Puisi

Sumpah Sampah, Sumpah Serapah, Sampah Serakah – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

WAHAI PEMUDA, WAHAI ANAK BANGSA, MANA DADAMU?

Negeri ini sudah tak sanggup lagi menanti. Ibu Pertiwi sudah begitu lama dikhianati. Wahai para pemuda, wahai anak-anak bangsa, mana dadamu?

Otot-kawat tulang-besi bukan slogan kaum priyayi, sedumuk bathuk senyari bumi juga bukan iklan makanan instan dan minuman soda yang siap saji. Wahai pemuda, mana dadamu?

Lihatlah hutan tropis di negeri ini, siapa yang telah membabatnya hingga gundul dan hanya menyisakan asap tebal hingga ke luar negeri?

Saksikan dengan seksama, jutaan hektar tambang sumber daya mineral yang terus disedot dan dikeruk hingga yang tersisa hanya limbah dan racun mercuri.

Lalu palingkan wajahmu di sepanjang luas samudera, apakah negeri bahari yang kaya raya ini telah mampu menyejahterakan rakyatnya?

Wahai pemuda, wahai putra-putri Tanah Surga, kepalkan tanganmu dan angkat ke cakrawala. Bersumpahlah!

Apakah birokrasi telah sanggup melayani ataukah justru bermental calo yang selalu menunggu upeti?

Apakah aparat penegak hukum telah bekerja untuk keadilan bagi rakyat jelata ataukah ia hanya melayani para cukong dan penguasa?

Dimanakah kini Dewi Yustisia itu berada?

Masih adakah harapan bagi para petani, nelayan dan buruh di negeri ini untuk mendapatkan hak hidup dan kemerdekaan?

Dimanakah partai-partai politik itu berada, saat Ibu Pertiwi terus menjerit dan meraung karena tak berdaya saat para garong memperkosanya?

Wahai pemuda, mana dadamu? Mana sumpahmu?

SUMPAH SAMPAH, SUMPAH SERAPAH, SAMPAH SERAKAH

Wahai pemuda Satu Nusa, masih ingatkah engkau lagu Padamu Negeri? Masih adakah gelora menggelegak dalam darahmu saat Janji Proklamasi tinggal arang dan abu, sedangkan Ibu Pertiwi telah lama dikepung ular beludak, tikus got ataupun taring serigala, bahwa sejatinya kolonial Belanda dan penjajah Jepang adalah lintah yang sama?

Sumpah Sampah,
Sumpah Serapah, Sampah Serakah. Kudengar suara itu di segala penjuru hingga menembus jantung dan paru-paru nafasku.

Satu Bangsa, katanya, tapi nasib kita jauh berbeda. Satu Bangsa tapi hanya sedikit yang kenyang, selebihnya lapar semua. Satu Bangsa, tapi banyak koruptor yang kebal hukum dan selebihnya jika ada rakyat yang bertindak salah maka hukum begitu perkasa hingga vonisnya adalah celaka.

Sumpah Sampah,
Sumpah Serapah, Sampah Serakah. Kudengar suara itu di segala penjuru hingga menembus jantung dan paru-paru nafasku.

Satu Bahasa, tapi orang-orang kecil diwajibkan menaati tata-tertib dan sopan-santun, sementara para penguasa tak perlu tata-krama, tak butuh etika.

Satu Tanah Air, tapi semua tanah telah dijarah, sedangkan banjir air mata ada dimana-mana. Tanah Air siapa yang mengaku telah lama merdeka ini sesungguhnya?

Sumpah Sampah,
Sumpah Serapah, Sampah Serakah. Kudengar suara itu di segala penjuru hingga menembus jantung dan paru-paru nafasku.

Wahai Pemuda, sampah siapa ini? Serapah siapa yang tak kenal waktu menggelontor hingga mendedah dalam darah daging hingga menjadi mimpi buruk dan cita-cita yang tak bermutu ini?

Wahai Pemuda, sekolah seperti apa yang sanggup membuat negeri ini benar-benar merdeka? Pendidikan yang bagaimana yang membuat rakyat berdaulat dan bermartabat di tengah kepungan kurikulum cyber dan jagad virtual yang bebas tiada tara?

Sumpah Sampah,
Sumpah Serapah, Sampah Serakah. Kudengar suara itu di segala penjuru hingga menembus jantung dan paru-paru nafasku.

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125