Berita UtamaPolitik

Reformasi Dibajak Orang-Orang Tak Bertanggung Jawab

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Komandan Korps Marinir Angkatan Laut ke-12, Letjen Marinir (Purn) Suharto secara personal mengaku bahwa deretan persoalan yang belakangan ini menyeruak ke permukaan tak lain karena ada indikasi kuat penyimpangan dalam menjalankan negara ini. Menurutnya, Reformasi 1998 yang terjadi begitu cepat, sesungguhnya tidak muncul begitu saja.

“Kalau boleh saya katakan, apa yang dihasilkan Reformasi 1998, menurut saya adalah sebuah penyimpangan. Karena reformasi itu hadir begitu cepat, sedang kita sendiri belum siap. Sehingga perjalanan Reformasi ini kemudian ‘dibajak’ oleh orang-orang yang telah siap finance dan programnya,” ungkapnya.

Dirinya menambahkan, kelompok-kelompok yang memanfaatkan momentum ini setidaknya ada empat belas menteri yang saat itu duduk di kabinet Soeharto.

“Mereka adalah empat belas menteri yang mengkhianati Pak Harto. Merekalah yang kemudian menjadi “lokomotif” yang menyalip di tengah jalan. Bahkan Amin Rais menjadi begitu gagah perkasa seakan seorang pahlawan Reformasi,” sambungnya.

“Apa yang saya katakan ini pada waktu yang bersamaan mungkin tidak akan diterima oleh kalangan tertentu. Ketika NKRI didorong menjadi negara federal, saya sudah tahu dia corongnya siapa! Ini yang saya lihat. Bahkan saya cukup terkejut ketika Nurcholis Majid (Cak Nur) pun ikut menyuarakan,” tegasnya.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Dalam kasus trisakti misalnya, menurut budayawan NU Zastrow Al Ngatawi, kampus Trisakti bukanlah kampus yang memulai gerakan dalam menjatuhkan Soeharto. Sebaliknya, dirinya menyebut, hanya menjadi trigger peletup momentum. “Dalam momentum Reformasi, Trisakti itu hanya jadi trigger atau peletup momentum aja,” ujar dia.

Begitupun dengan peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE), Abdur Rozaki mengatakan bahwa peristiwa Trisakti tak lebih sebagai trigger (pemantik) dalam mempercepat radikalisasi gerakan mahasiswa dalam proses menurunkan Soeharto.

Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies (CISS) Dahrin La Ode memaparkan pengelolaan bangsa pada era reformasi keliru. Menurutnya, kekeliruan yang dimaksud adalah dengan melarang penggunaan istilah pribumi (inpres 26 Tahun 1998).  Menurutnya, dari kekeliruan tersebut berakibat fatal terhadap pemaknaan sebuah bangsa Indonesia itu sendiri. Sehingga istilah bangsa Indonesia kemudian mengalami destruktif makna (perusakan makna).

Merujuk teori negara oleh JJ Rousseau dalam kontrak sosial (negara) kedaulatan tidak dapat dibagi dan kedaulatan tidak dapat dicabut. Namun dengan diamandemennya pasal 6 UUD 45 berindikasi adanya pencabutan dan pembagian kedaulatan NKRI kepada non pribumi secara cuma-cuma. Hal ini juga bertentangan dengan Resolusi PBB 61/295 mengenai hak-hak pribumi.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 40