ArtikelBerita Utama

Restorasi Karakter Bangsa (Bag. 2)

Soeprapto M.Ed./Foto as/Nusantaranews.co
Soeprapto M.Ed./Foto as/Nusantaranews.co

NUSANTARANEWS.CO – Kaitan Karakter, Jatidiri, Nilai dan Norma. Karakter, jatidiri, nilai dan norma perludidudukkan secara tepat dan proporsional agar tidak terjadi kerancuan dan kakacauan dalam memanfaatkan dan menerapkannya baik dalam wacana maupun dalam praktek kehidupan.

Setiap subyek, individu, atau entitas agar dapat diakui eksistensinya perlu memiliki identitas atau ciri khusus yang membedakan dengan subyek, individu atau entitas lain. Identitas atau ciri khusus yang telah mempribadi, menyatu dengan subyek, individu atau entitas tersebut disebut jatidiri Jatidiri ini akan menampakkan wajahnya dalam bentuk sikap dan perilaku subyek, individu atau entitas terhadap tantangan yang terkena pada dirinya. Apabila perilaku ini telah membaku sehingga tidak peduli pada situasi dan kondisi yang meliputinya, maka sikap dan perilaku tersebut berkembang menjadi karakter.

Dengan demikian jatidiri suatu subyek, individu atau suatu entitas akan menampakkan dalam karakter, yang akan termanifestasi dalam sikap dan perilaku dalam menyikapi permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Kita kenal individu yang berkarakter teguh dan konsisten, ada yang memiliki karakter selalu berubah setiap saat, sehingga sukar sekali ditebak dan diperhitungkan. Yang pertama sering disebut berkarakter baja, sedang yang kedua berkarakter bunglon, atau tidak memiliki pendirian.

Karakter merupakan perpaduan antara factor intern yang terdapat dalan diri individu dan faktor ekstern yakni lingkungan tempat individu berhubungan. Sebagai konsekuensinya, karakter mengandung nilai-nilai tertentu, yang biasanya bersumber dari nilai yang berkembang dalam masyarakat tempat individu hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai akibat karakter akan mengalami perubahan, sedang jatidiri pada hakikatnya bersifat tetap. Meskipun perkembangan karakter tidak dibenarkan menyimpang dari nilai dasar yang menjadi ciri khas jatidiri.

Dari uraian tersebut nampak jelas bahwa setiap individu atau entitas perlu memiliki jatidiri yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan individu atau entitas yang lain. Jatidiri individu atau suatu entitas akan nampak dalam karakter individu atau entitas dimaksud. Karakter berisi nilai-nilai terpilih yang dipegang oleh individu atau entitas dalam menghadapi segala permasalahan. Nilai-nilai terpilih tersebut kemudian dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku sehingga menjadi faktor pengukur sikap dan perilaku individu atau entitas. Demikian gambaran secara singkat kaitan antara jatidiri, karakter, nilai dan norma kehidupan.

Restorasi Karakter Bangsa

Setelah kita membahas beberapa pengertian berkaitan dengan karakter, marilah kita memasuki pokok permasalahan. Pertanyaan yang pantas diajukan dalam pembahasan di antaranya adalah (a) apa yang dimaksud restorasi, (b) mengapa karakter bangsa perlu direstorasi, (c) bagaimana cara mengadakan reformasi karakter bangsa,

Restorasi. Berasal dari kata to restore, menurut Webster’s Third New International Dictionary to restore diberi arti to bring back or to put back into the former or original state, atau to bring back from a state of changed condition. Jadi menurut Webster restorasi bermakna mengembalikan pada keadaan aslinya, atau mengembalikan dari perubahan yang terjadi.

