Mancanegara

Theresa May Menjadi Perdana Menteri Wanita Kedua Inggris

Theresa May Menjadi Perdana Menteri Wanita Kedua Inggris
Theresa May Menjadi Perdana Menteri Wanita Kedua Inggris

NUSANTARANEWS.CO – Theresa May Menjadi Perdana Menteri Wanita Kedua Inggris. Theresa May akhirnya resmi dinobatkan menjadi Perdana Menteri Inggris yang baru menggantikan David Cameron yang mengundurkan diri setelah insiden Brexit, Dengan demikian, Theresa May kini tercatat sebagai perdana menteri wanita kedua Inggris setelah Margaret Thatcher pada usia 59 tahun.

Meski sejak awal Theresa adalah pendukung Inggris tetap di Uni Eropa (UE), namun sebagai pemimpin baru Inggris pasca Brexit, Theresa dengan tegas menolak diadakannya referendum ulang dengan alasan menghargai keputusan rakyat Inggris. Seperti dikatakannya, “Brexit ya Brexit. Kampanye telah diperjuangkan, voting telah dilaksanakan, dan publik telah memutuskan. Tidak boleh ada upaya untuk terus berada di UE, baik melalui pintu belakang atau referendum kedua.”

Theresa memang dikenal sebagai pribadi yang tangguh dan tidak segan-segan menyampaikan kenyataan pahit di dalam tubuh partainya. Hal inilah yang membuatnya mampu bertahan di lingkaran elit partai dalam 17 tahun terakhir. Demikian pula dalam menghadapi kenyataan Brexit, “Kita tidak mungkin mengubah keputusan ini. Yang harus kita lakukan sekarang adalah bagaimana mendapatkan manfaat maksimal dengan berada di luar Uni Eropa,” ujat Theresa.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Dimungkinkan Akan Menjadi 7 Fraksi

Seperti kita ketahui pekerjaan rumah Theresa sangat berat, mulai dari menyatukan kembali Inggris yang terbelah akibat referendum, memimpin perundingan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), serta membangun kembali soliditas Partai Konsevatif yang turut terbelah.

Siapakah Theresa May?

Theresa mengawali karier politiknya setelah terpilih sebagai anggota parlemen pada 1997 untuk daerah pemilihan Maidenhead, Berkshire. Sejak kehadirannya di Parlemen sebagai petugas Partai Konservatif, Theresa telah menjadi sorotan media karena penampilannya yang unik, mulai dari gaya busana, sampai sepatunya yang bermotif kulit kucing. Tapi seiring dengan sikap tegasnya dalam memimpin, citra “anak kucing” yang dilekatkan kepadanya pun hilang. Theresa terbukti adalah seorang konservatif sejati dalam urusan pemerintahan.

Dua tahun kemudian ia ditunjuk menjadi menteri bayangan untuk urusan pendidikan ketika Partai Konservatif dipimpin William Hague, dan pada 2002 ia dipercaya menjadi pengurus inti partai di bawah kepemimpinan Duncan Smith.

Ketika karier David Cameron dan George Osborne melesat di Partai Konservatif, Theresa seakan-akan tenggelam dan tidak mendapatkan peran penting. Tahun 2009, Theresa diberi pos hanya sebagai menteri bayangan untuk bidang ketenagakerjaan dan pensiunan. Baru pada 2010, ketika Partai Konservatif berkuasa dan berkoalisi dengan Liberal Demokrat, Theresa ditunjuk sebagai menjadi menteri dalam negeri.

Baca Juga:  Kabupaten Nunukan Dapatkan Piala Adipura untuk Kedua Kalinya

Sebagai informasi, di Inggris, kursi menteri dalam negeri dikenal sebagai “kuburan karier” politikus, tetapi di tangan Theresa jabatan ini justru semakin meneguhkan dirinya sebagai politisi ulung. Dan terbukti, hasil referendum Brexit pada 23 Juni lalu telah menghantarkan dirinya ke puncak karir sebagai perdana menteri wanita kedua Inggris.

Theresa May, lahir sebagai Theresa Braiser di Sussex, dan dibesarkan di Oxfordshire. Theresa tinggal bersama ibu dan neneknya.  Ayahnya, adalah seorang pendeta gereja Inggris, tapi kemudian tewas dalam sebuah kecelakaan mobil.

Theresa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Oxford mengambil jurusan geografi. Disana dia bertemu dengan Philip May, yang kebetulan menjadi presiden grup pemimpin politik masa depan bernama Oxford Union pada tahun 1976. Menurut cerita kawan-kawan dekat Theresa, keduanya dipertemukan oleh Benazir Bhutto, yang kemudian menjadi perdana menteri Pakistan, saat menghadiri sebuah pesta. Dan empat tahun kemudian mereka menikah.

Sambil meniti karier politik, Theresa juga bekerja di Bank of England, dan sempat menjadi Kepala Unit Hubungan Eropa di Association for Payment Clearing Services. Dengan penuh kepercayaan diri, Theresa terus berjuang mencalonkan diri dalam pemilihan anggota dewan, meski berkali-kali gagal. Namun hal tersebut tidak membuatnya kapok, “Selalu ada kursi dengan namamu di sana,” ucapnya. (Banyu)

Related Posts

1 of 25