Bulan yang Separuh, Aku, dan Katak Kecil
Katak kecil melompat-lompat di belakang rumah; sembunyi di rerumputan
aku menunggunya di pintu belakang, berharap katak kecil bernyanyi
tapi apa boleh dikata, kurasa katak kecil tengah bertapa
Tapi kudengar lirih di balik rerumputan bunyi: krok, krok!
aku beralih menatap rembulan yang separuh dan terus bertanya-tanya,
tiba-tiba katak kecil itu ke luar dari rerumputan mengagetkanku
:Jika kukatakan “separuh rembulan telah kumakan!” akankah kau percaya?
:Apa dengan mempercayai semua perkataanmu rembulan dapat menjadi purnama?
kami sadar, 1/4 rembualan ada di tiap mata kami
Yogyakarta, 15 Juli 2016
Capung yang Berwarna Jingga
Aku memandang sisa hujan yang tergenang; bercermin dalam keheningan
kulihat wajah seorang lelaki, wajah yang ditempa oleh waktu;
rupa yang disulam oleh benang-benang ideologi dengan begitu lembut
Aku masih terpaku pada bayang sisa hujan yang tergenang
“Apa yang kau pahami tentang kenyataan?” tanya bayang itu
aku hanya terdiam juga membisu, termenung. Kupandang matanya dalam-dalam
Jingganya senja warnai langit. Sepasang capung tengah membelah sunyi
aku bertanya pada bayang-bayang di genangan: apa itu kenyataan?
kami hanya terdiam dengan sepasang capung yang membelah kami
(2016)
Riwayat
Bersama waktu yang membeku, kau bersila di puncak Mahameru
Membaca kisah paling purba; tentang Adam, sang manusia pertama
Tentang nama-nama yang membuatnya mulia juga makna yang hamba
Tulang rusuk kirinya dijadikan Hawa; kekasih setia—dalam kembara
Terusir? Bukankah semua itu adalah takdir? Bagian dari cerita!
Gerbang menuju kembara di negeri fana guna memahami Nama
Terpisah, dari situlah sebuah perjumpaan terasa mesra. Bukankah begitu?
Tanyamu untuk meyakinkanku. Sambil berkata kalau akulah (sosok) Adam,
Sedang engkau Hawanya. Apa kita tinggal di Surga? Tanyaku
April, 2017
Bocah di Bawah Cahaya
Di bawah lampu jalanan, seorang anak memandang bulan—purnama
Begitu betah. Amat hening, rembulan terpantul di bola matanya
“Kapan aku bisa menyentuh wajahmu, Ibu?” Kata sang anak
Rembulan perlahan gugur! Aku tak yakin bila dinamai purnama
Ia tetap betah menatap, meski bertanya: kenapa harus gugur?
Apa rembulan tak mau memantulkan tiap wajah yang dirindu?
Lampu jalanan terpejam! Ia tertidur; berharap esok adalah kemarin
Meski dia (dan aku) tahu jika esok adalah gulita
Tapi, ia punya crayon. Ia akan melukis sebuah Firdaus!
April, 2017
Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta 17 Juli 1998. Mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia. Beberapa puisinya masuk dalam antologi bersama antara lain: Mukadimah 99 Jilid 1 (2016), Sayap-sayap Roh (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), AkusukA Syair Syiar 45 Penyair Nusantara (2016), Syair Syiar AkusukA Jilid 2 (2016), Kumpulan Puisi Kopi 1550 mdpl (2016). Buku puisi tunggalnya adalah Pendaki-pendaki Hujan (2016).
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].