Sangat terkenal restorasi Meiji, yakni restorasi yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada akhir abad ke XIX dalam menghadapi tantangan modernisasi yang melanda Jepang. Jepang berusaha untuk mengadopsi modernisasi Barat, tetapi harus tetap berdasar pada budaya asli Jepang. Terjadilah penterjemahan buku secara besar-besaran, sehingga buku-buku ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Sistem nilai yang terbawa oleh ilmu pengetahuan dan teknologi disaring dengan ketat, harus sesuai dengan adat budaya Jepang. Sementara itu pemuda-pemuda Jepang dikirim ke luar negeri untuk mempelajari alih teknologi iptek. Sangat terkenal ungkapan restorasi Meiji, “makanlah makanan barat, tetapi tetap dengan cara Jepang.”

Baca Juga:  Jamin Kenyamanan dan Keselamatan Penumpang, Travel Gelap di Jawa Timur Perlu Ditertibkan

Restorasi Karakter Bangsa. Sebelum kita membahas restorasi karakter bangsa, perlu dipertanyakan lebih dahulu, apakah suatu bangsa memiliki karakter. Kita telah memahami bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang karena memiliki sejarah hidup bersama, terbentuk adat budaya yang sama, kemudian mengkristal menjadi karakter bangsa.

Otto Bauer seorang legislator dan seorang teoretikus yang hidup pada permulaan abad 20 (1881-1934), dalam bukunya yang berjudul Die Nationalitatenfrage und die Sozialdemokratie (1907) menyebutkan bahwa bangsa adalah: “Eine Nation ist eine aus Schikalgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft.” Otto Bauer lebih menitik beratkan pengertian bangsa dari sudut karakter atau perangai yang dimiliki sekelompok manusia yang dijadikan jatidiri suatu bangsa. Karakter ini akan tercermin pada sikap dan perilaku warga-bangsa. Karakter ini menjadi ciri khas suatu bangsa yang membedakan dengan bangsa yang lain, yang terbentuk berdasar pengalaman sejarah budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh kembangnya bangsa.

Karakter bangsa berisi nilai-ilai yang menyebabkan utuh dan bersatunya bangsa. Nilai tersebut berkembang dari rasa peduli terhadap bangsanya, merasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsanya, bangga terhadap bangsanya, setia dan cinta terhadap bangsanya, yang bermuara pada siap berkorban demi bangsanya. Dengan bersendi pada nilai-nilai tersebut warga bangsa tidak rela bila bangsanya dicela dan dihujat apalagi dipermalukan.

Pertanyaan berikut adalah mengapa karakter bangsa Indonesia perlu direstorasi? Di depan telah dikemukakan bahwa karakter bangsa sedang mengalami kemerosotan yang akut. Hal ini dapat dilihat pada segala lapisan dan lini kahidupan bermasyarakat, bebangsa dan bernegara. Sebagai contoh dapat diberikan ilustrasi berikut:

  1. Para anggota DPR RI tidak merasa malu untuk melakukan rekayasa kegiatan yang bernuansa untuk memperkaya diri, tanpa peduli terhadap kepentingan rakyat dan negara-bangsa. Produk UU yang dihasilkan bukan memihak pada rakyat, tetapi memihak pada pemesan yang memerlukan UU tersebut sebagai dasar untuk melakukan kegiatan yang dapat memberikan keuntungan.
  2. Pilkada hampir selalu diwarnai dengan kerusuhan yang akar masalahnya kekecewaan pribadi sebagai calon yang tidak terpilih; dengan mempergunkan segala cara berusaha untuk membatalkan hasil Pilkada. Kepentingan negara-bangsa dipinggirkan demi kepentingan pribadi.
  3. Korupsi masih merebak di mana-mana. Dengan berlangsungnya otonomi daerah, korupsi muncul laksana cendawan di musin hujan. Kepentingan diri lebih menonjol dari pada keselamatan negara-bangsa.
  4. Mahasiswa kurang mampu mengendalikan diri, sehingga terjadi demonstrasi di mana-mana disertai dengan perusakan fasilitas umum. Hal ini menurunkan martabat mahasiswa, karena peran dan fungsi mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya adalah untuk memberikan anutan bagi masyarakat luas bagaimana bersikap dan bertingkah laku yang terpuji dalam hidup menegara.
  5. Masyarakat tidak merasa tersinggung apabila negara bangsanya dihujat, dilecehkan dan didiskreditkan. Bahkan rakyat ikut beramai-ramai untuk bertepuk tangan, seakan-akan membenarkan hal tersebut dengan beramai-ramai mencari kambing hitam dan minta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Suatu contoh Indonesia dinilai sebagai negara yang miskin, negara yang memiliki pengangguran yang besar, kualitas sumber daya manusia rendah, negara paling korup, negara babu dan sebagainya. Tidak ada suatu dorongan untuk mencari solusi untuk mengatasi issue tersebut. Hal ini menggambarkan melemahnya rasa dan wawasan kebangsaan. Rasa tersinggung terhadap negara-bangsanya yang dihujat dan dilecehkan oleh pihak lain sudah tidak tersisa lagi.
Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Gelar Gebyar Bazar Ramadhan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat

