RIWAYAT KULDI
sebab perempuan selalu terpikat rahasia maka selalu disadapnya bunyi-bunyi langit
seekor ular itu pun meliuk-liuk menjulurkan lidahnya yang bercabang-cabang
perempuan itu terpana pada warna kulit ular yang kembang-kembang
tiba-tiba ia melamunkan, jika lakinya bercelana kembang-kembang: alangkah seksinya
semenjak itulah diam-diam perempuan itu menyelinap keluar kamarnya
seperti bayang-bayang yang gelisah ia telanjang menduga-duga
di mana gerangan lobang tempat ular itu mendekam dan mendengkur pelan
suatu senja, mendekati remang. perempuan itu menjumpai ular kembang-kembang itu
membelit sebatang pohon berdaun emas dengan buah yang aneh berbentuk lonjong
dengan warna merah candikala, bertanduk tiga dan berbau kenanga
Simak:
Sepatu Kerja Pemuja Sajak
Delapan Esai: Percakapan tentang Puisi
Aku, Sedadu Menunggu Giliran, Di Hadapan Maut
Bercakap-Cakap Tentang Hasrat
jantung perempuan itu berdegup-degup saat mata ular itu berkedip mendesis merayu
“ketakutanmu yang gelisah mengaburkan matamu tentang yang abadi!”
tubuh telanjang itu pun berkilau saat menjilat buah yang lonjong bertanduk aneh itu
pintu yang menjaga segala rahasia itupun menganga.suara-suara entah dari mana
memanggil-manggil tak putus-putus seperti goyang laut menyerahkan ombaknya
perempuan itu terlambat menoleh saat kegelapan menelikungnya.akar membelit
tubuh telanjang dirajam duri-duri. pekat itu memilihmu! maka engkau tak lagi tamu!
jadilah: lakinya kini bercelana kembang-kembang dan ia rasakan kakinya menebal
maka: teringatlah mereka segala pengetahuan yang pernah dibisikan di telinganya
kemudian: mereka gemetar merasakan gairah memabukkan itu,
:inikah yang selama ini
mereka rahasiakan nikmat yang disingitkan
tubuh mereka bersimpuh sesujud-sujudnya.ternyata sorga hanyalah sebuah amsal.
merekapun terlepas-bebas, merdeka melayang-layang seperti planton
: buah aneh itulah membuatku memilih bukan sekedar mengabdi!
Tuan, bolehkah aku mencicipi ranjang itu?
sepasang kekasih itu pun melupakan jalan pulang: Tuan kami tidak kesasar, sebab sengaja mencari sorga lain yang di dalamnya tidak mengalir sungai-sungai susu
namun cukup dialiri harapan dan pilihan. Ijinkan, Tuan!
(ngawi, 2016)
*Tjahjono Widarmanto, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa. Bukunya yang telah terbit antara lain Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013), Masa Depan Sastra: Mozaik telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai, 2011), Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), Umayi (buku puisi, 2012), Kidung Buat Tanah Tercinta (buku puisi, 2011), Mata Ibu (buku puisi, 2011), Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, 1997), Kubur Penyair (buku puisi: 2002), Kitab Kelahiran (buku puisi, 2003). Penulis pernah menerima Anugerah Penghargaan Seniman dan Budayawan dari Pemprov Jatim (2003), beberapa kali memenangkan sayembara menulis tk. Nasional dan suntuk menghadiri berbagai pertemuan sastra ditingkat nasional dan internasional. Penulis kini menjadi Pembantu Ketua I, Dosen di STKIP PGRI Ngawi dan guru SMA 2 Ngawi. Beralamat di Perumahan Chrisan Hikari B.6 Jl. Teuku Umar Ngawi. E-Mail: [email protected].
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].