang bhineka) dan alam sekitarnya,” jelas Prof Ali.

Kebhinekaan Aset Bangsa

Lebih jauh, Prof Ali mengatakan bahwa kebhinekaan yang dimuat dalam Pancasila merupakan semangat yang harus terus dikembangkan dalam menjalankan kepemimpinan di UGM, sehingga menjadikan UGM sebagai “Rumah Besar” bagi seluruh civitas akademika di lingkungan Kampus Perjuangan itu.

“Bahkan setiap dosen, karyawan (tenaga kependidikan) dan mahasiswa harus memahami nilai-nilai dan budaya ini, yaitu nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika,” demikian penegasan Prof Ali Agus yang juga salah seorang Bakal Calon Rektor UGM periode 2017–2022.

Ali menuturkan, upaya menjadikan kebhinekaan sebagai aset budaya untuk pembelajaran dalam lingkungan UGM dilakukan dengan cara jika seorang pemimpin itu perlu lebih banyak mendengar berbagai masukan dosen, karyawan dan mahasiswa sebelum kebijakan atau keputusan diambil. Sehingga menghasilkan pemahaman komprehensif tentang berbagai permasalahan yang terjadi dan kemungkinan berbagai hal menghadang serta keputusan kebijakan yang diambil tepat dan optimal, bukannya kontra produktif.

“Melalui Kebhinekaan, kita harus memelihara dan mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati setiap warga masyarakat Indonesia, termasuk dalam hal ini membangun iklim akademik yang demokratis dan egaliter di lingkungan kampus UGM. Sekaligus juga mengembangkan daya nalar kritis sebagai akademisi. Poin-poin ini juga menjadi pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, agar setiap warga Negara saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan berbudaya,” ungkap Ali.

Program 2 Tahun

Ali menambahkan, upaya menjadikan nilai kebhinekaan sebagai budaya pembelajaran dapat diwujudkan dalam waktu 2-3 tahun sejak Rektor baru menjabat.

“Dampaknya bisa optimal dalam mensinergikan seluruh SDM di lingkungan UGM, untuk menghasilkan prestasi akademis terbaik dan handal. Baik pada tingkat nasional maupun internasional. Jadi target UGM ingin meraih ranking 450 perguruan tinggi terbaik dunia, bisa dicapai pada tahun 2018 mendatang,” terang Ali.

Program Konkrit

Menurut Ali, pengembangan nilai-nilai kebhinekaan dalam lingkungan UGM dapat dilakukan dengan tiga program konkrit. Pertama, memfasilitasi dan meningkatkan kegiatan mahasiswa sejak pertama kali masuk UGM melalui program pengenalan kampus lintas disiplin ilmu, lintas program studi dan lintas fakultas. Sehingga sejak pertama kali mahasiswa memasuki lingkungan kampus UGM, terasa betul ke-UGM-an nya.

“Jadi bukan ke-Fakultas-annya yang diutamakan, tetapi spirit ke-UGM-an inilah yang harus diperkenalkan dan diinternalisasikan sejak awal hingga lulus menjadi alumni,” ungkap Prof Ali.

Kedua, mahasiswa yang tinggal di asrama pada prinsipnya adalah untuk belajar berbagi dan hidup bersama dengan kawan-kawannya yang berbeda latar belakangnya (etnis, agama, daerah, ekonomi, keluarga). Oleh karena itu, memberi kesempatan kepada lebih banyak mahasiswa untuk dapat tinggal di asrama kampus. Misal, dari semula selama 2 semester tinggal di asrama, kini cukup 1 semester saja. Tujuannya, untuk memberi kesempatan bagi setiap mahasiswa berinteraksi dengan banyak mahasiswa yang berasal dari daerah, budaya, etnis, agama dan keyakinan berbeda. Asrama akan menjadi miniatur “Sekolah Kebangsaan dan Kebhinekaan” bagi mahasiswa UGM.

“Kondisi seperti ini menjadi salah satu syarat mutlak untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebhinekaan pada mahasiswa UGM,” papar Prof Ali Agus.

Strategi ketiga adalah dengan memperbanyak forum-forum kegiatan akademik dan kemahasiswaan yang lintas fakultas, dan hingga pelaksanaan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebhinekaan. Contohnya, mahasiswa yang berasal dari Jawa akan dikirim mengadakan KKN di daerah luar Jawa dan/atau sebaliknya. Sehingga tujuan untuk melatih dan menghargai setiap perbedaan di antara sesama mahasiswa dan masyarakat tempat KKN, terwujud optimal. Termasuk dalam penyusunan tim dari mahasiswa KKN itu juga nantinya akan kita susun dalam konsep kebhinekaan tersebut.

Disamping itu, tidak boleh pula dilupakan jika konsep kebhinekaan juga harus dimaknai dalam konteks keadilan gender dan ramah difabel. Pada hakikatnya setiap orang memiliki risiko menjadi difabel dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, sesama manusia juga antara laki-laki dan perempuan adalah setara, mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama. Dalam konteks UGM sebagai universitas pusat kebudayaan, maka kepemimpinan baru nanti harus dapat menjamin adanya keadilan gender dan mampu mencegah munculnya kebijakan atau praktik diskriminasi, segregasi, dan eksklusi berbasis perbedaan gender.

Hal ini penting tidak hanya dalam rangka mengenal kebhinekaan, tetapi juga memahami konsep kebhinekaan adalah bawaan lahir bangsa Indonesia yang harus disikapi sebagai aset pembangunan. Berbagai disiplin dan juga berbagai etnis, keyakinan, agar belajar saling menghormati dan saling menghargai kebhinekaan. Inilah sebenarnya salah satu jati diri UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaan.

“Mendukung kredo ‘Hamemayu Hayuning Bawono’ yaitu mempercantik dunia yang sudah cantik nan indah ini, yang artinya UGM dan output yang dihasilkan untuk menebar aura kebaikan dan kebahagiaan kepada sesama manusia dan alam. Daya kritis insan UGM dioptimalkan untuk merangkai, menemukan titik-titik simpul kebhinekaan sebagai cara pandang positif dalam budaya pembelajaran menuju sinergisitas gerak sehingga menjadikannya sebagai aset untuk membangun bangsa,” tandas Prof Ali.

Penulis: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 8