Kreativitas

Telaah “Sastra dalam Al-Qur’an” di Bulan Ramadhan

NUSANTARANEWS.CO – Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang menyempurnakan kibat-kitab kudus sebelumnya yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Penyair W.S Rendra pernah menyatakan bahwa kitab suci Al-Quran merupakan kitab yang isinya paling kontekstual dan mampu memenuhi kebutuhan batin pembacanya.

Pada dasarnya, ayat-ayat suci Al-Quran mengandung banyak hal dan mencakup seluruh aspek kehidupan serta sumber segala ilmu pengetahun langit dan bumi. Ayat-ayatnya indah dan menyejukkan ketika dibaca. Sehingga bagi para penyair, ayat-ayatnya yang sastrawi memberikan banyak inspirasi dalam melahirkan karya sastra.

Setidaknya dengan dasar itu, Forum Apresiasi Sastra (FAS) #59 mengusung tema “Sastra dalam Al-Qur’an” pada acara yang diselenggarakan, Rabu (15/6) lalu . Acara yang dimulkain pukul 15.30 diisi oleh penyair Shohifur Ridhoi Ilahi yang dipandu oleh moderator Hairini Nur Hanifah. Acara ini diadakan dalam rangka menyemarakkan bulan suci Ramadhadan.

Acara dengan topik Sastra dalam Al-Quran ini merupakan acara rutin yang dilangsungkan di Aula Kampus 2 UAD. Pada kesempatan di bulan Ramadhan, FAS bekerjasama dengan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Acara pun tampak berlangsung dengan cukup khidmad. Dimana sang pembicara cukup menggebu dalam menyampaikan isi makalah atau esainya yang diberi judul “Membangun Jembatan untuk Mengingat Kau Penuh Seluruh.”

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Mawas diri, Ridho – sapaan akrab Shohifur Ridhoi Ilahi, mengatakan di awal pembicaraannya, secara khusus dirinya tidak akan membahas persoalan sastra yang terkandung dalam Al-Quran sesuai dengan tema yang diusung FAS. Dan apabila dipaksakan, kata Ridho, akan membuat dirinya menderata dan merasa bersalah. Sebab pihaknya menilai sasra dalam dunia kepenyairannya merupakan medan bahasa yang diasah dan dicari terus -menerus kemungkinan artistiknya.

Lebih lanjut, Ridho mengakui, pengetahuannya tentang kesusastraan ia peroleh di jalanan, warung kopi, tempat-tempat (juga di orang-orang) yang kerap meninggalkan impresi mendalam dalam batinnya, juga di buku-buku yang berserakan di kamar dan perpustakaan. Jadi, bukan di bangku sekolah, tegasnya.

“Sementara al-Quran, astaga, betapa membutuhkan kekhusyukan tersendiri dalam menyusur sejumlah ayat-ayat Allah sementara saya tak lain adalah hamba yang kerap tak patuh, kerap lupa mengingat Kau penuh seluruh. Biar ketololan ini kubawa lari hingga hilang pedih perih,” ungkapnya dengan nada puitis meniru puisi a la Chairil Anwar.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

“Alih-alih memapar sastra dan al-Quran dengan ayat-ayatnya yang penuh metafora, atau nilai-nila sastra dalam al-Quran, maupun al-Quran sebagai kitab sastra yang mengagumkan, yang kesemuanya membutuhkan dasar keilmuan tentang al-Quran yang tidak main-main dan kemampuan bahasa Arab yang tidak boleh ditawar,” ibuhnya sebagaimana juga tertulis dalam makalah yang diberikan kepada peserta.

Selanjutnya, Ridho lebih menekankan pembahasannya terkait hubungan agama dan sastra yang mewarnai kehidupan sastra di Indonsia. Pembahasan dimulai melalui sebuah buku berjudul Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya. Ada satu kalimat dalam buku Mangunwijaya yang menggugahnya untuk dibahas yaitu  “pada awal mula, segala sastra adalah religius.”

Di sisi lain, penyiar yang juga dikenal sebagai dramawan menawarkan sebuah persinggungan antara sastra dengan agama menurut Adonis, penyiar masyhur kelahiran Suriah. Juga bagaimana penyair dimaksudkan dalam Al-Quran surat Asy Syu’arâ di mana ada perintah pada manusia supaya menghindari penyair yang kata-katanya dituntun oleh setan.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Ridho juga menyampaikan ungkapan HB Jassin dalam wawancaranya dengan majalah Tempo (13/2/93) bahwa “Tuhan memang tidak suka kepada penyair, kecuali orang yang bertakwa.” Bagi Ridho, “Ungkapan Jassin setidaknya membuka pintu perjumpaan bahwa sastra dan agama tidak harus bersihadap-lawankan, tetapi saling bertukar tangkap dengan lepas, mengisi ruang-ruang kosong dan saling melengkapi.”

Terakhir, Ridho menyebut puisi “Doa” karya Chairil Anwar sebagai salah satu contoh perjumpaan yang intim antara agama dan sastra.

“Dua entitas itu lebur dan menyatu. Itu adalah salah satu puncak religiusitas seorang Chairil yang berdoa tanpa ratapan dan menghayati cinta kepada Tuhan tanpa umpama, tanpa sebab atau karena. Dan biarkan puisi yang mengharu biru ini menutup catatan kecil pada musyawarah sastra kali ini,” tandasnya. (Sel)

Related Posts

1 of 3