Budaya / SeniPuisi

Ruang Kerja Ayah – Puisi Tjahjono Widarmanto

RUANG KERJA AYAH

 

ruang kerja ayah di loteng lantai dua. kalau jendelanya terbuka, lampu menyala

ia pasti ada di dalam menekuri pesawat komputer dengan mata setengah terpejam

sebelum memiliki komputer ayah bekerja dengan sebuah mesik tik tua setua ubannya

ibu amat senang mendengar tik tak tuk mesik ketik itu.

ditempelnya telinga di pintu mencuri dengar

sebab ayah melarang siapa saja masuk ke kamar kerjanya saat ia mendekam di situ

 

kata ibu, ayah adalah penyair.berkerja sebagai penyair.

sungguh aku tak paham profesi itu. sepengetahuanku, bekerja itu harus seperti

ayah kawan-kawanku si Kaila, Agis atau Sifak; berangkat ke kantor, jadi guru

atau pedagang di pasar besar, setidaknya jadi hansip di gardu jaga

 

kata ibu, ayah adalah penyair. seolah tuhan kecil yang sanggup mencipta apa saja

leluasa mencipta riang, petaka, harapan, senyum, caci maki atau kedunguan

seperti juga tuhan, kata ibu, ayah tak peduli dengan uang atau penghasilan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

tugasnya adalah mencipta. itu saja. mencipta sabda menuliskan firman kata-kata

 

tuhan merahasiakan bagaimana ia menciptakan mahluk dan menuliskan petuahnya

begitu juga ayah melarang siapa saja masuk ke ruang kerjanya

saat mencipta dan bersabda

ini rahasia sebuah penciptaan”, katanya sambil mendelik

 

Simak:
Sepatu Kerja Pemuja Sajak
Delapan Esai: Percakapan tentang Puisi
Aku, Sedadu Menunggu Giliran, Di Hadapan Maut
Bercakap-Cakap Tentang Hasrat

 

diam-diam aku pernah mengintipnya saat bekerja: ternyata saat menekuri komputernya

ayah hanya mengenakan celana dalam.kaki bergerak-gerak mengikuti jari-jari

mulut komat-kamit seperti presiden pidato atau dukun baca mantra

 

seperti juga tuhan, ayahku juga gemar menghukum, mengancam dan menakut-nakuti

acapkali ibu gemetar ketakutan saat wajahnya dituding-tuding dengan rotan

biasanya jika bertanya tentang rekening listrik dan tagihan pajak

 

diam-diam aku ingin seperti ayah, menjadi seorang penyair

: begitu berkuasa dan boleh hanya memakai celana dalam!

 

-ngawi-klitik-

 

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto

*Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa. Bukunya yang  telah terbit antara lain Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013), Masa Depan Sastra: Mozaik telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai, 2011),   Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), Umayi (buku puisi, 2012), Kubur Penyair (buku puisi: 2002), Kitab Kelahiran (buku puisi, 2003). Penulis pernah menerima Anugerah Penghargaan Seniman dan Budayawan dari Pemprov Jatim (2003), beberapa kali memenangkan sayembara menulis tk. Nasional dan suntuk menghadiri berbagai pertemuan sastra diKidung Buat Tanah Tercinta (buku puisi, 2011), Mata Ibu (buku puisi, 2011), Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, 1997), tingkat nasional dan internasional. Penulis kini menjadi Pembantu Ketua I, Dosen di STKIP PGRI Ngawi dan guru SMA 2 Ngawi. Beralamat di Perumahan Chrisan Hikari B.6 Jl. Teuku Umar Ngawi. E-Mail:  [email protected].

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 113