Paparan di atas menggambarkan sebagian kecil dari keadaan dan kondisi kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara yang menunjukkan lunturnya wawasan kebangsaan pada rakyat. Apabila kita ingin menjadi negara-bangsa yang terhormat, berdaulat dan berwibawa, maka senang maupun tidak senang karakter bangsa harus dibangun kembali. Perlu segera diselenggarakan restorasi karakter bangsa dengan menyusun program-program yang nyata dan operasional, dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Pembangunan karakter bangsa tidak mungkin diselenggarakan secara sektoral, tetapi harus secara terpadu.

PENDEKATAN RESTORASI KARAKTER BANGSA. Dalam menyelenggarakan Restorasi Karakter Bangsa perlu ditempuh tiga pendekatan sekaligus, yakni:

Pendekatan Kondisional. Yang dimaksud dengan pendekatan kondisional adalah menciptakan kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang akan berbuat atau bertingkah laku seperti yang diharapkan. Suatu contoh yang nyata. agar manusia masuk dalam ruangan dengan satu persatu, dibuat pintu berputar sedemikian rupa sehingga dengan setiap putaran yang dapat masuk hanya satu orang. Atau misalnya agar orang mau antri dalam pembelian karcis, disiapkan jalur yang hanya cukup untuk berdiri satu orang menuju loket pembelian karcis. Tidak perlu dipergunakan pengeras suara dan dengan suara yang lantang meminta agar mereka harus masuk satu persatu atau harus antri, tetapi akan berlangsung dengan sendirinya. Sebab apabila tidak melakukannya mereka akan menghadapi kemacetan dan akan merugikan diri sendiri. Apabila hal yang diharapkan telah membudaya dan telah menjadi bagian dari hidupnya, kondisi tersebut dapat dihilangi secara bertahap.

Demikian pula halnya apabila kita mengharapkan agar rakyat memiliki kesadaran yang tinggi terhadap wawasan kebangsaan. Hal-hal yang perlu diusahakan misalnya:

  1. Menciptakan suasana tertib dan disiplin di semua lembaga dan instansi negara dan pemerintahan, misal dengan membentuk Dewan/Unit Kehormatan Aparat, yang diberi wewenang untuk menilai kinerja aparat, memberikan peringatan kepada aparat, sampai pemecatan pegawai atau anggota. Setiap pejabat dan pegawai sebelum diangkat selalu mengangkat sumpah, perlu dinilai konsistensi pejabat dan pegawai dari sumpah yang diucapkannya. Peraturan perundang-undangan telah disiapkan, tinggal bagaimana penerapannya secara konsisten. Dewan/Unit Kehormatan Aparat harus bertindak tegas tanpa pandang bulu.
  2. Menyusun peraturan perundang-undangan yang sederhana dan diselenggarakan secara konsisten. Pelanggar peraturan ditindak tegas, dan tidak boleh panas-panas tahi ayam. Para penegak hukum harus berani melakukannya tanpa pandang bulu. Peraturan yang sederhan ini di antaranya, tertib lalu linbtas, menyeberang di tempat yang telah ditentukan, kendaraan umum berhenti ditempat yang telah ditentukan, kebersihan lingkungan dan sebagainya. Aparat penegak peraturan perundang-undangan yang tidak mau dan tidak dapat melakukan tugasnya, lebih baik mengundurkan diri atau dipecat. Kembali masalah Dewan/Unit Penegak Kehormatan Aparat sangat diperlukan di sini, utamanya pada instansi yang menyangkut penegak hukum dan peraturan itu sendiri. Bila perlu aparat penegak hukum dan peraturan yang melanggar, hukumannya harus berlipat ganda.
  3. Melibatkan masyarakat langsung dalam mengadakan kontrol terhadap kinerja aparat, dengan mengaktifkan peran serta masyarakat dalam good governance. Kontrol masyarakat disalurkan lewat cara yang terhormat dan etis, tidak dengan cara demonstrasi tanpa kendali yang disertai merusak fasilitas umum dan sebagainya.
  4. Memberikan penghargaan pada aparat dan warga masyarakat yang menunjukkan ketertiban dan disiplin, misal bagi pengemudi kendaraan yang tidak pernah melanggar peraturan lalu lintas diberi bonus, misal diundang oleh Gubernur untuk santap malam bersama, atau apapun yang memberikan rasa kebanggaan.
Baca Juga:  Turun Gunung Ke Jatim, Ganjar Bakar Semangat Bongkar Kecurangan Pemilu

Pendekatan Kultural. Menyusun peraturan-peraturan dengan sosialisasi secara ketat, dengan memberikan gambaran secara jelas penghargaan dan hukuman bagi yang mematuhi dan yang melanggarnya. Penghargaan dan hukuman ini harus dilaksanakan secara konsisten. Pendekatan ini akan berhasil apabila peraturan-peraturan tersebut masuk nalar, dan mungkin untuk dilaksanakan, serta diselenggarakan tanpa pandang bulu.

Memberikan gambaran-gambaran yang menjanjikan; apabila wawasan kebangsaan dcngan nilai-nilainya itu dapat terlaksana dengan baik akan mengangkat harkat dan martabat bangsa, yang bermakna juga mengangkat harkat dan martabat dirinya.

Memberikan ancaman-ancaman yang keras bagi para pelanggarnya.

Pendekatan pembiasaan diri. Pendekatan ketiga adalah dengan cara membiasakan diri. Terkenal ungkapan yang mengatakan bahwa “kebiasaan adalah alam kedua,” yang dalam bahasa Belanda disebut “gewoonte is de tweede natuur.” Dengan melalui pendidikan ditanamkan kebiasaan untuk bersikap dan bertingkah laku tertib, disiplin, cinta pada alam semesta dan negara-bangsa dan sebagainya. Kalau nilai-nilai ini telah tertanam dengan mantap dalam diri, maka akan menjadi karakter diri dan akan selalu mewarnai segala tingkah lakunya. Cara ini merupakan pendekatan yang cukup efektif, meskipun ada pihak yang mengatakan, bahwa dengan cara pembiasaan dinilai kurang menghargai harkat dan martabat peserta didik. Disarankan agar penanaman nilai hendaknya dilaksanakan dengan kesadaran, sehingga nilai yang tertanam dalam diri seseorang akan tidak mudah digoyahkan karena didasarkan pemahaman yang mengarah pada keyakinan.

Demikianlah gambaran secara singkat pendekatan yang dapat ditempuh dalam mengadakan restorasi karakter bangsa, yang memerlukan langkah secara konkrit lebih lanjut. Hal ini memerlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat kalau memang kita semua memandang bahwa karakter bangsa perlu direstorasi. Sedang yang lebih utama adalah political will dari pemerintah; tanpa political willpemerintah maka akan menghadapi hambatan dalam merestorasi karakter bangsa.

Penulis: Soeprapto M.Ed.

Related Posts

1 of 6