Politik

Sistem Pilpres UUD 2002 Dinilai Melahirkan Boneka Kapitalis dan Taipan

NUSANTARANEWS.CO, JakartaSistem Pilpres UUD 2002 Dinilai Melahirkan Boneka Kapitalis dan Taipan. Wacana kembali ke UUD 1945 mengemuka kembali akhir-akhir ini. Pasalnya, hasil amandemen antara tahun 1999-2002 dinilai tidak murni untuk kepentingan bangsa Indonesia, melaikan ada titipan bangsa asing. Salah satu kritik dominan terhadap hasil amandem ialah pada undang-undang tentang syarat calon presiden dan wakil presiden.

Menurut Direktur Institute Soekarno Hatta, Muhammad Hatta Taliwang (MHT) mengatakan, banyak yang sudah tahu bahwa sistem berdasarkan UUD 2002 hanya melahirkan Pemimpin Boneka. “Bonekanya kapitalis dan Taipan,” tegas MHT dalam tulisannya yang bertajuk Renungan Hari Kemerdekaan, Kamis, 17 Agustus 2017.

MHT menjelaskan, di dalam sistem yang sekarang, siapapun Presidennya niscaya baru dua tahun memerintah, sudah berwacana untuk terpilih pada Pilpres berikutnya. Tidak bicara prestasi atau kinerja, karena sistem sekarang tak penting dan tak bisa lagi MPR RI menilai kinerja.

“Katanya diserahkan ke rakyat. Kalau dinilai baik oleh rakyat ya dipilih lagi alias lanjut kalau tidak baik ya stop,” kata mantan anggota DPR RI Fraksi PAN itu.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Padahal, lanjut MHT, sistemnya dalam kendali kapitalis dan Taipan. Bukan dalam kendali rakyat atau perwakilan rakyat. Jadi soal terpilih lagi atau tidak tergantung bandar (kapitalis global dan taipan).

“Bukan tergantung rakyat. Rakyat  cuma stempel dan seremoni pilpres cuma jd sekedar pertunjukan Demokrasi Prosedural doang. Substansi demokrasinya jauh panggang dari api,” ungkap dia.

MHT sendiri heran, kenapa banyak tokoh yang katanya berjuang untuk rakyat tapi tetap bergairah untuk ikut kontestasi dalam sistem ini. Padahal dia belum tentu disukai oleh pengendali sistem. Belum tentu karakter dan visinya sesuai dengan selera para kapitalis global dan taipan.

“Dan mereka juga sudah saksikan bagaimana tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan selera kapitalis global dan taipan disingkirkan atau dikalahkan, sehebat apapun potensi ybs,” cetus dia.

MHT menegaskan bahwa sudah menjadi keyakinan banyak orang, jikalau rakyat ingin berdaulat, maka sistem UUD 45 18 Agustus 1945 atau UUD45 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan sedikit penyempurnaan,  jauh lebih memungkinkan lahir Pemimpin yang berdaulat (bukan boneka), berintegritas, cerdas dan nasionalis serta pro rakyat. Karena dipilih dengan mekanisme perwakilan sehingga terseleksi dengan baik.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

“Contoh kepemimpinan hasil Musyawarah Mufakat yang relatif baik misalnya Pemilihan Ketua PP Muhammdiyah atau cara Pemilihan Presiden Partai PKS. Itu hasil kerja sistem musyawarah mufakat. Masih tidak suka juga dengan sistem demikian?,” jelasnya.

Sayangnya, tambah MHT, intelektual dan politikus di Indonesia selalu ingin instan atau manusia sintesis. Padahal kalau sabar dan konsisten berjuang untuk kebaikan dan perbaikan sistem maka jauh lebih punya peluang terpilih jadi Presiden dalam sistem musyawarah mufakat. Dan itu artinya berjuang untuk kembali ke UUD45 yang Asli dengan catatan untuk disempurnakan.

“Mengapa tidak fokus berjuang ke arah itu, ketimbang jadi pungguk merindukan bulan dengan sistem pilpres UUD 2002?,” tandas MHT.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts